Vihara Budi Asih Purwakarta merupakan salah satu bangunan ikonik yang sangat populer. Selain berfungsi sebagai vihara atau tempat sembahyang umat Tridharma, bangunannya juga menyimpan beragam kisah panjang. Terutama mengenai perjalanan komunitas Tionghoa di daerah Purwakarta. Tak main-main Kelenteng Budi Asih sendiri bahkan telah berusia lebih dari satu abad. Sementara itu, saat ini kawasannya terus berkembang dari masa ke masa.
Baca Juga: Sejarah Ipik Gandamana, Bupati Bogor Pertama
Vihara Budi Asih Purwakarta dan Sejarahnya
Sebelum sepopuler sekarang, Kelenteng Budi Asih memiliki sejarah berdiri yang cukup panjang. Bermula pada tahun 1900-an, Purwakarta kala itu masih menjadi ibu kota Kabupaten Karawang. Populasi masyarakatnya berkembang pesat, terdiri atas berbagai kelompok etnis, termasuk Arab dan Tionghoa. Keduanya memang sudah lama bermukim sekaligus menjalankan aktivitas perniagaan.
Mengacu pada aturan Pemerintah Kolonial, kedua kelompok masyarakat tersebut menempati wilayah terpisah. Masyarakat Arab yang sebagian besar berasal dari Hadramaut, Yaman, menetap di Kampong der Arabieschen. Sedangkan masyarakat Tionghoa tinggal di Kampong der Chinezen.
Sungai Cigalugur menjadi batas yang memisahkan kedua wilayah ini. Meski begitu, aktivitas ekonomi serta interaksi sosial tetap berjalan dengan baik. Pemerintah Kolonial Belanda yang mengelola kota kemudian mengembangkan pusat-pusat perniagaan di masing-masing permukiman etnis.
Komunitas Arab mendapat fasilitas berupa area perdagangan yang terkenal sebagai Pasar Rebo. Tepatnya di Desa Nagrikidul. Di sisi lain, etnis Tionghoa memperoleh akses ke kawasan niaga yang populer sebagai Pasar Jumat. Lokasinya di Desa Nagrikaler.
Adapun masyarakat Sunda dan Jawa yang memeluk agama Islam umumnya telah memiliki fasilitas ibadah berupa masjid, mushola, atau tajug. Semuanya tersebar di berbagai wilayah Purwakarta yang tentu juga mudah diakses oleh etnis Arab. Kondisi ini berbeda dengan komunitas Tionghoa yang pada masanya belum memiliki tempat ibadah khusus. Seiring pertumbuhan populasi serta meningkatnya kebutuhan ruang ibadah formal, muncullah inisiatif mendirikan Vihara Budi Asih Purwakarta.
Bangunan Vihara untuk Pemeluk Ajaran Tridharma
Tujuan utama pembangunan tempat ibadah Budi Asih adalah memfasilitasi para pemeluk ajaran Tridharma. Khususnya yang mencakup agama Buddha, Konghucu dan Tao. Saat masa awal, bangunan berdiri dalam bentuk sederhana. Namun tetap mampu berfungsi sebagai ruang keagamaan nyaman bagi para pemeluknya.
Baca Juga: Sejarah Desa Gebang Cirebon Menurut Cerita Rakyat dan Pustakawan
Seiring perkembangan waktu dan semakin mapannya komunitas Tionghoa dalam bidang sosial maupun ekonomi, vihara Budi Asih kemudian dibangun ulang. Sehingga jauh lebih layak bahkan megah. Desain arsitekturnya mengusung ciri khas bangunan Tionghoa.
Terdapat dominasi warna merah pada dinding dan pilar. Tak lupa aksara Mandarin bernuansa emas yang menghiasi bagian dalam dan luar bangunan. Keberadaan perlengkapan seperti altar, dupa dan patung-patung dewa Tridharma juga kian lengkap.
Seiring semakin majunya fasilitas, jumlah umat yang datang untuk beribadah pun terus meningkat. Bahkan, masyarakat dari luar daerah yang sekedar ingin bersembahyang, berdoa, atau menikmati keindahan bangunannya juga kerap berkunjung. Tidak jarang wisatawan tertarik pada sejarah, arsitektur, maupun budaya Tionghoa menjadikan vihara ini salah satu destinasi recommended ketika berada di Purwakarta.
Diresmikan Tahun 1917
Tempat ibadah ini akhirnya diresmikan pada tahun 1917 dengan nama Shen Tee Bio. Sebelum kemudian berganti nama menjadi Vihara Budi Asih Purwakarta sebagaimana masyarakat kenal saat ini. Keberadaan vihara tersebut juga dibuktikan melalui temuan berupa ciam si atau tiam si. Ciam si adalah tabung ramalan yang terbuat dari bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dengan tulisan aksara Mandarin. Artefak tersebut menjadi salah satu bukti kuat keberadaan serta aktivitas keagamaan di kelenteng ini sejak awal abad ke-20.
Berlokasi Satu Kawasan dengan Sekolah
Kelenteng Budi Asih berlokasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 6A, Lingkungan Kamboja, Kelurahan Nagritengah, Purwakarta. Lokasinya menjadi semakin unik karena berdampingan langsung dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Nagritengah Purwakarta. Hanya terdapat satu pintu pemisah yang dapat masyarakat buka-tutup antara halaman vihara dan sekolah.
Baca Juga: Sejarah Candi Sambimaya Indramayu, Berawal dari Bisikan Jin Biksu
Menariknya, kedekatan wilayah antara Vihara Budi Asih Purwakarta dan institusi pendidikan ini justru menghadirkan suasana yang kaya akan nilai toleransi. Anak-anak dari berbagai latar belakang agama dapat melihat langsung keragaman budaya serta memahami pentingnya saling menghormati sejak dini. Kondisi itu turut memperkuat peran Budi Asih Purwakarta sebagai vihara yang memancarkan nilai kebersamaan di tengah masyarakat multikultural. (R10/HR-Online)

1 week ago
17

















































