tirto.id - Lokananta merupakan perusahaan produsen piringan hitam yang dikelola Pemerintah Republik Indonesia mulai tahun 1950-an di Kota Surakarta. Namun produksi ini mulai menurun seiring perkembangan zaman saat industri media mulai menjamah audio visual.
Pada 1999, Lokananta dinyatakan bangkrut oleh Presiden RI saat itu, Abdurrahman Wahid alis Gus Dur. Dua tahun berselang, Lokananta sempat dikelola oleh Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), namun produksi piringan hitamnya terus menurun.
Warsa 2010, muncul gerakan Save Lokananta yang diinisiasi mendiang Glenn Fredly bersama Sahabat Lokananta. Kemudian pada 2022, Lokananta menandatangani surat keputusan untuk dilakukan proyek revitalisasi.
Selama kurang lebih satu tahun revitalisasi, akhirnya pada 2023 Lokananta resmi dibuka kembali dengan wajah baru. Kini, Lokananta dikelola oleh PT. Ruang Riang Lokananta di bawah M Bloc Group.
Saat ini, Lokananta tidak lagi memproduksi piringan hitam, telah berubah menjadi destinasi wisata sejarah khasanah musik Indonesia. Tak hanya itu, Lokananta juga menghadirkan ruang publik bagi anak muda untuk bisa mengembangkan komunitasnya.
Menurut In Magma, Operation Manager Lokananta, terdapat berbagai agenda mulai dari agenda mingguan hingga tahunan untuk menghidupkan komunitas-komunitas tersebut dan menjadikan Lokananta sebagai wadahnya.
"Saat ini Lokananta mengembangkan unit bisnis, UMKM, wisata, venue pertunjukan, studio rekaman yang juga dipakai untuk venue. Ada produksi rekaman, merchandise, iklan. Kalau dulunya Lokananta produksi musikus, sekarang diperlebar jadi segmentasi nggak cuma musikus tapi orang-orang bukan musikus bisa datang ke sini, untuk makan, jajan, nongkrong, atau ke museum," terang Aak, sapaan akrab In Magma kepada Tirto, Rabu (9/10/24).
"UMKM di sini bisa apply, kita ada namanya Lokananta Tenant Hunt. [UMKM] yang masuk ke sini mengajukan proposal, cocok nggak produknya yang dijual. Karena kegiatan kita nggak cuma beraktivitas secara niaga, tapi industri kreatifnya ada kegiatan komunitas, misalnya seperti workshop. Kita minta [UMKM] untuk bikin aktivasi selain jualan," imbuhnya.
Ruang publik berupa lapangan yang berada di bagian belakang Lokananta sekarang digemari anak muda untuk melakukan berbagai aktivitas, atau sekadar bersantai. Menurut Aak, ruang publik ini ramai dikunjungi setiap hari.
"Ramai, banyak anak muda sekadar nongkrong. Untuk primetime weekday itu jam 4 sore, kalau weekend dari pagi sudah ramai," tuturnya.
Dalam sejumlah agenda yang dimiliki Lokananta, kerap diisi oleh sejumlah komunitas anak muda seperti komunitas olahraga, UMKM lokal, komunitas seni rupa, fashion enthusiast, program komunitas sepeda, yoga, dan breakdance.
Lokananta juga sering mengadakan kegiatan kolaborasi dengan berbagai komunitas, seperti komunitas pegiat gamelan dengan menggelar Gamelan Gigs yang dilaksanakan dua bulan sekali, Dalang Remaja Surakarta dengan pagelaran Darmasuta, serta komunitas sastra dengan kehiatan Tilikan Fest.
Tak hanya kegiatan kolaborasi, Lokananta juga memiliki agenda yang ia inisiasi sendiri seperti ulang tahun Lokananta, M Bloc Design Week, Gembira (Gerakan Malam Bersama Galeri Lokananta), dan Lokananta Studio Gigs.
Di Lokananta juga terdapat galeri yang menyajikan sejarah perjalanan panjang Lokananta. Di dalam galeri tersebut, terdapat pula pameran temporer yang temanya berganti setiap tahun.
Tahun lalu, pameran temporer tersebut mengambil tema Lokananta remastered. Tahun ini, tema pamerannya adalah sejarah musik Indonesia dari tahun 1959-1969.
Setelah proyek revitalisasi akhirnya pada 2023 Lokananta resmi dibuka kembali dengan wajah baru. Kini, Lokananta dikelola oleh PT. Ruang Riang Lokananta di bawah M Bloc Group. (FOTO/Adisti Daniella)
Mengembalikan Peran Lokananta
Kiwari Lokananta telah menjelma sebagai tempat wisata dan ruang publik bagi anak muda, namun demikian ia merupakan situs musik bersejarah di Indonesia dan tetap memiliki visi untuk bisa menghidupkan kembali iklim musik di Kota Solo.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Aak mengungkapkan Lokananta akan mengadakan Bintang Muda Lokananta bersama Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Agenda besar ini diselenggarakan dalam rangka ulang tahun Lokananta.
Bintang Muda Lokananta merupakan rangkaian program mencari musikus berbakat untuk mendapat kesempatan merilis album dan tur di beberapa kota.
"Bintang Muda Lokananta ini merupakan rangkaian program untuk mencari musikus yang beruntung dan berbakat untuk diseleksi dan akan mengikuti pelatihan, kemudian manggung, rekaman bikin album dan akan tur ke Jogja, Jakarta. Rangkaian acaranya setahun, kick off tanggal 29 Oktober besok," ujar Aak.
Aak berharap Lokananta bisa berfungsi kembali seperti semula, tak hanya bagi musikus, tapi juga masyarakat luas. Menurutnya, melalui Lokananta, masyarakat dapat belajar dan memahami sejarah musik Indonesia.
"Lokananta punya value sendiri. Kita ngomongin musik dan bangsa ini. Apalagi bagi yang suka musik, why not untuk ke Lokananta dan paham bahwa kita sekeren itu. Orang belajar betapa besarnya bangsa kita dan kerennya kita itu dan bisa lebih apresiasi musik sekarang, musik tradisional, pop Indo. Musik itu universal. Jarang orang bisa bilang nggak suka musik. Kalau sejarah doang [mungkin] nggak interest, tapi gimana musik bisa menceritakan, itu mungkin kan beda," paparnya.
Aak yang dulu seorang musikus, juga memberikan pandangannya terhadap musikus di Solo yang sangat potensial. Ia mengaku sudah tidak aktif sebagai musikus, namun masih aktif di belakang layar melalui Lokananta.
"Sekarang belakang layar, aktif melalui Lokananta. Lebih melalui program untuk membantu musikus. Bikin [kegiatan] apa yang bisa menunjang musikus lokal, karena menurutku nilai manfaat harus bisa dirasakan sekitar dulu sebelum reach out lebih jauh," ujarnya.
Menurutnya, kualitas musikus di Kota Solo tak kalah dengan para musikus di kota besar lain. Hanya yang perlu jadi perhatian adalah bagaimana mempromosikan musikus tersebut dengan baik dan benar. Aak menggambarkan hal ini dengan perlunya etalase yang lebih menarik agar lebih banyak orang melirik dan mencari tahu tentang musikus di Solo.
"Kita butuh etalase, di mana orang mau datang dan melihat. Kalau di kota-kota besar etalasenya pasti keren. Kita belum ngomongin kualitas. Etalase di Solo, kota kecil mungkin masih kurang keren. Jadi bukan barangnya, tapi etalasenya yang kurang keren. Karena di Solo festival sudah ada, etalasenya udah ada. Mungkin festival di Solo kurang besar karena secara produksi, anggaran dana, bisa lebih besar. Hal-hal itu yang mungkin juga banyak sumber daya yang kurang terekspos," terangnya.
Aak berharap akan lebih banyak lagi media yang menyorot musikus lokal. Selain itu, ia juga menginginkan pemangku kebijakan terkait untuk lebih peduli dengan potensi yang dimiliki Kota Solo.
"Karena mungkin nggak pernah diangkat, ya. Peran media sebagai kanal juga sangat penting. Padahal siapa yang support kalau bukan lokal sendiri. Harus ada dukungan banyak pihak. Lokananta sebagai wadah, musikus, media, dan stakeholder bisa lebih peduli kalau di Solo ada potensi ini," pungkasnya.
pengunjung melihat-lihat koleksi piringan hitam di musem lokananta, solo, jawa tengah, sabtu (10/10). lokananta merupakan salah satu tujuan wisata di kota solo yang memiliki koleksi lengkap arsip catatan sejarah industri musik indonesia dan sebanyak 50 ribu keping piringan hitam musik, termasuk berbagai rekaman pidato presiden soekarno. antara foto/maulana surya/
Perubahan Terus Terjadi, Sejarah Tidak
Akhmad Ramdhon, pengamat sosiologi dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, melihat konteks sejarah Lokananta dalam tiga periode. Pertama, adalah di periode 1950-an, awalnya Lokananta merupakan proyek identitas dan nasionalisme yang diinisiasi Bung Karno. Melalui Lokananta, spirit nasionalisme itu hadir dalam bentuk audio, lagu-lagu yang diproduksi, dan piringan hitam.
"Memang ini bangungan yang didesain dalam gagasan besar, bagian dari kultur baru Indonesia untuk membangun identitasnya. Lokananta dibangun sebagai sebuah medium transfer gagasan nasionalisme yang lebih luas," terangnya.
Kemudian, momen penting yang kedua adalah di era 1970-an yang menjadi puncak identitas nasionalis yang dibingkai banyak variasi bentuk. Era ini muncul Waldjinah dan Gesang sebagai wajah budaya pop baru, khususnya di Jawa.
Terakhir, era 1990-an muncul industri baru yakni televisi dengan media audio visual. Pada situasi ketiga ini, memberi konteks atau bentuk Lokananta menjadi Lokananta yang relatif vakum.
"Media di tahun 1990-an, televisi muncul. Medium untuk budaya punya variasi yang lebih kompleks, yaitu audio visual. [diikuti] pop modern muncul. Akhir 1990-an menjadi tidak semegah dua periode sebelumnya [bagi Lokananta]. Lokananta kayak kenangan aja, kan," sambungnya.
Perubahan yang dialami Lokananta wajar terjadi karena perubahan memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Hal ini karena ada sejumlah variabel yang memengaruhi dari luar. Dalam konteks Lokananta, variabel tersebut adalah ketika industri televisi dengan media audio visualnya mulai muncul dan masif.
Menurut Ramdhon, munculnya industri baru ini mendapat antusiasme publik dan Lokananta menjadi ruang yang ditinggalkan karena sudah tidak kontekstual dengan eksistensi Lokananta di awal, yakni persebaran budaya melalui media audio.
"Industri televisi muncul, audio visual, maka itu menjadi titik awal lokananta mengalami kegagalan menjawab persoalan zaman. Teknologi tidak mundur, tapi Lokananta semakin tertinggal oleh antusiasme publik. Lokananta jadi ruang yang ditinggalkan oleh publik apalagi dengan kebudayaan baru tidak kontekstual dengan eksistensi Lokananta di awal," ujar Ramdhon saat dihubungi Tirto, Kamis (10/10/24).
Lokananta hari ini, menurut Ramdhon, merupakan hasil dari dua konteks yang terjadi selama lima tahun terakhir di Kota Surakarta. Yang pertama adalah komunitas anak muda, khususnya dari pegiat musik yang peduli terhadap sejarah panjang Lokananta sebagai situs musik di Indonesia. Kedua, momen politik seperti Pilkada Surakarta tahun 2020 yang kemudian mendorong proyek revitalisasi.
Menurut Ramdhon, jika Lokananta hanya direvitalisasi menjadi ruang publik, tanpa memperhatikan sejarah, maka ia akan kehilangan ruhnya. Ia juga menekankan bahwa sejarah tidak akan berubah meskipun perubahan akan terus terjadi pada Lokananta.
"Tidak ada yang bisa menolak perubahan. Anak-anak muda yang hari ini mengaktivasi Lokananta akan mengalami perubahan. Perubahan akan banyak hal, iya [akan terjadi], tapi tidak dengan sejarah," pungkasnya.
tirto.id - Musik
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Irfan Teguh Pribadi