tirto.id - Publik menaruh perhatian pada peristiwa 13 siswa asal Mojokerto yang terseret ombak di Pantai Drini, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Selasa (28/1/2025) lalu. Insiden tersebut memakan korban jiwa empat siswa.
Pantai Selatan yang menghadap langsung Samudra Hindia memang terkenal berbahaya. Sebagian masyarakat bahkan kerap mengaitkannya dengan hal-hal mistis. Namun, keganasan ombak Pantai Selatan pada dasarnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Salah satunya adalah fenomena RIP current.
Kontributor Tirto menggali penjelasan ilmiah tentang RIP current dari Langgeng Wahyu Santosa, dosen di Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM). Langgeng juga merupakan Ketua Minat Studi Magister Pengelolaan Lingkungan Sekolah Pascasarjana UGM.
Kata “RIP” dalam istilah itu merupakan singkatan dari “rest in peace” yang merujuk pada ucapan belasungkawa atas meninggalnya seseorang. Jadi, dalam definisi sederhananya, Langgeng menyebut RIP current sebagai arus kematian.
"RIP itu ya lelayu, current adalah arus. RIP current adalah arus yang menyebabkan kebanyakan [orang yang terseret] menjadi meninggal," jelas Langgeng dihubungi kontributor Tirto, Jumat (31/1/2025).
Langgeng menjelaskan bahwa RIP current terjadi di pantai bila gelombang dari laut datang relatif lurus ke garis pantai. Gelombang yang datang tersebut lalu dipantulkan dan mengumpul pada bagian tengah teluk.
"Ada gelombang datang menabrak pantai dan dipantulkan lagi secara memutar mengikuti hukum pantulan gelombang. Arus balik itu sangat kuat, sifatnya turbulen, dan pergerakannya dari permukaan ke dasar laut membawa material pasir," urai Langgeng.
Saat tersedot oleh arus balik, korban akan ditarik dan dibawa ke bagian dasar laut sambil diputar. Oleh sebab itu, orang yang tersedot RIP current punya kemungkinan selamat sangat kecil.
"Coba bayangkan kalau ada wisatawan bisa kesedot ke bawah [dasar laut] sampai lebih dari 100 meter, diputer dan [arus] bercampur dengan pasir. Tidak ada kesempatan untuk bernapas selama itu. Ini yang mengakibatkan RIP dan korban yang tersedot pasti paru-parunya penuh material pasir,” sebutnya.
Sifat RIP current pun ternyata seperti hantu. Langgeng mengatakan bahwa RIP current tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi dan di mana lokasinya.
“Karena kejadian mendadak, tiba-tiba, dan berpindah bergantung kondisi,” kata dia.
Mengidentifikasi RIP Current
RIP current memang tidak dapat diprediksi kapan dan di mana terjadinya. Namun, wilayah pantai yang memungkinkan terjadinya proses alam tersebut dapat diidentifikasi melalui data penginderaan jauh, pemotretan udara dengan drone, atau pengamatan langsung dari ketinggian. Menurut Langgeng, RIP current sulit diamati dari daratan pantai yang datar.
Cara identifikasi lain adalah dengan menilik topografi pantai. Jika pantai memiliki bentuk topografi teluk atau bergelombang, orang patut waspada terhadap keberadaan RIP current. Begitu pula jika relief pantai dengan dataran landai kemudian langsung curam dengan material dasar pasir.
Identifikasi lainnya adalah pantai berhadapan langsung dengan samudera yang bergelombang besar.
Ciri yang setidaknya tampak dan dapat diamati langsung adalah keberadaan buih. Langgeng menjelaskan bahwa pola pantai berbentuk teluk atau bergelombang kerap “dihantui” gelombang tegak lurus. Biasanya, tidak akan ada buih putih di sana karena buih hanya akan terbentuk jika terjadi pecahnya gelombang.
“Kalau ada RIP current pasti tidak ada buih karena sedang ada arus balik yang lewat sehingga gelombang pecah tidak ada,” bebernya.
RIP current, kata Langgeng, berpotensi terbentuk di pantai-pantai di pesisir selatan DIY hingga Cilacap. Khusus untuk DIY, RIP current dapat terbentuk di pantai sekitar Gunungkidul yang topografinya berbentuk teluk. Sementara itu, untuk pantai dengan topografi bergelombang, paling rawan terjadi di Parangtritis dan Parangkusumo.
Pantai berpola teluk terbuka seperti Drini, jelasnya, sebenarnya menyimpan potensi bahaya karena pantai tersebut diapit oleh dua tanjung yang curam di kanan dan kirinya. Sementara itu, Pantai Parangtritis dan Parangkusumo memiliki relief melandai di pesisirnya dan curam pada bagian pantai atau ujung kontinennya (continental shelf). Sehingga, di dua pantai tersebut terbentuk palung sempit mengarah ke dasar laut dan material pasir. Terlebih, pantai-pantai itu pun berhadapan langsung dengan gelombang besar dari Samudra Hindia.
Ilustrasi RIP Current yang terjadi di pesisir pantai. FOTO/Langgeng Wahyu Santosa
“Mohon untuk dapat dipahami sebelum bermain di pantai yang seperti ini. Potensi di DIY, Drini paling tinggi. Sudah sejak tahun 1970-an memakan korban. Teluknya seperti palung. Airnya kalau dilihat dari atas gelap. Potensial sekali [RIP current],” sebutnya.
Khusus untuk wilayah DIY pula, Langgeng menegaskan bahwa RIP current kerap muncul di musim penghujan. Pada saat penghujan, terjadi Angin Barat yang relatif mengarah langsung ke garis pantai.
“Cek saja, terjadi korban, umumnya pada musim penghujan. Korban banyak musim pariwisata itu tidak ada hubungan. Kebetulan saja liburan pas penghujan,” lontarnya.
Dengan demikian dapat dirangkum, ciri terjadinya RIP current adalah sebagai berikut: tidak ada buih di sekitar pantai; garis pantai memiliki morfologi teluk atau bergelombang; teluk terbuka langsung berhadapan dengan laut lepas; kejadian di DIY umumnya musim penghujan.
Langgeng mengatakan bahwa keberadaan RIP current bukan berarti larangan untuk bermain ke pantai. Namun, pengunjung jelas harus mewaspadai lingkungan sekitarnya dan jangan mandi atau berenang di teluk.
“Bermainlah di daerah kering, di pesisir pantai. Khususnya saat musim penghujan,” ujarnya.
Masyarakat pun diharap untuk lebih memperhatikan imbauan keselamatan berwisata di pantai sehingga dapat menghindarkan diri dari laka laut.
“Sebab ciri-ciri [RIP current] itu ada,” tandas Langgeng.
Rambu Tanda Bahaya RIP Current Masih Minim
Di sisi lain, peringatan potensi bahaya RIP current agaknya masih belum maksimal. Koordinator Satlimnas Rescue Istimewa Wilayah III, Muhammad Arif Nugraha, mengakui bahwa satuannya kekurangan papan peringatan daerah berbahaya. Dia mengaku telah mengajukan permohonan, tapi justru dimentahkan.
“Njalukming [mengajukan permohonan pengadaan papan peringatan] malah lempar-lemparan [instansi yang berkewenangan],” keluh Muhammad saat dihubungi kontributor Tirto, Jumat (31/1/2025).
Keadaan itu memaksa Muhammad dan rekan-rekannya melakukan bantingan atau iuran untuk membuat sendiri papan peringatan bahaya. Tentu saja, dana yang bisa dikumpulkan minim sebab kemampuan anggotanya pun terbatas.
“Paling satu orang cuma mampu Rp5 ribu. Ya tapi lumayan, bisa jadi bendera,” bebernya.
Untuk melengkapi bendera, kata Arif, satuannya memasang pada bambu. Itu pun diperoleh dari lahan warga di sekitar rumah Arif.
“Empring wae nggolek, syukur ora tuku (bambu saja hasil kebun, syukur tidak beli). Tenan iki (betulan ini),” sebutnya kemudian tertawa.
Arif menyesalkan minimnya rambu peringatan sebab hal ini berkaitan dengan keselamatan wisatawan. Terlebih, RIP current merupakan salah satu ancaman serius dalam pengembangan pariwisata pantai.
“RIP current atau kami biasa sebutnya ekor palung itu kalau di Parangtritis berada di beberapa titik sepanjang pantai dan berpindah-pindah. Potensi bahaya, 90 persen korban terseret arus di ekor palung, MD (meninggal dunia),” ucapnya.
tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi