TNI Serang Warga di Deli Serdang, Adili Pelaku Layaknya Sipil

3 days ago 4

tirto.id - Jumat pekan lalu menjadi malam jahanam di Desa Selamat, Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatra Utara. Puluhan anggota TNI tanpa seragam menyerang permukiman warga dan menganiaya beberapa orang secara membabi buta.

Peristiwa berdarah ini mengakibatkan seorang warga bernama Raden Barus (62) tewas, diduga dikeroyok personel TNI. Selain itu, delapan warga mengalami luka berat akibat serangan ini.

Anggota TNI mendobrak rumah warga dan menyeret beberapa orang sambil melakukan kekerasan. Belasan warga lainnya mengalami luka ringan. Puluhan anggota TNI dari Batalion Artileri Medan-2/Kilap Sumagan ini diduga menyerang warga Desa Selamat karena mencari seorang pemuda.

Sebelumnya, diduga tterjadi cekcok antara personel TNI dan pemuda tersebut di jalan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mengungkap korban tewas adalah warga Dusun Ajibaho di Desa Selamat. Raden Barus ditemukan tergeletak di pinggir jalan dengan badan penuh luka. Ketika di bawa ke rumah sakit, korban mengembuskan napas terakhir.

Korban tewas dengan luka bacok di panggung, kepala retak, dan mata yang tertusuk benda tajam. Serangan puluhan anggota TNI berlangsung dari Jumat (8/11) malam hingga Sabtu (9/11) dini hari. Mereka menyisir warga secara acak sambil bertanya soal keberadaan pemuda yang mereka cari. Puluhan anggota TNI ini diduga membawa senjata tajam ketika menyerang warga.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan TNI seharusnya melindungi rakyat, bukannya menjadi pelaku kekerasan terhadap warga sipil. Apalagi dalam peristiwa ini sudah terjadi pembunuhan di luar hukum.

Ia mendesak Mabes TNI segera mengungkap secara tuntas dan menindak tegas pihak yang terlibat, baik anggota TNI yang bertugas di lapangan, maupun di tingkat komando. Pangdam I Bukit Barisan dan jajarannya diminta turut bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan tersebut.

“Pimpinan di tingkat komando harus diperiksa guna memastikan apakah ada keterlibatan langsung atau membiarkan anak buah mereka melakukan insiden tersebut,” kata Usman kepada reporter Tirto, Selasa (12/11/2024).

Menurut laporan Amnesty, seorang warga Tanjung Sena berusia 44 tahun mengalami luka robek tujuh jahitan di kepala, dengan tangan kiri hampir putus akibat luka bacok.

Selain itu, pemuda 20 tahun yang merupakan warga Pasar 9 Gang Sari Sibiru-biru mengalami luka lebam di wajah setelah dihantam benda tumpul dan pukulan oleh anggota TNI.

Ada juga seorang guru sekolah dasar yang merupakan warga Perumahan Asabri berusia 35 tahun yang turut dibacok senjata tajam, mata lebam, dan tangan terkilir.

Menurut Usman, tanpa tindakan tegas dikhawatirkan kekerasan semacam ini akan terus berulang. Imbasnya, impunitas pada aparat akan semakin melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

“Kami juga mendesak Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk turun tangan melakukan penyelidikan dan memberikan perlindungan kepada korban dan keluarga korban dan saksi,” ucap Usman.

Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, mengeklaim insiden bentrok prajurit Yonarmed 2/KS dengan warga di Deli Serdang, Sumatra Utara, berawal saat prajurit TNI menegur seorang anggota geng motor karena diyakini meresahkan masyarakat. Ketika proses menegur, prajurit dan pengendara tersebut sempat adu mulut yang berujung perkelahian.

APEL GELAR PASUKAN TNI ADPrajurit TNI AD menyanyikan yel-yel saat mengikuti Apel Gelar Pasukan TNI Angkatan Darat (AD) 2022 di Lapangan Monas, Jakarta, Rabu (26/10/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

Agus membantah prajurit Yonarmed 2/Kilap Sumagan menegur warga sekitar. Anggota TNI diklaim murni tengah menegur anggota geng motor. Ia mengajak publik untuk menekankan bahwa kehadiran geng motor perlu ditertibkan.

“Bukan masyarakat, tetapi geng motor yang kebut-kebutan. Saya rasa mungkin semua orang juga merasa jengah,” kata Agus di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (11/11/2024).

Usman Hamid menilai Panglima TNI terkesan mencari kambing hitam atas kesalahan anak buahnya. Puluhan anggota TNI yang menyerang warga secara membabi buta itulah yang mengusik ketenteraman masyarakat, meresahkan, dan mengganggu ketertiban hukum.

Ia mendesak agar seluruh pihak yang terlibat diadili dalam pengadilan sipil agar memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Proses hukum yang terbuka dan adil bakal sangat berperan mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

“Kalau ada yang diduga melanggar hukum, sampaikan pada kepolisian. Bukan dengan cara main hakim sendiri. Bukan mencari alasan-alasan pembenaran atas tindakan jelas salah,” ujar Usman.

Polisi Militer (POM) Kodam I/Bukit Barisan sudah memeriksa 33 prajurit Yonarmed 2/KS soal keterlibatan mereka dalam insiden penyerangan warga Desa Selamat. Kepala Penerangan (Kapendam) Kodam I Bukit Barisan, Kolonel Dody Yudha, menyebut masalah ini tengah dimediasi. Proses penanganan perkara ini dipimpin langsung oleh Pangdam I/Bukit Barisan, Letnan Jenderal TNI Mochammad Hasan.

Menurut Dody, Pangdam telah memerintahkan Pomdam I/BB untuk melakukan penyelidikan sampai tuntas dan memastikan kondisi di masyarakat aman terkendali.

“Pangdam I/BB telah melaksanakan jam komandan dan memberikan pengarahan terhadap seluruh prajurit Yon Armed 2 Medan dalam rangka untuk memastikan bahwa situasi dan kondisi saat ini telah aman, kondusif, serta tidak ada aksi balasan terkait peristiwa tersebut,” kata Dody dalam keteranganya, Minggu (10/11/2024).

Adili Secara Sipil

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus, menyatakan puluhan anggota TNI di peristiwa Deli Serdang jelas melanggar peraturan perundang-undangan. Tindak penganiayaan serta kekerasan yang dilakukan prajurit Batalyon Armed 2/ Kilap Sumagan telah melanggar tugas prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia.

Andrie menyatakan, prajurit TNI selain dimandatkan tugas pokok untuk menjaga kedaulatan negara, mereka juga memiliki tugas untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Namun, peristiwa di Deli Serdang yang menyebabkan satu warga meninggal dan 8 korban luka berat mencerminkan TNI sudah gagal menjalankan prinsip dasar perlindungan dan tidak mampu dalam melaksanakan tugasnya sebagai alat pertahanan negara.

“Mediasi tidaklah cukup dan tidak menghilangkan pertanggungjawaban hukum pidana. Pelaku harus tetap dimintai pertanggungjawaban hukum, dan wajib diadili melalui peradilan umum,” kata Andrie kepada reporter Tirto, Selasa.

Menurut Andrie, dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), penyerangan yang dilakukan ke permukiman masyarakat sudah melanggar hak atas rasa aman yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Andrie menegaskan bahwa atasan dari anggota TNI yang menyerang warga juga perlu mendapatkan hukuman.

“Jangan hanya mengadili pelaku lapangan,” ujarnya.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, memandang perilaku sewenang-wenang anggota TNI yang menyerang warga sipil tidak bisa dibenarkan. Tindakan semacam itu dinilai melanggar prinsip-prinsip dasar dalam kode etik TNI serta aturan yang mengatur penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan.

Peleton Beranting Yudha Wastu Pramuka Jaya 2023Prajurit Kopasus TNI AD mengikuti kegiatan Peleton Beranting Yudha Wastu Pramuka Jaya saat melintas di Jambon, Kandangan, Temanggung, Jateng, Senin (18/12/2023). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.

Biasanya, kata Fahmi, pasti ada situasi pemicu yang jadi titik awal ketegangan, sehingga terjadi identifikasi massa. Kemudian, para prajurit TNI merasakan peran sosial yang seolah menuntut mereka melakukan kekerasan itu sebagai sesuatu yang layak dan patut.

“Dalam konteks ini, para prajurit itu telah mengesampingkan kepolisian sebagai pihak yang seharusnya berperan dalam menangani masalah-masalah gangguan kamtibmas,” ucap Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa.

Fahmi menyebut beberapa kode etik TNI yang sudah dilanggar puluhan prajurit penyerang warga Desa Selamat, Deli Serdang. Pertama, melanggar Sapta Marga TNI karena tindakan kekerasan terhadap warga sipil bertentangan dengan misi TNI sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, tindakan brutal dan tidak terukur yang dilakukan para prajurit menunjukkan ketidaksiapan dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tanpa kekerasan berlebihan.

Mereka juga melanggar Sumpah Prajurit yang seharusnya menjadi ikrar yang wajib dipatuhi setiap anggota TNI. Sumpah ini menegaskan kesetiaan terhadap negara, bangsa, dan tugas TNI.

Perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh prajurit tersebut mencoreng kehormatan TNI, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyat, bukan malah menjadi pelaku kekerasan.

Terakhir, TNI pelaku kekerasan juga melanggar 8 Wajib TNI yang salah satunya adalah menjaga sikap disiplin dan mematuhi hukum negara.

“Kekerasan yang dilakukan prajurit tersebut jelas melanggar hukum yang berlaku, baik hukum negara maupun kode etik TNI. TNI harus menjalankan tugasnya dengan disiplin tinggi dan sesuai hukum yang ada,” ungkap Fahmi.

Beberapa peraturan internal yang dilanggar termasuk: Peraturan Panglima TNI Nomor 8 Tahun 2014 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Pelaksanaan Tugas TNI; Peraturan KASAD Nomor 5 Tahun 2016 tentang Penanganan Konflik Sosial; Peraturan Panglima TNI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tugas dan Kewajiban Prajurit TNI; hingga Peraturan Panglima TNI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Disiplin Prajurit TNI.

“Mediasi bisa menjadi bagian dari upaya untuk meredakan ketegangan, [tapi] hal itu tidak boleh menutupi kewajiban untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada keluarga korban,” ucap Fahmi.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan kasus penyerangan terhadap warga di Deli Serdang menunjukan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan hukum (above the law) anggota TNI terhadap warga sipil. Para anggota TNI yang diduga melakukan serangan brutal tersebut diharapkan tidak dibiarkan tanpa proses hukum.

Berdasarkan catatan Imparsial, sepanjang tahun 2024 (Januari-November 2024), terjadi 25 peristiwa kekerasan anggota TNI terhadap warga sipil. Julius menilai, langgengnya budaya kekerasan TNI terhadap warga sipil di sejumlah daerah, salah satunya disebabkan belum direvisinya UU tentang Peradilan Militer alias UU Nomor 31 tahun 1997.

“Sistem Peradilan Militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi aparat TNI yang melakukan kekerasan,” ucap Julius kepada reporter Tirto, Selasa.

Padahal, reformasi peradilan militer sesungguhnya mandat dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 ayat 2 UU TNI menyebut:

Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

“Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen,” tegas Julius.


tirto.id - Hukum

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |