tirto.id - Danau Matano merupakan salah satu panorama alam indah yang ada di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Sejak lama, ia dikenal orang karena kedalamannya yang mencapai 590 meter. Itu memberinya predikat sebagai danau terdalam di Asia sekaligus yang kedelapan di dunia.
Namun, pesona Danau Matano sebenarnya tak hanya itu. Alam indah Danau Matano rupanya juga menyimpan jejak kebudayaan masyarakat pandai besi dari masa yang amat lampau. Boleh jadi, dari kebudayaan para pengolah besi itulah Pulau Sulawesi mendapat namanya, yakni “Pulau Besi”.
Jejak-jejak kebudayaan masyarakat pandai besi Matano dapat ditilik di beberapa situs arkeologis yang tersebar di selingkung danau. Menariknya, beberapa situs arkeologi yang terkait dengan kebudayaan penempa besi Matano berada di kedalaman danau—ia memberi kita imaji tentang suatu peradaban yang dulu masyhur dan kini tenggelam.
Beberapa situs arkeologi bawah air di Danau Matano telah lazim diteliti, misalnya oleh Muslim Dimas Khoiru Dhony dkk. (2023, PDF). Di antaranya adalah Situs Sebengkuro, Pontada, Sukoiyo, Onetengka, dan Pulau Ampat.
Situs terakhir barangkali adalah yang paling terkenal jika membicarakan tentang peradaban besi yang tenggelam di dasar Danau Matano. Situs ini bahkan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Provinsi Sulawesi Selatan melaluit Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 339/III/2024.
“Situs ini menyimpan peradaban begitu lama, yaitu sejak abad ke-14,” sebut Mokole Wawainia Rahampu’u Matano (Raja Matano), Umar Ranggo Makandiu, kepada kontributor Tirto, Rabu (23/10/2024).
Pemimpin masyarakat adat Rahampu’u Matano itu mengatakan bahwa berdasar penelitian, Danau Matano merupakan danau purba. Ia terbentuk dari patahan (strike-slip fault) akibat aktivitas tektonik yang terjadi pada masa Pliosen.
“Mungkin dulu buka pulau. Menurut penuturan [peneliti] airnya payau. Terbentuk akibat bencana alam,” jelas Mokole Umar Ranggo.
Lantas, bagaimana peradaban masyarakat pengolah besi bisa berkembang di lingkup Danau Matano? Berikut kisahnya.
Mekar Sejak Milenium Pertama Masehi
Tim arkeolog yang terdiri dari Shinatria Adhityatama, R.R. Triwurjani, dkk. membeberkan bahwa petunjuk atas eksistensi masyarakat pandai besi di Matano—atau secara umum di daerah Luwu—berasal dari era Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke-13 hingga ke-15).
Penyebutan Luwu sebagai toponim terdapat dalam kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana gubahan Prapanca. Kerajaan Majapahit, seturut kakawin tersebut, mendatangkan bijih besi dengan kualitas luar biasa dari Luwu. Demikianlah bijih besi itu lantas dikenal dengan sebutan pamoro luwu dan digunakan untuk membuat keris.
“Penelitian yang dilakukan pada 2016 dan 2018 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional [Arkenas] mengkonfirmasi bukti yang dilaporkan sebelumnya bahwa sumber utama pamoroluwu adalah bijih yang dilebur dari sekitar Danau Matano,” demikian tulis Adhityatama dan Triwurjani dalam studi "Pulau Ampat Site: A Submerged 8th Century Iron Production Village in Matano Lake, South Sulawesi, Indonesia" (2022).
Seturut tim arkeolog dari Arkenas itu, penelitian arkeologis di Danau Matano merupakan riset bawah air pertama tentang produksi besi kuno di Asia.
Pun, temuan-temuan artefak dari Situs Pulau Ampat—juga kawasan Danau Matano secara umum—amat penting untuk melengkapi “puzzle” pengetahuan tentang sejarah kebudayaan logam di Nusantara. Pasalnya, peleburan logam di Matano diperkirakan lebih tua umurnya daripada penyebutannya dalam Nagarakrtagama.
“Penemuan kami memperluas pengetahuan tentang produksi besi di Indonesia yang telah dimulai sejak milenium pertama Masehi,” tulis Adhityatama dan Triwurjani dkk.
Situs Arkeologi Bawah Air di Danau Matano. (Sumber: Triwurjani et al. 2019 dan 2022).
Adhityatama dan Triwurjani dkk. menjelaskan bahwa Zaman Logam Awal di Indonesia kemungkinan bermula sekira periode 600–500 tahun Sebelum Masehi. Dibandingkan dengan Zaman Logam di Benua Eurasi, perkembangan kebudayaan mengolah logam di Nusantara terjadi lebih lambat.
Para arkeolog, misalnya, menemukan situs pengolahan perunggu di Bali yang berasal dari abad pertama Sebelum Masehi. Penelitian-penelitian di Sulawesi sendiri menunjukkan bahwa masyarakatnya telah mengolah besi pada abad-abad awal Masehi.
Dalam makalah studinya yang lain, Triwurjani dkk. mensinyalir bahwa kawasan Danau Matano merupakan situs kebudayaan besi paling awal di Nusantara—atau bisa jadi juga di Asia Tenggara.
“Artefak kapak corong yang menjadi ciri zaman Paleometalik ditemukan di Danau Matano,” tulis Triwurjani dkk. dalam "The Iron Civilization of Matano Lake, South Sulawesi: Paleometallic to Historical Periods" (2023, PDF).
Kebudayaan olah logam—terutama besi—di Matano diperkirakan senantiasa berkesinambungan dari zaman ke zaman. Seturut penanggalan radiokarbon, situs-situs bawah air seperti Pulau Ampat merupakan lokasi pengolahan besi yang terawal di kawasan Matano. Sementara itu, situs-situs yang lebih muda dapat kita jumpai di daratan sekitar danau.
“Situs-situs teresterial tersebut diperkirakan merupakan kelanjutan dari situs-situs yang telah tenggelam. Hal ini juga menunjukkan bahwa situs-situs bawah air tersebut kemungkinan besar telah tenggelam dalam waktu lama akibat proses tektonik,” tulis Triwurjani dkk.
Jejak-jejak pengolahan besi—dan juga nikel—di Matano yang dianalisis dengan penanggalan radiokarbon menunjukkan ia berasal rentang sejarah yang panjang, mulai dari abad ke-8 hingga ke-18.
Salah satu alasan mengapa “industri” besi di kawasan Matano bisa berlangsung berabad-abad dan terkenal sampai ke seberang pulau adalah bahan bakunya yang berkualitas.
Menurut studi Triwurjani, para pandai besi Matano di masa lalu memanfaatkan bijih besi dan logam lain dari sekitar lingkungannya. Material logam yang mereka gunakan umumnya tersebar di sebelah utara Danau Matano. Dengan teknik pengolahan yang mumpuni, material mentah itu pun diolah menjadi bahan logam yang berkualitas.
“Hasil analisis XRF [X-ray Fluorescence—teknik analisis komposisi unsur suatu mateial secara nondesktruktif] menunjukkan bahwa artefak besi dari Matano memiliki kandungan nikel yang tinggi sehingga ia lebih ringan, tidak mudah berkarat, dan lebih mudah ditempa. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tingginya permintaan senjata besi dari Matano,” tulis Triwurjani dkk.
Situs arkeologi di Danau Matano. (Sumber: Triwurjani et al. 2019 dan 2022).
Matano dalam Situasi Terkini
Sampai sekarang, kawasan Danau Matano tetap terkenal dengan penambangan besi dan nikelnya, terutama karena keberadaan PT Vale Indonesia. Kawasan ini pun adalah salah satu dari beberapa wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang terkenal karena endapan bijih besi komersialnya.
Keberadaan tambang dan pengolahan nikel di sekitar kawasan Danau Matano jelas menghadirkan tantangan tersendiri. Bagaimana pun, gerak industri modern mesti beriringan dengan pelestarian situs arkeologi dan lingkungan di sana.
Oleh karena itu, Mokole Umar Ranggo Makandiu dan lembaga adat Matanoselalu mengupayakan agar Situs Pulau Ampat—dan situs-situs arkeologi lain di Dananu Matano—semakin dikenal luas dan mendapat perhatian pemerintah. Hal itu merupakan bagian dari upaya pelestarian kebudayaan Matano.
“Sebab kalau hanya mengandalkan dari masyarakat, tidak bisa,” sebut Mokole Umar Ranggo Makandiu.
Mokole Umar mengatakan bahwa pihaknya telah bersurat ke kementerian terkait untuk mengupayakan pemeliharaan situs yang lebih baik. Tak hanya itu, lembaga Kerajaan Matano pun telah mencoba beraudiensi dengan perwakilan UNESCO di Indonesia. Namun, pengajuan itu ditolak karena ternyata harus dilakukan melalui pemerintah yang berwenang, bukan lembaga adat.
“Sudah pernah ke UNESCO di Jakarta. Kami dijelaskan, kalau mau mendaftar lewat negara karena ini merupakan organisasi antarbangsa. Kami berjuang sendiri,” ucap Mokole.
tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi