tirto.id - Wacana mengubah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga ad hoc dengan masa kerja dua tahun, mengemuka di DPR pekan lalu. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI beralasan usulan ini dilontarkan agar kerja KPU lebih efektif dan tidak memakan anggaran negara. Hal ini diungkapkan oleh Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay.
Agenda mengevaluasi penyelenggara pemilu menjadi salah satu persoalan yang didorong agar dibahas dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
KPU dipandang hanya efektif bekerja selama dua tahun masa pemilu dan pilkada serentak. Tiga tahun sisanya, KPU cuma mengisi agenda dengan bimbingan teknis (bimtek) yang dinilai makan anggaran.
Dalam rapat dengar pendapat umum di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2024) pekan lalu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, menilai KPU dan Bawaslu terlihat hanya efektif bekerja dalam dua tahun.
Ia menilai KPU dan Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak lagi ada pekerjaan setelah penyelenggaraan pemilu serentak selesai.
“Pertanyaannya, eksistensi KPU dan Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota masihkah relevan permanen atau kembali ad hoc?” ungkap Rendy.
Saleh sependapat jika KPU sebaiknya menjadi lembaga ad hoc. Menurutnya, KPU akan jadi lebih efektif dan tidak menghabiskan anggaran jika menjadi lembaga ad hoc dengan masa jabat selama dua tahun. Ia menilai kegiatan bimtek KPU tidak jelas tujuannya.
“Kebanyakan untuk tahun ketiga sampai kelima, mereka [KPU] itu hanya datang bimtek ke Jakarta. Enggak tahu juga kita apa yang dibimtekan itu,” respons Saleh.
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai bila KPU dijadikan lembaga ad hoc, maka jajarannya akan diisi anggota baru setiap periode. Hal ini berpotensi menimbulkan berkurangnya pengalaman dan pengetahuan kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu profesional dan minim konflik.
Saat ini, ungkap Arif, KPU sebagai lembaga independen definitif, memiliki kesempatan untuk menjaga kesinambungan kebijakan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu secara berkelanjutan. KPU dirancang bersifat independen dan tidak dipengaruhi konstelasi politik jangka pendek.
Menurut Arif, jika KPU dibentuk menjadi lembaga ad hoc, ada risiko penyelenggara pemilu bisa diganti sesuai kondisi politik tertentu. Hal ini berpotensi mengurangi independensi serta meningkatkan potensi politisasi penyelenggara pemilu.
Pemilu di Indonesia melibatkan infrastruktur yang kompleks. Termasuk teknologi informasi yang digunakan dalam pemutakhiran data pemilih dan rekapitulasi suara. Sebagai lembaga permanen, KPU idealnya akan memiliki waktu cukup untuk mengembangkan, menguji, dan memperbaiki sistem pemilu ini.
“Jika KPU hanya beroperasi sebagai lembaga ad hoc, ada risiko sistem tidak sepenuhnya matang karena waktu kerja yang terbatas,” kata Arif kepada reporter Tirto, Rabu (6/11/2024).
Petugas keamanan bersiaga di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (29/6/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.
DPR Makin Ugal-ugalan Pilih Anggota KPU
KPU sebagai lembaga ad hoc, dikhawatirkan membuat wewenang DPR semakin vital dalam penunjukan anggota KPU di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Dengan status ad hoc, maka seleksi anggota KPU akan lebih sering dilakukan. DPR akan memiliki lebih banyak kesempatan menentukan siapa saja yang akan menjabat di KPU.
Proses ini membuka peluang terjadinya politisasi dalam pemilihan anggota KPU. Pasalnya, DPR sebagai lembaga politik berpotensi mendahulukan kepentingan parpol/fraksi tertentu dalam proses seleksi. Padahal, fondasi utama KPU adalah independensi sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
“Sebagai lembaga ad hoc, KPU mungkin akan bergantung pada pengawasan DPR untuk akuntabilitas. Hal ini bisa mempengaruhi kemandirian KPU,” ujar Arif.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai wacana menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc bertentangan dengan konstitusi yang mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu.
Lembaga penyelenggara pemilu, kata Yance, telah diatur dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional. Dalam Pasal 22E ayat (5) menyebutkan: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Dengan demikian, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu dan DKPP harus dirancang sebagai badan yang tetap, bukan badan ad hoc,” ucap Yance kepada
reporter Tirto, Rabu (6/11/2024).
Menurut Yance, jika yang dikhawatirkan DPR adalah efektivitas kerja KPU usai pemilu dan pilkada serentak, maka yang harus dievaluasi adalah program kerja KPU. Ia melihat, saat masa tidak menyelenggarakan tahapan pemilu dan pilkada, KPU dan Bawaslu seharusnya berperan aktif melakukan edukasi mengenai demokrasi elektoral.
Misalnya melakukan edukasi ke masyarakat mengenai politik uang dan membentuk sistem pengawasan partisipatif oleh warga. Yance menilai berbagai edukasi kepemiluan semacam itu juga merupakan hal yang penting dilakukan penyelenggara pemilu.
“Merancang penyelenggara pemilu sebagai badan yang tetap punya hubungan yang kuat untuk mendorong independensi penyelenggara pemilu,” lanjut Yance.
Efek Samping KPU Ad Hoc
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, memandang membuat KPU menjadi lembaga ad hoc dapat menciptakan inefisiensi dan ketidakefektifan kinerja.
Setiap pergantian anggota KPU, tentu akan memerlukan proses adaptasi yang tidak cuma memakan waktu, namun juga sumber daya demi memastikan keselarasan di antara anggota baru. Belum adaptasi terhadap peraturan dan koordinasi dengan lembaga terkait.
Pergantian yang terlalu sering di penyelenggara pemilu, menghambat keberlanjutan program dan perencanaan strategis jangka panjang. Padahal, keberlanjutan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pemilu. Proses harmonisasi dan orientasi jadi harus diulang setiap periode dan menghambat kesinambungan kebijakan.
"Pergantian yang kerap kali dilakukan dapat menimbulkan persepsi bahwa KPU mudah dipengaruhi kepentingan politik, sehingga bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pemilu,” ujar Felia kepada reporter Tirto, Rabu (6/11/2024).
Dari sisi anggaran, transisi yang berulang akan meningkatkan biaya operasional pelatihan dan orientasi bagi anggota baru. Alih-alih berhemat, hal ini akan lebih membebani anggaran negara tanpa adanya jaminan peningkatan kualitas pemilu.
Terlebih, menurut Felia, menjadi rahasia umum bahwa Komisi II DPR punya pengaruh menentukan anggota komisioner KPU. Sering kali mempertimbangkan latar belakang dan kepentingan politik tertentu. Jika KPU diubah menjadi lembaga ad hoc, potensi munculnya praktik bagi-bagi jabatan menjadi semakin besar.
“Memilih anggota KPU secara berkala, sesuai kepentingannya, dapat memperkuat kontrol politik terhadap lembaga yang seharusnya netral dan independen, serta berintegritas,” ujar Felia.
Di sisi lain, Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat tidak ada masalah menjadikan KPU lembaga ad hoc bila tetap menyesuaikan model penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak sebagaimana yang terjadi di 2024 ini.
Pasalnya, kata Lucius, akhirnya KPU memang bekerja efektif selama dua tahun saja sesuai dengan tahapan pemilu.
“Selebihnya mereka akan nganggur. Jadi dari sisi efektivitas kerja penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu tampaknya bisa menjadi lembaga ad hoc,” tutur Lucius kepada reporter Tirto, Rabu (6/11/2024).
Akan tetapi, Lucius meminta usulan ini didalami secara sungguh-sungguh. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan lebih dulu, terutama soal independensi penyelenggara pemilu. DPR harus mampu memastikan lembaga penyelenggara pemilu tetap independen.
Lucius khawatir model ad hoc berpotensi menjadi semakin tidak independen dan terbuka. Ia menilai KPU akan mudah disusupi oleh kader parpol jika skema ad hoc abai membahas soal independensi penyelenggara pemilu.
Menurut Lucius, yang paling berpotensi untuk menjadi lembaga ad hoc adalah Bawaslu dan KPU di tingkat daerah. KPU level pusat atau nasional seharusnya dibiarkan tetap menjadi lembaga definitif dengan masa bakti lima tahun.
“Jadi KPU RI seharusnya tetap seperti sekarang tinggal saja pasca semua tahapan Pemilu fokus mereka harus diarahkan pada penataan kelembagaan dan juga pendidikan pemilih,” tawar solusi dari Lucius.
Anggota KPU RI Iffa Rosita di Komplek Istana Kepresidenan, Selasa (5/11/2024). (Tirto.id/M. Irfan Al Amin)
Respons KPU
Anggota KPU RI, August Mellaz, menyampaikan bahwa pihaknya merupakan pelaksana undang-undang. Sebagai pelaksana, KPU hanya mengikuti beleid terkait penyelenggara pemilu yang saat ini sedang berlaku.
Mellaz menyatakan bahwa KPU tidak memiliki wewenang untuk masuk ke ranah pembentuk undang-undang.
“Kita pada dasarnya mengikuti undang-undang sebagai pelaksana. Karena saat ini masih sama, kita bekerja seperti biasa sebagaimana tugas di undang-undang," kata Mellaz dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/11/2024).
KPU baru akan memberikan masukan dan pandangan jika DPR memanggil mereka untuk membahas revisi UU Pemilu. Mellaz menegaskan KPU menghormati proses yang ada di Baleg DPR RI terkait evaluasi penyelenggara pemilu, dan siap memberikan masukan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024
"Kita saat ini sudah merampungkan evaluasi Pemilu kemarin. Tentu jika DPR memanggil untuk membahas soal evaluasi kelembagaan KPU, kami siap memberi pandangan. Saat ini kami ikuti peraturan yang berlaku," tutur Mellaz.
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto