Percepat Aksi untuk Kesetaraan Gender: Dari Desa ke Dunia Kerja

6 hours ago 6

tirto.id - Ketika perempuan di desa harus berjalan berjam-jam hanya untuk mendapatkan air bersih, siapa yang bersuara di ruang pengambilan kebijakan?

Sayangnya, masih banyak musyawarah pembangunan yang dihadiri hanya oleh laki-laki, sementara perempuan, yang justru paling terdampak, tidak dilibatkan dalam keputusan.

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan menegaskan bahwa tanpa keterwakilan perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), kebijakan yang dihasilkan sering kali abai terhadap kebutuhan nyata mereka.

“Ternyata yang datang bapak-bapak, ibunya tidak dilibatkan. Padahal ibunya yang selama ini tahu tidak ada air, jalanan rusak, tidak ada akses ke tempat airnya. Sebagai kepala keluarga, bapaknya yang diminta datang memberikan input padahal mereka jarang di rumah,” ujar Veronica.

Persoalan ini menjadi salah satu isu yang diangkat dalam Diskusi Komunitas bertajuk Why Gender Equality Matters and We Need to #AccelerateActions yang diadakan oleh Magdalene pada Kamis (13/3) di The Jakarta Post Live! Space.

Acara dibuka dengan keynote speech dari Veronica, yang menyoroti pentingnya partisipasi perempuan dalam kebijakan publik, terutama perempuan di pedesaan atau grassroot, yang masih mengalami keterbatasan dalam akses edukasi.

Setelahnya, diskusi komunitas menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari sektor aktivisme, bisnis, dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas tantangan dalam memperjuangkan kesetaraan gender, terutama di tengah meningkatnya perlawanan terhadap kebijakan Diversity, Equity, and Inclusion (DEI).

Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani, membuka diskusi dengan menyoroti hasil survei terbaru dari Ipsos dan King’s College London yang menemukan bahwa laki-laki Generasi Z lebih cenderung menolak kesetaraan gender dibanding generasi sebelumnya.

“Biasanya generasi muda lebih progresif dari pendahulunya, bukan? Tapi dalam survei ini, ada perbedaan cukup signifikan dalam penerimaan terhadap kesetaraan gender. Bahkan, banyak yang merasa upaya ini sudah terlalu jauh, gone too far,” ujarnya.

Norma Sosial yang Masih Mengakar

Dalam sesi diskusi, Head of Programmes of UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati mengatakan bahwa hambatan utama dalam kesetaraan gender adalah norma sosial yang masih mengakar kuat.

“Kalau tidak accelerate actions, anak perempuan mungkin akan melihat dunia yang lebih adil baru 137 tahun lagi. Akar permasalahan itu semua adalah norma sosial yang belum berubah,” ujarnya.

Norma ini tidak hanya membatasi akses perempuan terhadap kesempatan yang setara, tetapi juga memperkuat bias gender yang terus direproduksi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ruang publik dan politik.

Salah satu manifestasi dari norma sosial ini adalah bagaimana figur publik masih dengan mudah mengeluarkan pernyataan sarat unsur seksisme tanpa konsekuensi berarti.

Contoh terbaru datang dari pernyataan musisi Ahmad Dhani dalam rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Kemenpora dan PSSI, Rabu (5/3) lalu.

Koordinator Aliansi Laki-laki Baru, Wawan Suwandi, menyoroti kecenderungan individu dengan akses luas ke media untuk menyebarkan narasi-narasi yang menggerus semangat kesetaraan.

“Sebetulnya dengan orang-orang yang cerewet, bising, dan sayangnya, dia punya kanal untuk semakin menyuarakan biasnya itu, makin menyebarkan ideologi misoginisnya,” katanya.

Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya melawan narasi misoginis ini dengan kritik yang tegas dan memanfaatkan media sosial sebagai alat perlawanan.

“Selemah-lemahnya iman, gunakan media sosial,” pungkasnya.

Bias gender dalam ruang publik ini tidak hanya berasal dari budaya patriarki modern, melainkan juga diperkuat oleh penafsiran agama yang masih berperspektif maskulin.

Jung Nurshabah Natsir dari Muslimah Reformis menyoroti bagaimana perspektif agama yang keliru acap kali memperlebar jurang ketimpangan gender.

“Pemahaman dan rendahnya pengetahuan soal nilai-nilai agama membuat masyarakat belum bisa membedakan mana kodrat dan mana peran perempuan. Ini jadi tantangan kita, terutama bagi tokoh-tokoh agama,” katanya.

Pemotongan Anggaran Mempersempit Akses

Selain norma sosial dan interpretasi agama yang membatasi peran perempuan, hambatan bagi kelompok rentan turut diperparah dengan pemotongan anggaran yang semakin mempersempit akses mereka.

Nissi Taruli dari Feminis Themis, sebuah komunitas feminis tuli, menyoroti dampak pemotongan anggaran Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang kini hanya tersisa Rp3 miliar atau kira-kira setengah dari tahun sebelumnya.

“Kalau anggaran dipangkas, bagaimana kita bisa memiliki akses? Contohnya saya sendiri, saya membutuhkan akses secara bahasa isyarat. Ketika anggaran dipangkas, mungkin tidak ada anggaran untuk diberikan kepada Juru Bahasa Isyarat. Bagaimana akses untuk saya?” ujarnya.

Ia menekankan dampaknya tidak terbatas soal akses fisik, tetapi juga menghambat upaya edukasi kepada lembaga dan instansi di daerah.

Selain itu, pemotongan anggaran berdampak pada layanan bagi korban kekerasan berbasis gender.

Hope Helps, jaringan organisasi pengada layanan bagi korban kekerasan seksual di kampus, menyatakan bahwa mereka harus terus mencari sumber pendanaan baru akibat penghentian dana dari pemerintah AS di era Presiden Donald Trump.

“Yang bisa kami lakukan untuk accelerate actions adalah memaksimalkan koordinasi, hubungan dengan psikolog dan pengacara pro bono, serta terus berupaya mendapatkan grant dan funding supaya organisasi tetap berjalan,” ujar perwakilan Hope Helps.

Di sisi lain, femisida menjadi bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender yang masih belum diakui sebagai kejahatan spesifik oleh aparat penegak hukum.

Jakarta Feminist menyoroti bahwa data 2023 menunjukkan bahwa setiap dua hari, satu perempuan dibunuh. Sebanyak 70 persen pelaku adalah pasangan intim.

“Mereka dibunuh karena mereka perempuan,” ujar Ally dari Jakarta Feminist, menekankan bahwa negara dan aparat hukum masih menganggap kasus-kasus ini sebagai pembunuhan biasa, tanpa mempertimbangkan motif gender di baliknya.

Header diajeng Diskusi Komunitas MagdaleneDiskusi Komunitas bertajuk Why Gender Equity Matters and We Need to #AccelerateActions dari Magdalene turut mengundang Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan sebagai keynote speaker. Terlihat di sini Veronica tengah berswafoto dengan beberapa panelis dan perwakilan komunitas. FOTO/Dokumentasi Magdalene

Peran Sektor Swasta dalam Kesetaraan Gender

Sektor swasta memiliki peran penting untuk mendukung terciptanya lingkungan kerja yang lebih setara.

Wita Kristanti, Executive Director Indonesian Business Coalition for Women’s Empowerment (IBCWE), menegaskan bahwa ekosistem kerja yang mendukung perempuan hanya bisa terbentuk apabila ada komitmen dari pimpinan tertinggi.

“Yang ingin kami kembangkan adalah bagaimana mitra-mitra kami menciptakan ekosistem kerja yang mendukung perempuan, supaya mereka tidak harus dihadapkan pada dilema antara berkarier atau mengurus keluarga,” katanya.

Sejalan dengan itu, Kristy Nelwan, Head of Communication and Chair of ED&I Board Unilever Indonesia, menjelaskan bahwa Unilever menjalankan berbagai program berbasis gender, seperti Bintang Beasiswa, serta kebijakan internal yang lebih inklusif untuk perempuan.

“Sekarang kita paham bahwa karyawan perempuan menghadapi banyak tantangan,” katanya.

Dalam rangka menjawab tantangan ini, Unilever menerapkan kebijakan flexible working hours, cuti melahirkan empat bulan, dan cuti ayah berbayar selama empat minggu agar laki-laki dapat lebih terlibat dalam pengasuhan anak.

“Bapak juga penting untuk ada di dalam keluarga saat anak baru lahir,” tambahnya.

Para panelis dan penanggap diskusi sepakat bahwa kesetaraan gender bukan sekadar persoalan di level kebijakan, tetapi juga perubahan budaya dan sistem yang lebih inklusif.

Pemerintah, sektor swasta, hingga organisasi masyarakat sipil, semuanya memiliki peran penting dalam mempercepat aksi menuju kesetaraan gender yang nyata di Indonesia.


tirto.id - Diajeng

Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |