tirto.id - Don duduk sendirian di kamarnya, diterangi cahaya remang dari lampu minyak. Ia memutar tombol radio dengan ragu, seolah mencoba menjangkau sesuatu yang telah hilang. Ketika suara statis radio berubah menjadi bisikan lembut, yang mengingatkannya pada nasihat Oma tentang keberanian dan keikhlasan, Don meneteskan air mata, tetapi wajahnya menunjukkan tekad baru.
"Selalu Ada di Nadimu" lantas mengalun, menambah lapisan emosi mendalam, membuat penonton dari berbagai usia ikut terhanyut. Ekspresinya yang penuh harap saat mendengar “suara” Oma membuat Don merasa terhubung. Namun, keputusannya untuk melanjutkan misi merebut buku dongeng menunjukkan perkembangan karakternya secara emosional.
Don bukan pahlawan sempurna; ia pernah membuat kesalahan, seperti saat berselisih dengan sahabatnya Nurman. Akan tetapi, Kemampuannya untuk merenung dan bangkit membuatnya sangat relatable, terutama bagi anak-anak yang belajar menghadapi tantangan dan orang dewasa yang teringat masa kecil mereka.
Adegan-adegan tentang saling mendengarkan dan memaafkan beresonansi dengan penonton lintas generasi. Tua dan muda menjadikan Jumbo tontonan keluarga yang tak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi.
Film animasi Jumbo dirilis pada Maret 2025 oleh Visinema Studios, menarik banyak penonton keluarga. Dirilis saat Lebaran, film ini memanfaatkan lonjakan penonton bioskop selama libur panjang.
Kualitas animasinya yang detail, misalnya tekstur kayu radio tua dan ekspresi wajah Don yang hidup, diakui oleh media asing, seperti Variety dan The Express Tribune.
Produksi film Jumbo tak main-main. Ia melibatkan lebih dari 400 kreator selama lima tahun dan didukung oleh pengisi suara dari kalangan selebriti kondang, seperti Bunga Citra Lestari, Ariel Noah, dan Cinta Laura.
Sampai artikel ini ditulis, film Jumbo telah mencetak sejarah sebagai film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa, dengan lebih dari 2 juta penonton sejak penayangannya pada 31 Maret 2025.
Kesuksesan ini menunjukkan bahwa industri animasi lokal memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar global. Bahkan, rencananya Jumbo akan tayang di 17 negara, termasuk Malaysia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Jumbo disutradarai oleh Ryan Adriandhy, yang juga berperan sebagai animator dan penulis cerita bersama Widya Arifianti. Film ini berkisah tentang pahit-manis hari-hari yang dilalui Don, anak laki-laki yang sering diejek karena tubuhnya besar, dan tekadnya untuk membuktikan diri dengan bakatnya. Secara garis besar, temanya soal perisakan (bullying) dan persahabatan yang relevan dengan penonton keluarga.
Di tengah dominasi film horor—menurut The Express Tribune, lebih dari 50 persen film Indonesia bergenre horor—Jumbo menawarkan alternatif hiburan keluarga, yang sebelumnya kerap kali diisi oleh produsen animasi Barat dan Jepang.
Perjalanan Film Animasi Lokal
Arik Kurnia, akademisi dari Binus University, mengatakan, jejak animasi Indonesia bisa ditelusuri dari wayang dan relief pada candi-candi di Nusantara.
“Animasi Indonesia dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu animasi yang ada di Indonesia, animasi yang sepenuhnya dibuat atau diproduksi oleh orang Indonesia, dan animasi luar yang dibuat atau diproduksi di Indonesia [outsourcing],” ujarnya dalam artikel “Animasi Indonesia dalam Lima Babak Animasi Dunia”.
Di sisi lain, menurut jurnal yang diterbitkan SAE Indonesia, animasi telah dikenal di Indonesia sejak 1933 atau sekitar akhir masa penjajahan di Indonesia. Pada masa itu, beberapa surat kabar lokal telah memuat iklan film animasi Walt Disney.
Namun, pertumbuhan animasi Indonesia relatif lambat dibandingkan dengan standar global. Meskipun telah terpapar tren animasi sejak awal, produksi lokal menghadapi kendala dalam perkembangannya.
Pada 1955, Dukut Hendronoto menjadi pelopor animasi di Indonesia setelah belajar di Disney. Karya pertamanya berjudul “Si Doel Memilih”, yang menggambarkan kampanye pemilu pertama di Indonesia, menunjukkan awal animasi modern di tanah air.
Anima Indah kemudian didirikan pada 1972 di Jakarta, sekaligus menjadi studio animasi pertama di Indonesia. Studio ini dipimpin oleh Lateef Keele dan membawa timnya ke berbagai negara untuk pengembangan animasi.
Pada masa itu, beberapa film dengan penggunaan kamera 8mm mulai meningkat hingga menghasilkan festival film animasi. Karakter Pak Raden, yang diperankan Suyadi lewat karyanya dalam festival animasi, meningkatkan popularitas kartun Indonesia.
Memasuki dekade '80-an, kartun Rimba Si Anak Angkasa yang diproduksi PPFN menjadi simbol kebangkitan animasi Indonesia yang dimotori oleh studio lokal. Di periode yang sama, Asiana Wang Animation berdiri. Kolaborasi lainnya pun bermunculan sehingga memperkaya industri animasi di Indonesia.
Perjalanan animasi Indonesia sedikit cerah pada 1990-an berkat penayangan Si Huma di TVRI yang didukung oleh UNICEF. Animasi 3D juga diperkenalkan, terutama berkat Hela Heli Helo yang diproduksi di Surabaya.
Sayangnya, gairah penonton bergeser setelah serial animasi Jepang menjamur. Salah satunya Doraemon yang tayang di RCTI, televisi swasta yang menguasai kancah pertelevisian Indonesia. Tayangan tersebut bersaing dengan produksi barat.
Memasuki abad baru, pada 2000-an, meskipun banyak studio dan film animasi Indonesia yang sukses, banyak karya lain kurang mendapat perhatian atau mengalami kesulitan dalam distribusi dan pendanaan.
ilustrasi film dan media. FOTO/iStockphoto
Segalanya berubah memasuki dekade 2020-an. Animator lokal mulai percaya diri dengan garapannya, terbukti dengan apresiasi positif dari para pencinta film animasi.
Contoh film animasi lokal lain yang pernah mendapat apresiasi besar adalah Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir (2017). Kala itu, sinema garapan Falcon Picture tersebut memegang rekor sebagai film animasi Indonesia terlaris dengan 642.312 penonton. Film animasi ini juga mendapat pujian dari media asing. Selang empat tahun, tayang film animasi lain berjudul Nussa (2021) yang memperoleh lebih dari 400.000 penonton.
Sayangnya, tak semua produk animasi bermuara pada kesuksesan komersial. Battle of Surabaya (2015), misalnya, hanya mampu menarik sekitar 30.000 penonton, meski memiliki nilai artistik dan sejarah. Nasib serupa juga menimpa Knight Kris (2017) yang diproduksi dengan anggaran mencapai Rp18 miliar.
Film-film animasi potensial seperti dua contoh di atas pun meredup, tidak memiliki kelanjutan atau proyek besar berikutnya. Nasibnya tak jelas, terutama dalam hal distribusi bioskop dan pengembangan studio.
Sumber Daya Lokal Melimpah
Indonesia sebetulnya tidak kekurangan animator berbakat, bahkan bertaraf dunia. Lihat saja hasil sentuhan Marsha Chikita Fawzi dalam karakter serial animasi Upin & Ipin (2007). Animator muda Indonesia itu bertugas mendesain interior, latar belakang adegan, dan properti lainnya.
Setelah tiga tahun bekerja sebagai animator, Chiki kembali ke Indonesia dan membentuk Monso House, perusahaan animasi independen, bersama lima orang rekannya.
Sebut nama lain, Rini Sugianto, yang telah malang melintang di perfilman Hollywood sebagai animator. Kariernya bisa dibilang sukses, bekerja di studio-studio animasi ternama seperti Weta Digital dan DreamWorks.
Rini terlibat dalam berbagai film animasi blockbuster, seperti The Adventures of Tintin (2011), The Hobbit:Trilogy (2012-2014), The Avengers (2012), dan The Hunger Games: Catching Fire (2013).
Ada pula nama Andre Surya, salah satu digital artist yang bekerja sebagai visual effect artist dan terlibat dalam sejumlah film Hollywood terkenal. Hasil sentuhannya bisa kita lihat dalam produk-produk film kenamaan, seperti Iron Man (2008), Transformers: Revenge of the Fallen (2009), Terminator:Salvation (2009), Star Trek (2009), dan Iron Man 2 (2010).
Balik ke Indonesia, Andre mendirikan Enspire Studio, studio animasi yang menggarap berbagai proyek animasi berkualitas.
Jangan lupakan juga nama Griselda Sastrawinata, artis storyboard dan visual development artist, yang kini bekerja di Walt Disney Animation Studios. Beberapa film animasi kondang yang telah kita tonton merupakan hasil kerjanya, termasuk Moana (2016), Frozen II (2019), dan Raya and the Last Dragon (2021).
Selain nama-nama di atas, ada banyak lagi kreator dan seniman animasi yang telah berhasil menembus industri animasi internasional. Mereka adalah bukti bahwa talenta animasi Indonesia mampu bersaing di tingkat internasional.
Mengapa Film Animasi Lokal Sulit Berkembang?
Terdapat beberapa tantangan dan hambatan bagi para animator Indonesia. Produksi animasi membutuhkan biaya besar, tetapi investor cenderung ragu untuk mendanai film animasi karena dianggap berisiko tinggi dan tidak menjanjikan keuntungan besar. Mereka sering kali lebih memilih genre yang dianggap lebih menguntungkan, seperti drama atau horor.
Sebagai perbandingan, film animasi Hollywood biasanya memiliki anggaran puluhan hingga ratusan juta dolar. Sementara itu, produksi animasi lokal sering kali harus berjuang dengan anggaran yang jauh lebih kecil.
Akibat dana terbatas, banyak film animasi lokal kesulitan mendapatkan slot tayang di bioskop dan kurang mendapat dukungan pemasaran yang kuat.
Kurangnya infrastruktur dan sumber daya manusia juga berpengaruh besar. Meskipun banyak animator berbakat, industri animasi Indonesia masih kekurangan fasilitas dan pelatihan yang memadai untuk bersaing dengan studio internasional. Ketidakstabilan koneksi internet dan keterbatasan fasilitas produksi sering kali menghambat efisiensi anggaran.
Faktor segmentasi pasar juga berpengaruh besar. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap animasi sebagai hiburan untuk anak-anak saja. Padahal, animasi memiliki potensi untuk menjangkau berbagai segmen usia dengan beragam tema.
Hal itu membuat film animasi lokal sering kali terjebak dalam stigma bahwa produknya hanya cocok untuk penonton muda. Kalaupun mau, mereka lebih tertarik pada film animasi asing yang sudah punya reputasi tinggi. Karenanya, film lokal sering kali kalah dalam persaingan.
Aspek yang tak kalah penting, animasi lokal kerap kalah karena kurangnya dukungan pemerintah. Padahal, negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah dalam mendukung industri kreatif dapat memberikan dampak signifikan.
Menurut data Indonesia Animation Report, selama pandemi 2020, sektor animasi kurang mendapat insentif dari pemerintah dan perbankan. Itu juga yang memengaruhi prospek jangka panjang industri ini.
Riset itu melaporkan pertumbuhan industri animasi sebesar 153 persen dalam lima tahun terakhir. 79 persen di antaranya dihasilkan dari animasi berbasis jasa dan 21 persen lainnya dari animasi berbasis IP (Intellectual Property).
Pertumbuhan industri ini diperkirakan akan terus berkembang, dengan munculnya banyak IP baru berupa animasi lokal yang populer di media sosial, seperti Dalang Pelo, Si Nopal, Om Parlente, dan Nusa Rara.
Akan tetapi, masalah distribusi tetap mesti diperhatikan. Tidak semua karya animasi berhasil menembus jaringan bioskop besar atau platform streaming populer. Akibatnya, jangkauan penonton menjadi terbatas dan sulit untuk mendapatkan pendapatan maksimal.
Subsidi, pelatihan, hingga promosi internasional, diperlukan sebagai bentuk dukungan yang bisa membantu animator lokal lebih berkembang. Regulasi dan kebijakan yang mengakomodasi industri animasi masih terbatas sehingga sulit bagi studio lokal untuk berkembang.
Keberhasilan film Jumbo menunjukkan, dengan strategi pemasaran yang tepat, kualitas mumpuni, dan dukungan komunitas, film animasi Indonesia bisa berkembang lebih jauh. Jika tren ini terus berlanjut, industri animasi lokal berpotensi menjadi lebih kompetitif di kancah internasional.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga masyarakat, film animasi lokal dapat menjadi salah satu kebanggaan nasional.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin