tirto.id - Kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, menambah daftar panjang kasus korupsi di Tanah Air. Dalam kasus dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan TPPU dengan total nilai Rp62,89 miliar.
Dugaan penerimaan tersebut, meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU terdiri atas 18 ribu dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar AS (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar selama kurun waktu 2020-2022.
Hasil dari uang panas tersebut, kemudian dibelikan beberapa aset. Namun, aset-aset hasil dari uang korupsi itu sengaja tidak dilaporkan Gazalba ke dalam LHKPN. Padahal, LHKPN menjadi bagian penting upaya mencegah tindak korupsi. Jika pembelian aset itu dimasukkan ke LHKPN, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mudah menyelidiki sumber uangnya.
Berdasarkan catatan Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN, harta kekayaan Gazalba Saleh naik mencapai sekitar Rp3,3 miliar semenjak menjadi Hakim Agung di MA. Gazalba pertama kali melaporkan LHKPN miliknya sebagai hakim adhoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Surabaya, pada 2016 dengan total aset Rp1,8 miliar.
Kemudian, di 2017 kembali melaporkan ada penurunan menjadi Rp1,7 miliar dengan catatan utang Rp420 juta. Ketika sudah menjadi Hakim Agung Kamar Pidana di MA, LHKPN Gazalba naik menjadi Rp5,1 miliar. Dalam laman LHKPN, Gazalba tercatat melaporkan harta yang terdiri dari tanah dan bangunan dengan asal usul hasil sendiri.
Pada 2018, harta Gazalba terjadi penurunan menjadi Rp5 miliar dengan total penghasilan Rp1,7 miliar. Pada 2019, harta Gazalba menjadi Rp6,2 miliar. Dan di 2020, harta Gazalba senilai Rp7,4 miliar dengan total penghasilan Rp1,2 miliar.
Terakhir Gazalba melaporkan LHKPN 2021, dengan total harta Rp7,8 miliar. Setelah itu, tidak ada lagi di dokumen yang bersangkutan melaporkan LHKPN-nya.
“LHKPN penting ya untuk mengontrol harta pejabat apakah didapat secara baik, halal, dan benar. Dan modusnya memang begitu di LHKPN satu dia menyembunyikan. Dia tidak melaporkan harta-hartanya,” ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Isnur mengatakan, modus yang dilakukan oleh Gazalba dengan menyembunyikan asetnya dan tidak melaporkannya ke LHKPN memang menjadi hal umum bagi koruptor kita. Kebanyakan pelaku tindak pidana korupsi melaporkan LHKPN, tapi data disampaikan adalah palsu.
Kemudian modus lainnya, LHKPN itu laporkan datanya seolah-olah benar. Tapi disembunyikan harta-hartanya di keluarganya. Biasanya dalam hal ini dapat berupa mobil, tanah, yang diatasnamakan keluarganya atau pembantunya.
“Itu modus-modus yang selama ini memang dipakai oleh koruptor,” ujar Isnur.
Dalam kasus Gazalba, ia duduga menyamarkan hasil uang korupsinya untuk membeli sebuah motor Yamaha Nmax dan mobil Toyota Alphard. Pembelian ini dilakukan dengan menggunakan identitas kakak kandungnya, Edy Ilham Shooleh. Fakta ini sempat terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (5/8/2024).
Bersangkutan juga telah membeli rumah mewah dengan luas 1.248 meter persegi di kawasan Kota Wisata, Cibubur, secara tunai dengan nominal Rp7,5 miliar. Gazalba menyerahkan uang sebesar Rp3 miliar dan disetorkan langsung ke Bank Syariah Indonesia (BSI). Saat menyetorkan uang, transaksi dilakukan menggunakan identitas Kharazi sebagai pihak penjual properti.
Kemudian di dalam mobil, Gazalba kembali memberikan uang tunai Rp100 juta dan 200.000 dolar Singapura (SGD) dengan kurs saat itu Rp10 ribu.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, mengatakan berdasarkan pengalamannya selama bekerja di KPK modus-modus tersebut memang demikian. Kebanyakan aset para koruptor terkait dengan hasil korupsinya tidak mereka laporkan di dalam LHKPN. Itu seolah sudah menjadi sesuatu yang memang mereka rencanakan.
“Karena kalau misalnya mereka laporkan di LHKPN, tentu akan mudah diketahui oleh KPK. Karena tentu terkait dengan aset tersebut kan akan terbuka informasi di dalam LHKPN termasuk bagaimana sumber pembeliannya,” kata Yudi kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Terdakwa kasus suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung Gazalba Saleh menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/8/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nz
Perkuat Peran LHKPN dan Urgensi Sanksi Tegas
Atas kasus ini, YLBHI mendesak KPK dan pemerintah untuk memperkuat peran LHKPN. Di mana ketika ada pejabat yang tidak lapor, maka diberikan sanksi dari Inspektorat Jenderal (Itjen) atasannya atau presiden untuk dicopot jabatan.
“Jadi LHKPN adalah sebuah persyaratan,” ujar Isnur.
Kedua, lanjut Isnur, KPK juga bisa melakukan pengecekan investigasi mendalam atas dasar LHKPN itu bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk ditelusuri semuanya. Sehingga ketika ada sebuah kebohongan atau kepalsuan dia merupakan tindak pidana korupsi dan bisa diusut dan dipidana gara-gara kebohongan itu.
“Itu penting dilakukan agar orang hormat terhadap hukum dan republik ini,” ujar dia.
Yudi Purnomo sendiri memahami, bahwa sanksi terhadap LHKPN ini terbatas pada sanksi disiplin saja. Sanksi disiplin ini misalnya diberikan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tak melapor LHKPN. Sementara bagi para pejabat negara tidak ada sanksi yang kuat.
“Saat ini bagi saya paling penting adalah bagaimana adanya penerapan sanksi pidana juga. Ketika misal dia tidak melaporkan hal benar terkait dengan LHKPN-nya yaitu dia bisa dipidanakan dengan keterangan palsu,” jelas Yudi.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menambahkan, selama ini sanksi untuk tidak lapor LHKPN itu dikembalikan kepada masing-masing instansi. Adapun bagi laporannya yang tidak benar, itu tidak ada sanksi sampai sekarang.
“Memang ada beberapa kementerian lembaga atau daerah itu membuat ketentuan internal mengenai LHKPN itu. Khususnya bagi yang tidak lapor misalnya diberikan peringatan oleh atasan dan seterusnya. Tapi kalau untuk laporannya tidak benar itu tidak ada mekanisme apapun yang digunakan,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Atas dasar itulah, kata Zaenur, mengapa kemudian banyak penyelenggara negara laporan LHKPN-nya tidak benar. Ini karena sumber kekayaan atau hartanya berasal dari yang tidak sah atau melawan hukum seperti korupsi atau pencucian uang.
Maka, untuk mengatasi itu ke depan, menurut Zaenur, perlu melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas rari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dengan cara memberikan sanksi kepada yang tidak lapor maupun yang laporannya tidak benar.
“Untuk sanksinya apa? Untuk sanksinya perampasan aset. Ini perlu juga disesuaikan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Kalau ada harta yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya maka dirampas oleh negara,” terang dia.
Proses pembahasan RUU Perampasan Aset sendiri kini berada di tangan anggota DPR periode 2024-2029 yang baru saja dilantik. Pembahasan beleid ini tentu menjadi harapan kita seksama kepada para wakil rakyat terpilih. Hal ini penting karena akan membuat KPK dan aparat penegak hukum lainnya dapat merampas aset koruptor tanpa menunggu putusan pengadilan.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz