tirto.id - Di tengah kemajuan teknologi yang merambah hampir semua bidang kehidupan, seniman jalanan di kawasan Braga, Bandung, tetap mempertahankan gaya seni tradisional atau manual. Meski kecanggihan artificial intelligence (AI) telah menciptakan gambar-gambar yang nyaris sempurna, para seniman di Braga seperti Harlan (44) memilih bertahan dengan sapuan tangan mereka, melukis wajah dan cerita para pengunjung dengan sentuhan emosi yang khas.
Harlan, sebagai salah satu seniman jalanan yang sudah cukup lama berkarya di Braga, telah berkarya sejak kecil. Baginya, seni manual adalah panggilan jiwa, yang tak bisa digantikan oleh teknologi. Keinginan Harlan untuk menggeluti seni lukis kian menguat saat pandemi COVID-19. Kala itu seniman jalanan sulit meraih pendapatan.
“Saat itu saya mulai menggambar sket di Braga. Selain untuk mendapatkan penghasilan, saya juga bertemu dengan seniman lain, dan akhirnya kami membentuk komunitas seni Bragaweg Art Community,” katanya saat ditemui di Jawa Barat, Minggu (3/11/2024).
Komunitas Bragaweg Art Community menjadi wadah bagi para seniman jalanan yang ingin mempertahankan seni lukis manual di tengah tantangan era digital. Harlan memahami, fenomena gambar buatan AI yang semakin populer sebenarnya belum berdampak langsung terhadap pekerjaan para seniman Braga.
Namun, Harlan mengakui bahwa teknologi tersebut mulai mengubah cara orang memandang karya seni. Menurut Harlan, AI memang dapat membantu dalam proses berkarya, namun seni manual tetap memiliki keistimewaan tersendiri yang tak dapat direplikasi oleh mesin.
Bagi Harlan, seniman manual akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Ia meyakini bahwa perbedaan mendasar antara karya manual dan digital adalah dalam cara mereka menciptakan emosi dalam setiap goresan.
"Sentuhan seniman itu sangat berbeda dengan sentuhan teknologi AI. Pembeda itu lah yang menjadi kekuatan seniman manual,” ujarnya optimistis.
“Kalau menggambar manual itu akan memberikan perbedaan yang sangat besar dibanding AI. Dalam setiap goresan itu ada emosi dan passion dari seniman. Itu yang membuat gambar manual memiliki nilai lebih,” tambah Harlan.
Ia meyakini bahwa sentuhan emosi dan rasa dari setiap goresan tangan tidak dapat tergantikan oleh teknologi.
Tak hanya Harlan, salah satu pengguna jasa seniman di Braga juga tak merasakan perbedaan tersebut. Ayu, salah seorang pengunjung dari Jakarta, mengungkapkan kekagumannya terhadap karya seniman Braga. Ia datang jauh-jauh dari Jakarta bersama keluarganya untuk mengunjungi Braga dan tidak sengaja tertarik melihat jasa yang ditawarkan Harlan juga seniman lainnya.
“Saya sengaja datang ke Braga, lalu melihat ada seniman jalanan yang menawarkan jasa lukis manual. Saya langsung tertarik karena hal tersebut unik,” ujar Ayu.
Bagi Ayu, hasil karya seniman Braga tidak hanya terjangkau dari segi harga, tetapi juga kualitas yang baik. “Malah di luar ekspektasi banget, bagus sekali. AI itu nggak bisa menggantikan gambar manual karena gambar manual itu punya ciri khas sendiri,” tambah Ayu.
Harlan mengakui bahwa meski AI mulai mengambil peran dalam dunia seni, banyak orang yang masih menghargai seni yang dibuat dengan tangan langsung di depan mereka. Bagi Harlan, pengalaman melihat langsung proses seorang seniman menciptakan karya adalah sesuatu yang berharga dan memberikan nilai lebih. Proses ini menciptakan interaksi yang tak bisa didapatkan dari seni digital.
“Belum ada pengaruh signifikan karena masih banyak peminat yang ingin mendapatkan karya seni yang dilihat dan dibuat secara langsung,” jelasnya.
Namun, Harlan juga tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi. Ia sadar bahwa AI akan terus berkembang dan mungkin suatu saat nanti bisa memengaruhi seniman-seniman manual seperti dirinya. Akan tetapi, ia tetap optimis bahwa kreasi manual tak akan pernah hilang. Setiap karya yang dibuat AI tetap membutuhkan karya manual sebagai dasar.
Harlan malah meyakini AI maupun karya manual akan berjalan beriringan, tergantung bagaimana seniman menempatkan teknologi dengan tanggung jawab. Menurutnya, tantangan bagi seniman manual adalah bagaimana memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan jati diri mereka.
Sementara itu, di tengah ancaman AI, seniman Braga tetap yakin akan pilihan mereka. Setiap goresan pensil dan kuas yang mereka buat di atas kanvas memiliki kedalaman yang tak bisa diukur dengan algoritma.
Ketika seniman manual seperti Harlan bekerja, setiap gerakan tangannya adalah interpretasi dari emosi dan pengalaman hidup yang unik. Ia melihat bahwa teknologi memang bisa menciptakan gambar yang tajam dan presisi, namun sentuhan personal tetaplah milik manusia.
“Dalam setiap gambar manual itu ada perbedaan di tekanan garis, keras dan lembutnya, dan ada emosi yang membuatnya berbeda,” ungkap Harlan.
Komunitas seniman Bragaweg Art Community yang didirikan Harlan bersama teman-temannya kini menjadi salah satu daya tarik di jalan Braga. Di sepanjang trotoar Braga, para seniman jalanan menggelar karya mereka, mulai dari sketsa wajah, lukisan pemandangan, hingga abstraksi yang kaya warna.
Dengan komunitas ini, mereka saling berbagi pengetahuan dan dukungan agar seni manual tetap hidup dan diminati masyarakat. Di sisi lain, para pengunjung yang berkunjung ke Braga dapat merasakan pengalaman berbeda dengan menyaksikan langsung proses penciptaan karya seni, sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan dari teknologi.
Pada akhirnya, keberadaan seniman jalanan di Braga menjadi pengingat bahwa seni bukan sekadar produk visual, tetapi adalah pengalaman yang melibatkan emosi dan interaksi. Harlan dan teman-temannya berharap bahwa di masa depan, teknologi seperti AI bisa hidup berdampingan dengan seni manual, saling melengkapi tanpa saling menggantikan.
tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Andrian Pratama Taher