tirto.id - Luky (17) berdiri di sudut tokonya, Lucky 7, di Pasar Tanah Abang. Di rak-rak sekelilingnya, baju singlet, kaos, hingga celana tergantung rapi. Sore itu, toko tempat Luky bekerja tampak lengang. Beberapa pengunjung berjalan santai melewati lorong, sekadar melihat-lihat tanpa niat membeli.
"Kalau penjualan, ya menurun sih, Bang," ucap Luky kepada Tirto, Senin (17/3/2025) lalu.
Meski begitu, Luky tak bisa memastikan alasan mengapa tokonya lebih sepi pembeli pada tahun ini, bahkan hingga waktu menjelang lebaran. Namun, toko Lucky 7 rupanya masih punya satu penyelamat, yakni platform penjualan daring.
"Mungkin di sininya [di toko] yang keliling-keliling sepi, tapi dari online kami lakunya. Kami jualan juga lewat WhatsApp," kata Luky.
Luky bekerja di Lucky 7 sebagai helper. Tugasnya adalah memastikan pesanan daring sampai ke tangan pembeli di berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dalam sehari, jika penjualan sedang ramai, dia bisa sampai sepuluh kali mengirimkan barang ke ekspedisi.
"Mungkin sampai 50 lusin [baju] ada, ya lebihlah. Mereka [beli] buat dijual lagi. Ngambil barangnya dari sini," terang Luky.
Bagi sebagian besar pedagang di Pasar Tanah Abang, digitalisasi adalah solusi. Toko-toko yang telah merambah WhatsApp atau lokapasar daring cenderung lebih bertahan.
Suasana Pasar Tanah Abang menjelang lebaran. Tirto.id/Naufal Majid
Hal itu dapat terlihat dari toko tempat Dea (24) bekerja yang kini justru lebih mengandalkan penjualan daring. Dea menuturkan bahwa penjualan langsung di toko fisik mengalami penurunan drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Sekarang, aduh sepi banget. Paling cuma 10-20 lusinan-lah per hari," ujarnya kepada Tirto.
Menurut Dea, tren belanja telah berubah. Konsumen kini lebih memilih kenyamanan berbelanja dari rumah ketimbang harus datang langsung ke Pasar Tanah Abang. Terlebih, konsumen yang berada di luar Jakarta juga harus mengeluarkan biaya besar apabila berbelanja secara langsung di Pasar Tanah Abang.
"Kalau [yang jauh] harus [datang langsung] ke Tanah Abang kan harus keluar tiket pesawat gitu. Jadi, orang harus mengeluarkan biaya lagi untuk ke sini buat belanja offline. Jadi, kebanyakan memang sudah belanja lewat online shop aja,” jelas Dea.
Dea menambahkan, jika keadaan terus sepi, toko tempatnya bekerja kemungkinan besar akan sepenuhnya beralih ke platform daring.
"Bisa jadi, kalau makin hari makin sepi, tiap tahun makin sepi, bisa jadi semuanya jadi online,” katanya.
Meski begitu, tak semua pedagang mengikuti arus perubahan itu. Rana (22), seorang karyawan toko kaos polo di Pasar Tanah Abang, menyebut bahwa tokonya masih bertahan dengan penjualan konvensional. Baginya, pengalaman berbelanja langsung tetap memiliki nilai tersendiri.
"Kita gak ada toko online," ujar Rana kepada Tirto sambil menyusun tumpukan kaos polo beragam warna.
Rana menyebut alasan toko tempatnya bekerja tidak memanfaatkan platform daring adalah karena biaya ongkos kirim (ongkir) yang mahal dan juga proses pengiriman yang lebih rumit.
"Lebih ribet juga karena harus kirim ke ekspedisi," kata Rana.
Berbeda dengan Luky dan Dea, Rana justru mengaku tokonya mengalami sedikit peningkatan penjualan menjelang lebaran ini. Dia menyebut bahwa penjualan bisa mencapai tiga karung pakaian setiap harinya.
"Ada peningkatan penjualan. Ada tiga karung yang terjual per harinya. Gak selalu setiap hari sih, paling ramai di hari Senin dan Selasa," ungkapnya.
Meski begitu, keputusan untuk tidak beralih ke penualan daring diakui Rana memang membuat jumlah orang yang berkunjung langsung ke toko mengalami penurunan.
"Orang jadi malas untuk datang langsung ke toko,” katanya.
Suasana Pasar Tanah Abang menjelang lebaran. Tirto.id/Naufal Majid
Konsumen Masih Senang Belanja Langsung ke Toko
Meskipun beberapa pedagang mengeluhkan penjualan terus menurun akibat perubahan perilaku konsumen, Pasar Tanah Abang nyatanya masih terus disesaki oleh pembeli, terutama menjelang datangnya lebaran.
Robby (28), seorang pembeli yang ditemui Tirto di Pasar Tanah Abang, mengaku masih setia datang langsung ke pasar tersebut untuk membeli pakaian. Baginya, ada keunggulan yang tidak bisa digantikan oleh belanja daring. Salah satunya adalah melihat langsung produk yang akan dibeli.
"Lebih enak ya. Kita bisa ngelihat produknya langsung, terus bisa pakai produknya langsung. Jadi, gak salah-salah gitu," ujar Robby kepada Tirto, Rabu (19/3/2025).
Pasalnya, Robby pernah mengalami pengalaman kurang menyenangkan saat membeli baju secara daring. Saat itu, menurut penuturannya, dia menerima baju dengan ukuran dan warna yang tidak sesuai ekspektasinya.
“Kalau misalnya [belanja] online soalnya ukurannya pernah kan kita lihat dari gambar bagus nih, terus tiba-tiba pas sampai ke rumah tuh ternyata gak sesuai. Apalagi, kadang-kadang, nomornya juga gak sesuai,” terang Robby.
Meski ada opsi pengembalian barang, Robby mengaku hal tersebut bukanlah perkara yang mudah.
Oleh karena itu, Robby tetap lebih memilih berbelanja langsung ke Pasar Tanah Abang. Meski harus menghadapi kemacetan dan berdesakan di pasar, bagi Robby, momen belanja langsung menjelang lebaran adalah tradisi.
“Gak masalah sih [macet dan berdesakan]. Kalau soal itu, namanya lagi momen yang mau lebaran, ya hampir setiap tahun kan kayak gini. Justru ya momen-momen kayak gini nikmatin aja ya, cuman setahun sekali kan kayak gini-gini,” tuturnya.
Serupa dengan Robby, Gilang (23) juga memilih untuk tetap berbelanja langsung ke Pasar Tanah Abang, terutama karena faktor kepercayaan. Di Pasar Tanah Abang, Gilang sudah memiliki pedagang langganan yang kini menjadi kenalannya.
"Sebenernya sih ke Tanah Abang karena ada teman yang udah jadi langganan buat beli. Jadi, kalau beli baju koko terus kebutuhan-kebutuhan lebaran, ya ke dia gitu,” ucap Gilang kepada Tirto, Rabu.
Suasana Pasar Tanah Abang menjelang lebaran. Tirto.id/Naufal Majid
Baginya, pengalaman belanja daring sempat mengecewakan. Pada waktu menjelang lebaran tahun lalu, Gilang terpaksa menerima barang belanjaannya setelah waktu lebaran lewat.
"Tahun kemarin nyoba online, ya datangnya habis lebaran bajunya. Jadi, lebih praktis aja gitu [kalau beli langsung]. Kita langsung dapat barangnya. Bayar, langsung dapat barangnya, walaupun ya agak desak-desakan sih," sebutnya.
Harga pun bukan masalah besar bagi Gilang. Menurutnya, perbedaan harga antara toko daring dan toko fisik tidak terlalu signifikan, terutama jika dibandingkan dengan biaya ongkir yang harus ditanggung oleh pembeli.
"Walaupun mungkin [toko fisik] agak mahal ya karena mereka harus nyewa ruko atau kios. Tapi, ya hitung-hitung sama aja kayak ongkos ongkir gitulah," ujar Gilang.
Pasar Tanah Abang sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara kini tengah menghadapi tantangan besar. Perubahan pola belanja masyarakat memaksa pedagang untuk beradaptasi.
Sebagian beralih ke penjualan daring, sementara yang lain masih bertahan dengan cara lama, yakni mempertahankan interaksi langsung dengan pelanggan.
Namun, satu hal yang pasti: semangat para pedagang untuk bertahan hidup tak pernah surut. Bagi mereka, setiap hari adalah perjuangan. Entah itu dengan mengandalkan penjualan daring, mempertahankan pembeli loyal, atau sekadar berharap pasar kembali ramai seperti sedia kala.
Sebab, bagi mereka yang menggantungkan hidup di Pasar Tanah Abang, bertahan adalah satu-satunya pilihan.
tirto.id - News
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Fadrik Aziz Firdausi