Sejarah Gedung Agung Yogyakarta, Jejak Berharga yang Kini Jadi Cagar Budaya

2 days ago 15

Yogyakarta bukan hanya tentang Malioboro atau Keraton, tetapi juga menyimpan banyak bangunan bersejarah yang punya cerita panjang. Salah satu yang paling ikonik adalah Gedung Agung Yogyakarta. Bangunan ini bukan sekadar istana kepresidenan, tetapi juga saksi berbagai peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah Gedung Agung Yogyakarta menjadi materi yang menarik untuk kita bahas bersama.

Gedung Agung Yogyakarta sudah berdiri sejak zaman kolonial dan terus bertahan melewati berbagai era. Dari masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga menjadi pusat pemerintahan saat ibu kota Indonesia berpindah ke Yogyakarta, gedung ini selalu memiliki peran strategis. Banyak tokoh penting pernah menjejakkan kaki di tempat ini, menjadikannya bagian dari sejarah nasional.

Baca Juga: Mengulas Sejarah Bunker Kaliadem di Kawasan Lereng Gunung Merapi

Hingga kini, Gedung Agung Yogyakarta tetap kokoh berdiri di jantung kota, dekat dengan Malioboro. Meski fungsinya sudah tidak seperti dulu, pesonanya masih menarik banyak orang. Bangunan ini menjadi bukti bagaimana Yogyakarta selalu memiliki tempat istimewa dalam sejarah Indonesia.

Simak Sejarah Gedung Agung Yogyakarta

Gedung Agung Yogyakarta merupakan salah satu cagar budaya yang masih berfungsi sebagai Istana Kepresidenan. Saat berkunjung ke Yogyakarta, presiden biasanya singgah dan menginap di gedung yang terletak di ujung Jalan Malioboro, tepatnya di kawasan Titik Nol Kilometer.

Istana ini berdiri megah di atas lahan seluas 43.585 meter persegi dan memiliki sejarah panjang. Salah satu peristiwa penting yang terjadi di sekitar pembangunannya adalah Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung pada 1825-1830.

Keberadaan Gedung Agung berkaitan erat dengan pembangunan gedung keresidenan oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi mendirikan Keraton Ngayogyakarta yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Yogyakarta.

Untuk mengawasi Kasultanan Yogyakarta, Belanda mendirikan Benteng Rustenburg (kemudian terkenal sebagai Benteng Vredeburg) dan menunjuk seorang residen. Gedung keresidenan dibangun di sebelah barat benteng sebagai tempat tinggal residen.

Pada masa pemerintahan Residen Yogyakarta ke-17, Antonie Hendrik Smissaert (1823-1825), ada upaya perbaikan gedung keresidenan. Dalam suratnya tertanggal 2 Mei 1823 kepada sekretaris negeri gubernur jenderal Hindia Belanda, Smissaert menyebutkan bahwa bangunan tua di pekarangan luas yang disebut “Loji Kebon” (Tuin Logie), yang telah berdiri sejak 1722, mengalami kerusakan parah dan perlu adanya perbaikan.

Gubernur Jenderal Belanda saat itu, G.A.G.P.B Van der Capellen, menyetujui usulan tersebut dan menunjuk A. Payen sebagai arsitek sekaligus pelaksana renovasi. Pembangunan kembali gedung keresidenan dimulai pada tahun 1824, menandai awal dari perkembangan Gedung Agung Yogyakarta yang kita kenal saat ini.

Perubahan Status di Era Kolonial

Seiring waktu, sejarah Gedung Agung Yogyakarta mengalami berbagai perubahan fungsi. Pada 1867, bangunan ini mengalami kerusakan parah akibat gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta. Pemerintah kolonial kemudian membangun ulang gedung tersebut dan meresmikannya pada tahun 1869.

Setelah status Yogyakarta meningkat menjadi Provinsi pada 1927, gedung ini menjadi tempat tinggal Gubernur Belanda. Beberapa gubernur yang pernah menempatinya antara lain J.E. Jasper dan H.M. de Kock. Mereka menggunakan gedung ini sebagai pusat administrasi dan kediaman resmi hingga masa pendudukan Jepang.

Baca Juga: Sejarah Museum Perjuangan Yogyakarta, Bangunan Peringatan 50 Tahun Kebangkitan Nasional

Saat Jepang berkuasa pada 1942, gedung ini kembali berganti penghuni. Kali ini, seorang pejabat tinggi Jepang menggunakannya sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Perubahan ini menunjukkan bagaimana gedung ini selalu menjadi bagian dari pusat kekuasaan sejak zaman kolonial.

Peran Penting di Masa Kemerdekaan

Sejarah Gedung Agung Yogyakarta semakin menarik saat Republik Indonesia berpindah ibu kota ke Yogyakarta pada 6 Januari 1946. Presiden Soekarno dan keluarganya menjadikan gedung ini sebagai tempat tinggal resmi. Sementara itu, Wakil Presiden Mohammad Hatta tinggal di bangunan lain di dekatnya.

Di gedung ini pula, Jenderal Soedirman menjabat sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947. Beberapa kabinet juga pernah dilantik di sini, menunjukkan betapa pentingnya gedung ini dalam sejarah politik Indonesia. Gedung Agung Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sementara di tengah situasi perang.

Namun, situasi berubah saat Agresi Militer II Belanda terjadi pada 19 Desember 1948. Yogyakarta mendapat serangan dari berbagai arah, membuat para pemimpin Indonesia ditangkap dan diasingkan. Gedung Agung pun sempat Belanda kuasai hingga akhirnya kembali setelah kedaulatan Indonesia pulih.

Fungsi Gedung Agung Masa Kini

Setelah ibu kota kembali ke Jakarta pada 28 Desember 1949, sejarah Gedung Agung Yogyakarta tidak lagi menjadi tempat tinggal presiden. Meski begitu, bangunan ini tetap memiliki peran penting dalam berbagai acara kenegaraan. Saat ini, gedung ini berfungsi untuk menerima tamu negara dan menggelar acara resmi lainnya.

Selain itu, Gedung Agung Yogyakarta juga sering menjadi lokasi salat Idul Fitri dan Idul Adha bersama masyarakat. Keberadaannya tetap terasa dekat dengan rakyat, mencerminkan semangat Yogyakarta sebagai kota budaya dan sejarah. Setiap sudut bangunan ini masih menyimpan jejak perjuangan yang tidak terlupakan.

Baca Juga: Sejarah Masjid Mungsolkanas, Tertua Sekaligus Saksi Bisu Penyebaran Islam di Bandung

Bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, melihat Gedung Agung dari dekat bisa menjadi pengalaman yang menarik. Bangunan ini bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga simbol ketahanan bangsa. Dari masa kolonial hingga era modern, sejarah Gedung Agung Yogyakarta tetap berdiri megah dengan segala kisahnya. (R10/HR-Online)

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |