tirto.id - Menjadi atlet sepak bola wanita profesional adalah mimpi dan cita-cita bagi Ranita Suhendi. Perempuan yang akrab disapa Rani itu mengaku, sejak kecil, ia telah terbiasa diajak bermain sepak bola oleh kakak dan teman laki-lakinya. Seiring waktu, tumbuhlah bibit-bibit kecintaannya terhadap olahraga tersebut.
“Melalui sepak bola, aku bisa lebih mengekspresikan diri dan mengeksplorasi bakat,” ujar wanita asal Lamongan, Jawa Timur itu kepada Tirto, Selasa (21/1/2025).
Tak hanya sebagai hobi, ia juga punya mimpi untuk jadi atlet sepak bola putri profesional. Sayangnya, jalan untuk menggapai mimpi itu tak mulus. Mulai dari minimnya klub sepak bola perempuan, hingga ketiadaan kompetisi dan pembinaan usia muda, sempat menjadi batu sandungan baginya.
“Dari kecil sampai SMP tuh, kalo main bola, gabung sama tim cowok. Bener-bener susah buat dapetin tim sepak bola putri,” kenang perempuan berusia 23 tahun itu.
Untuk bisa mendapatkan tim, Rani yang saat itu masih berstatus pelajar SMA harus memberanikan diri keluar kota. Ia rela menempuh perjalanan jauh hanya karena ingin menemukan tim sepak bola wanita yang diinginkan dan dapat bergabung di dalamnya.
Pencariannya membuahkan hasil. Gresik Putri kala itu menjadi klub sepak bola pertama bagi Rani. Di klub ini, ia mengikuti kompetisi sepak bola putri Paradise Cup di Bali pada tahun 2018. Ia juga sempat membela Lamongan Putri untuk kejuaraan Piala Pertiwi Regional Jawa Timur. Teranyar, ia memperkuat Persis Solo Women mulai tahun 2022 hingga 2024.
Sebagai seorang perempuan, Rani merasa tantangannya untuk bisa menjadi atlet sepak bola profesional lebih kompleks dari laki-laki. Beragam pertentangan dan stigma harus ia lalui untuk meraih mimpinya itu. Ia mengaku sempat menyerah sebelum kembali menekuni mimpinya itu.
“Dulu pas main di Gresik bahkan sempat ditentang sama Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Belum lagi stigma ‘perempuan kok main bola sih?’. Kuat-kuatin mental aja, kita perempuan juga bisa loh main bola, gak cuma cowok doang,” ujarnya.
Tantangan lain adalah ketiadaan kompetisi liga putri yang berkelanjutan di Tanah Air. Menurutnya, ketiadaan kompetisi ini sangat berpengaruh pada kondisi psikologis, keahlian, dan pengembangan atlet sepak bola putri.
“Kita setiap hari latihan terus ,bener-bener pagi-sore pun ada latihan. Tapi gak ada kompetisi. Akhirnya muncul rasa jenuh, dan itu mempengaruhi kemampuan pemain juga. Gak sedikit pemain sepak bola putri yang nyerah karena gak ada kompetisi,” katanya.
Sepak Bola Putri Dianaktirikan
Seperti dikatakan Rani, Indonesia memang belum memiliki liga sepak bola putri yang berkelanjutan. Terakhir, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menggelar Liga 1 Putri tingkat nasional, yang diikuti oleh 10 klub sepak bola putri profesional, pada 2019 lalu. Setelah itu, praktis tidak ada lagi liga sepak bola wanita di negeri ini.
Padahal, jika dilihat sejarahnya, Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang memiliki kompetisi sepak bola wanita tertua.
Papat Yunisal, dalam artikel di Jurnal Olahraga yang dipublikasikan April 2019, bertajuk "Peran Galanita sebagai Organisasi Sepak Bola 1978-1933", menyebut puncak perkembangan sepak bola wanita di Indonesia terjadi pada 1978, dengan dibentuknya sebuah wadah yang secara formal menghimpun seluruh aspirasi persepakbolaan wanita, yang dikenal dengan Galanita (Liga Sepakbola Wanita). Galanita menjadi bagian dari unsur penunjang organisasi PSSI. Hal ini merupakan salah satu titik penting, sebab awalnya, sepak bola wanita di Indonesia baru kegiatan independen klub-klub sepak bola saja.
Menukil artikel yang sama, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan PSSI No.71-XII/1978 pasal 12 ayat 2, persepakbolaan wanita mendapat wadah dalam lingkungan organisasi PSSI, pada tanggal 30 Desember 1978. Terbentuklah Komisi Galanita dibawah pimpinan Sk. H. Wibowo.
Secara resmi, kompetisi sepak bola wanita pertama kali digelar pada tahun 1981 dengan tajuk "Piala Kartini". Kompetisi yang digelar secara rutin setiap tahun ini diikuti oleh masing-masing klub juara yang menang dalam kompetisi periodik di masing-masing wilayah. Setahun setelahnya, lahir juga kompetisi Invitasi Liga Sepak Bola Wanita (Invitasi Galanita).
Berbeda dengan Piala Kartini, Invitasi Galanita berisikan klub-klub terkuat Galanita yang ditunjuk oleh koordinator masing-masing wilayah. Turnamen ini bertujuan untuk mencari bibit-bibit pemain untuk pembentukan tim sepak bola wanita nasional, yang nantinya akan disiapkan untuk berlaga di pertandingan internasional.
Prestasi tim sepak bola wanita Indonesia pun turut meningkat seiring dengan lahirnya Galanita. Pada turnamen Asian Woman Championship tahun 1982 dan 1985, tim sepak bola wanita Indonesia berhasil tembus hingga babak final dan meraih posisi runner-up. Setahun berselang, tim sepak bola wanita Indonesia bahkan berhasil menembus babak semifinal Piala Asia 1986, setelah terakhir mencapai tahap yang sama pada tahun 1977.
Meski sempat bersinar dan meraih beragam prestasi, namun perjalanan sepak bola wanita di Indonesia tak selamanya mulus.
Papat (2019) menyebut seiring dengan maraknya kompetisi sepak bola putra, Liga Sepak bola Utama (Galatama), di era 1980-an, perhatian pengurus PSSI lebih terfokus pada sepak bola putra. Faktor internal PSSI yang kerap berganti kepengurusan pun membuat kebijakan dan perhatian terhadap sepak bola wanita berubah-ubah seiring dengan pergantian pengurus PSSI.
Puncaknya, Galanita dibubarkan pada tahun 1993. Menukil Kompas, Ketua Umum Galanita, Dewi Wibowo, menyebut alasan pembubaran karena Galanita dibiarkan berusaha dan berdiri sendiri, baik dari segi keuangan maupun pembinaan.
“Saya ngerasa sepakbola wanita itu agak dianaktirikan. Karena sorotan lebih banyak di sepakbola putra,” ujar Pemerhati Sepak Bola, Aun Rahman saat dihubungi Tirto, Selasa (21/1/2025).
Lalu, bagaimana antusiasme dan perkembangan sepak bola wanita di Indonesia?
Tak Ada Kompetisi, Sepak Bola Wanita Indonesia Masih Tertinggal
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia dalam periode 22-28 Desember 2024, menyebut, sekitar 43,7 persen responden mengaku tahu atau pernah mendengar adanya Timnas Putri Indonesia. Sisanya, 56,3 responden mengaku tidak tahu dan tidak pernah mendengar.
Survei yang dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 1.220 responden berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ini juga merekam, hanya sekitar 30,1 persen responden yang tahu Timnas Putri Indonesia berhasil keluar sebagai juara Piala AFF Women’s Cup pada Desember 2024 lalu.
Data yang sama merekam pengetahuan terkait timnas putri lebih tinggi di kelompok laki-laki, Gen Z, dengan pendidikan dan pendapatan yang tinggi, serta orang yang tinggal di perkotaan, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Sementara itu, komunitas sepak bola wanita di Indonesia, Women’s Footie Indonesia (WFI), melihat antusiasme masyarakat terhadap sepak bola wanita terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir.
“Secara general antusiasme meningkat sih, terutama pas pandemi itu, orang-orang mulai ngulik soal sepak bola wanita," ujar Retno Nino, Co-Founder Women's Football Indonesia (WFI), saat dihubungi Tirto, Selasa (21/1/2025).
Dalam konteks Indonesia, komunitas WFI menilai antusiasme masyarakat yang mulai tumbuh tidak diiringi oleh perhatian yang diberikan federasi kepada perkembangan sepak bola wanita di Indonesia. Ketidakjelasan nasib kompetisi liga wanita reguler sejak terakhir digelar pada tahun 2019 lalu menjadi salah satu indikator.
“Akhir tahun kemarin sempat ada Piala Pertiwi. Tapi habis itu mereka (atlet) nganggur lagi. Gimana atlet mau kompetitif kalo gak ada liga yang berjenjang?” ujar Retno dari WFI lagi.
Pengamat sepak bola, Rossi Finza Noor, menilai, perkembangan sepak bola wanita di Indonesia unik. Sebabnya, Indonesia memiliki timnas putri, tanpa memiliki kompetisi liga reguler. Ia menilai, idealnya timnas merupakan puncak dari sebuah kompetisi.
“Ada sebuah tim nasional karena ada sebuah kompetisi dimana pemain-pemain terbaik yang dianggap dari terbaik dari kompetisi tersebut, kemudian main di tim nasional dan mewakili negaranya main di level internasional,” kata Rossi saat dihubungi Tirto, Selasa (21/1/2025).
Perkembangan Timnas Putri Indonesia bisa dibilang menunjukan tren naik-turun dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Peringkat FIFA Timnas Putri sempat mencapai level tertinggi pada Desember 2020 dengan menduduki peringkat 87 dunia. Setelahnya, tren peringkat FIFA cenderung menurun hingga mencapai peringkat terendah pada Maret 2024, yang menyentuh peringkat 109 dunia.
Namun, dalam satu tahun terakhir, peringkat FIFA Garuda Pertiwi perlahan memperlihatkan tren kenaikan hingga mencapai ranking 97 dunia, pada Desember 2024, tepat setelah Timnas Putri Indonesia menjuarai Asean Women's Cup 2024.
Kemudian, di AFF Women's Cup 2024, yang dimenangkan oleh Timnas Putri Indonesia, Garuda Pertiwi menang tiga kali dan hanya seri sekali. Timnas Putri mampu mencetak delapan gol, dan hanya kemasukan sekali saat partai final.
Sebagai informasi, AFF Women's Cup 2024 merupakan turnamen kualifikasi untuk ASEAN Women’s Championship 2025. Kompetisi ini hanya diikuti oleh enam negara, yaitu Kamboja, Laos, Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan Indonesia. Negara Asia Tenggara lain, yaitu Thailand, Vietnam, Filipina dan Myanmar, tidak mengikuti kompetisi ini, karena telah lolos otomatis ke kompetisi ASEAN Women’s Championship 2025.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, perolehan Timnas Putri Indonesia tersebut belum cukup memuaskan, sebab Indonesia hanya bercokol di posisi kelima. Posisinya berada di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, dan Myanmar. Dua negara teratas dalam ranking ini, Vietnam dan Filipina, bahkan telah berkompetisi di Piala Dunia Wanita 2023.
Dari perspektif ekosistem kompetisi juga mesti diakui, Indonesia masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya dalam sepak bola wanita. Lagi-lagi, masalahnya adalah Indonesia belum memiliki liga wanita profesional sejak 2019 lalu. Ini berbeda dengan Vietnam yang menduduki peringkat pertama - lantaran Negeri Naga Biru itu telah memiliki liga sepak bola wanita profesional yang digelar secara konsisten sejak tahun 1998 lalu.
Tak hanya Vietnam, dua negara lain yang memiliki peringkat FIFA lebih baik, seperti Thailand dan juga Myanmar, juga diketahui memiliki kompetisi liga wanita reguler.
Thailand misalnya, memiliki piramida kompetisi wanita berjenjang yang bernama Thai Women's League 1 yang dimulai sejak tahun 2009 dan Thai Women's League 2 yang dimulai sejak tahun 2010. Dalam satu kesempatan, pelatih tim nasional putri Thailand U-17, Kritsada Phungmali, menilai perkembangan sepak bola putri di Thailand maju berkat adanya kompetisi liga.
Sementara Myanmar, yang saat ini menduduki peringkat 55 dunia, juga memiliki liga sepak bola wanita bertajuk Myanmar Women's League sejak tahun 2016. Liga ini masih berlangsung hingga saat ini.
“Vietnam, Filipina, dan Thailand bisa berbuat banyak di sepak bola wanita karena mereka memiliki kompetisi reguler,” ujar pemerhati sepak bola, Rosnindar Prio Eko Rahardjo, kepada Tirto, Selasa (21/1/2025).
Maka wajar menurutnya, bila Indonesia kini tertinggal dari segi ranking, dari tim sepak bola wanita negara-negara lain di ASEAN. Sebab, bagi Rosnindar, apa yang bisa diharapkan dari sebuah tim yang dibentuk tanpa kompetisi domestik secara reguler? Menurutnya, jika pemerintah ingin Timnas Putri Indonesia makin berprestasi, PSSI wajib menggelar kompetisi putri secara reguler seperti di luar negeri.
“[Jadi] jelas sepak bola putri kurang dilirik oleh PSSI, lantaran animo penonton yang jauh jika dibanding sepak bola putra. Minimnya penonton berimbas pada sponsorship dan ketersediaan anggaran untuk memutar kompetisi. pendek katanya: nggak ada duitnya,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bahauddin Mudhary Madura itu.
Lalu, apa yang harus dilakukan kedepannya?
Kompetisi Liga Putri Harus Segera Digelar
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menegaskan komitmennya untuk kembali menggelar liga putri di tahun 2026. Pria yang juga menjabat sebagai Menteri BUMN itu menyebut pihaknya enggan memaksakan Liga 1 Putri terselenggara dalam waktu dekat. Sebabnya, dia khawatir kompetisi hanya akan berujung mandek apabila kekurangan jumlah pemain.
"Kami di Exco (PSSI) punya komitmen untuk melahirkan Liga 1 Putri. Saya waktu itu menjanjikan 2026 karena memang dorongan banyak sekali, tetapi talent pool-nya belum cukup," ungkap Erick dalam konferensi pers di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu (21/9/2024) dikutip dari Liputan6.
Hal senada diungkap salah satu anggota komite eksekutif (Exco) PSSI, Vivin Cahyani, yang menyebut alasan Liga Putri digelar tahun 2026 adalah agar kompetisi yang sedang direncanakan untuk menampung pesepak bola wanita di tanah air ini benar-benar matang, salah satunya adalah menunggu talent pool terkumpul.
"Kalo Liga Putri sekarang kan kami sudah meeting di Exco kemarin sudah sama-sama putuskan tahun 2026, mengingat talent-nya juga belum banyak. Jadi, ya kami mau nunggu juga dari kompetisi-kompetisi grassroot ini sudah mulai naik kan, contohnya Claudia, dia kan baru mau 15 tahun," kata Vivin, Kamis (30/5/2024) dikutip dari Antara.
Menanggapi alasan ini, pengamat sepak bola, Aun Rahman, meragukan alasan PSSI yang belum kembali menggelar kompetisi liga putri karena alasan belum cukup talenta. Aun menilai, talenta sepak bola wanita di Indonesia saat ini telah ada. Menurutnya, talenta inilah yang harus dibina, salah satunya melalui penyelenggaraan kompetisi.
“Kompetisi harus digelar. Karena kalau misalnya talentanya dibilang belum bagus, ya putra emang mudah bagus? Kan tidak juga. Ini kan balik lagi ke permasalahan gender juga ya soal kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Lebih lanjut, Aun menilai pembentukan kompetisi liga putri tidak harus beranggotakan tim-tim yang terkoneksi dengan tim putra seperti yang dilakukan pada Liga 1 Putri 2019 lalu. Ia mencontohkan, liga putri Amerika Serikat (AS) yang hanya memiliki sekitar empat tim yang terkoneksi dengan sepak bola tim putra.
“Dimulai dengan empat sampai enam tim dulu, no problem asal digelar. Karena, saya tahu percaya, perempuan-perempuan Indonesia ya dengan sejarahnya juga bisa jadi justru mungkin yang terjadi di US itu terjadi di Indonesia, yang bisa membawa nama Indonesia ke World Cup itu justru yang putri,” kata Aun.
Pengamat lain, Rossi Finza Noor, mengusulkan jika dirasa belum memungkinkan untuk membentuk kompetisi liga profesional seperti putra, kompetisi liga putri bisa dilakukan secara bertahap, yang dimulai dari jenjang semi-pro.
“Kalau pro kan total semua sudah langsung jadi pemainSe sepak bola gak ada kerjaan lain. Kalau semi pro kan yau dah atlet bisa jadi sampingan mungkin mainnya juga gak sesering yang laki-laki tapi setidaknya (kompetisi) ada dan dijalankan dengan benar dulu,” ujarnya.
Dari sisi atlet, Rani meminta PSSI untuk lebih memperhatikan nasib ribuan atlet sepak bola wanita di Indonesia, salah satu caranya dengan menjalankan kompetisi liga putri di Indonesia. Ia mengutip data Asosiasi Sepak Bola Wanita (ASBW), yang menyebut saat ini ada lebih dari 1.000 pemain sepak bola wanita di Indonesia.
“PSSI fokusnya jangan ke timnas saja. Menurut data ASBW, pemain sepak bola putri ada ribuan sementara timnas cuman puluhan lah. Nah, yang ribuan itu mau ngapain kalo gak ada kompetisi. Karena kita latihan, terus setiap hari juga kita pasti udah ngorbanin waktu, tenaga, pikiran, finansial juga,” ujarnya.
Terakhir, Rani memberi pesan kepada atlet-atlet sepak bola wanita di Indonesia untuk terus semangat berlatih meski tanpa adanya liga.
“Tetap latihan terus sih, yang penting kita mempersiapkan diri, misalkan kalau suatu saat ada liga, alhamdulillah, kalau nggak ada, ya setidaknya kita bisa ikut event atau kompetisi yang itu bisa buat kita berprestasi,” tutup Rani.
tirto.id - Olahraga
Penulis: Alfitra Akbar & Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty