Perjuangan KH Yusuf Tauziri Asal Cipari Garut dalam Menumpas Pemberontakan DI/TII

5 hours ago 3

KH Yusuf Tauziri adalah salah satu tokoh penting dalam perjuangan rakyat Indonesia. Ia dengan penuh keberanian menentang penjajahan serta melawan berbagai bentuk pemberontakan yang mengancam kedaulatan negara, termasuk pada masa kolonial Belanda.

Salah satu perlawanan besar yang ia lakukan adalah terhadap gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Gerakan ini bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Baca Juga: Mengenal Sosok Bu Dar Mortir, Pejuang Wanita Asal Surabaya Pioner Dapur Umum

Karena keberaniannya dalam menentang DI/TII, KH Yusuf Tauziri sempat dianggap sebagai musuh oleh kelompok tersebut. Perjuangannya menunjukkan dedikasi tinggi dalam mempertahankan keutuhan NKRI, menjadikannya salah satu tokoh yang patut kita kenang dalam sejarah bangsa.

Perjuangan tokoh asal Garut ini bermula pada tahun 1923 saat mendirikan masjid serta pondok pesantren Darussalam di daerah Wanaraja yang sering terkenal dengan Cipari Pangatikan. Untuk mengetahui lebih lanjut terkait sejarah perjuangan tokoh nasional tersebut, simak selengkapnya dalam artikel berikut ini!

Sejarah KH Yusuf Tauziri dan Awal Mula Kedekatannya dengan Kartosuwiryo

Yusuf Tauziri juga aktif dalam bidang pendidikan. Kiai asal Garut ini juga merupakan pejuang yang melawan aksi sabotase oleh penjajah. Pesantren Cipari menjadi tempat konsolidasi rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. 

Bahkan, ia juga turut aktif dalam organisasi Sarekat Islam (SI) yang membuatnya dekat dengan sosok Kartosuwiryo seorang mistikus Islam pimpinan gerakan DI/TII.

Pada 24 Maret 1940 di Bojong, Malangbong, Kartosuwiryo mulai mendirikan Suffah yang menggagas penguatan terhadap tujuan pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Suffah ini menjadi pusat pendidikan dan latihan militer pasukan Sabilillah dan Hizbullah.

Kartosuwiryo dan pendukungnya melakukan kongres yang menciptakan konsep hijrah. Hijrah dalam artian ini adalah sama dengan hijrah sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Mereka meminta seluruh anggota untuk memberikan sumbangan  2.500 kencring (uang receh) dan bergabung ke Suffah.

Melawan Konsep Hijrah Kartosuwiryo dan Dampak Perjanjian Renville

KH Yusuf Tauziri terkenal sebagai ulama yang memiliki pandangan berbeda dengan Kartosuwiryo mengenai konsep hijrah yang dicanangkan oleh DI/TII. Menurutnya, rencana hijrah tersebut belum matang dan persiapannya masih jauh dari sempurna. 

Sebagai alternatif, ia mengusulkan agar dana yang ada lebih baik mereka alokasikan untuk sektor pertanian. Hasil dari pertanian ini nantinya dapat berguna untuk membiayai pendidikan para santri yang kelak menjadi calon ulama.

Situasi semakin kompleks setelah adanya kesepakatan perjanjian Renville pada Januari 1948. Perjanjian ini menetapkan bahwa wilayah Indonesia yang mendapat pengakuan secara resmi hanya mencakup Yogyakarta dan delapan wilayah keresidenan lainnya. 

Akibatnya, Jawa Barat kembali jatuh ke tangan Belanda. Dampak dari kesepakatan ini sangat besar, terutama bagi pasukan pejuang di wilayah tersebut. Dengan kembalinya Jawa Barat ke kekuasaan Belanda, pasukan Laskar Darussalam dan Divisi Siliwangi terpaksa hijrah ke Yogyakarta sesuai perjanjian. 

Kepergian mereka menyebabkan Jawa Barat mengalami kekosongan kekuatan dalam menghadapi penjajah. Dalam situasi ini, perjuangan rakyat setempat menjadi semakin sulit karena kekurangan personel untuk melawan Belanda.

Baca Juga: Perjuangan KH Anwar Musaddad, Tokoh Pendidikan Asal Garut dan Pencetus Berdirinya UIN

Berdirinya NII dan Ketegangan Melawan Pasukan Kartosuwiryo

Pada  7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Peristiwa ini memicu ketegangan antara Kartosuwiryo dengan KH Yusuf Tauziri. Puncaknya, saat Agresi Militer Belanda II terjadi, menyebabkan ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Sehingga Divisi Siliwangi dan Laskar Darussalam harus kembali ke Jawa Barat.

Permasalahan terjadi ketika sesampainya di Jawa Barat, Kartosuwiryo justru mengklaim bahwa wilayah tersebut sebagai daerah kekuasaan NII buatannya. Pada titik inilah, Kyai Tauziri harus menghadapi dua musuh sekaligus yaitu berhadapan dengan pasukan Belanda pada siang hari dan melawan pasukan Kartosuwiryo pada sore hari.

Memompa Semangat Perjuangan dan Babak Akhir Pertempuran

Pada masa pertempuran itu, KH Yusuf Tauziri berperan penting dalam memompa semangat Laskar Darussalam dan juga penduduk sekitar. Ia mengharamkan pejuang untuk mundur dan menyusun strategi dalam melindungi para pasukan dan penduduk.

Kartosuwiryo sendiri pernah mengancam pihak pesantren Darussalam untuk mengambil sikap mereka berada di pihak RI atau DI/TII. Namun, dengan tegas Kyai Tauziri menolak ajakan Kartosuwiryo untuk bergabung dengan NII. Ia menegaskan tetap loyal dan setia kepada negara Republik Indonesia dan berkomitmen menumpas segala pemberontakan DI/TII Jawa Barat tersebut.

Penyerangan tersebut terjadi hingga tahun 1958, namun ada sumber sejarah lain yang mengatakan bahwa terjadi 52 kali serangan sapujagat TII ke Cipari dan terbesar pada tanggal 17 April dan 5 Agustus 1952. Pada akhirnya, Kartosuwiryo meninggal karena hukuman mati oleh Presiden Soekarno pada 5 September 1962.

Baca Juga: Biografi KH Samanhudi, Pengusaha Batik Asal Surakarta Pendiri Sarekat Dagang Islam

Demikian ulasan terkait perjuangan KH Yusuf Tauziri dalam melawan pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di wilayah Jawa Barat. Loyalitasnya kepada negara Indonesia patut menjadi teladan karena gigih dalam melawan arus pemberontakan yang memecah belah rakyat Indonesia. Kyai pemberani ini akhirnya wafat pada 1982 dan pemakamannya di lingkungan Pesantren Darussalam, Wanaraja, sebagai kampung halamannya. (R10/HR-Online)

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |