Shafura istri Nabi Musa terkenal sebagai wanita yang memiliki teladan baik. Ia adalah sosok yang sangat shalehah, penuh kesantunan, dan pemalu. Selain itu, dalam sejarah Islam Shafura juga terkenal karena sifat setianya.
Baca Juga: Keteladanan Siti Maryam, Wanita Terbaik Sepanjang Masa
Shafura menjadi contoh dalam kesetiaan kepada suami dan keluarga. Kepribadiannya yang mulia menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam menjalani kehidupan yang penuh kebajikan.
Kisah Shafura Istri Nabi Musa yang Selalu Menjaga Rasa Malunya
Dalam kisah para Nabi yang tercantum dalam berbagai kitab tafsir, terdapat kisah penuh keteladanan dari Shafura atau Shafuriyya, istri Nabi Musa. Shafura terkenal sebagai perempuan yang memiliki rasa malu yang tinggi.
Ia juga punya sifat menjaga diri atau iffah yang menjadi cerminan dari kesalehannya. Kisah Shafura ini menyuguhkan banyak pelajaran berharga tentang sikap malu yang dihiasi dengan kesetiaan dan kepercayaan pada Allah.
Pertemuan Pertama dengan Nabi Musa
Ketika Nabi Musa dalam pelariannya dari kejaran Firaun dan para tentaranya, ia sampai di suatu tempat bernama Madyan. Di sana, Nabi Musa menyaksikan sekelompok orang yang sedang berkerumun di sekitar sumber air, berebut untuk memberi minum ternak mereka.
Dari kejauhan, Nabi Musa melihat dua perempuan, yakni Shafura dan saudaranya, Layya, yang sedang menahan ternak mereka. Berbeda dengan para penggembala laki-laki, kedua perempuan ini memilih untuk menunggu dan menjaga jarak dari kerumunan.
Nabi Musa pun merasa penasaran dan menghampiri mereka, bertanya alasan mereka tidak ikut mengambil air. Shafura menjelaskan bahwa mereka tidak bisa memberi minum ternaknya sebelum para lelaki selesai mengambil air.
Mengingat ayah mereka yang sudah tua dan tidak bisa membantu mereka mengembala. Mendengar penjelasan ini, Nabi Musa dengan ikhlas menolong kedua perempuan tersebut dan membantu memberi minum ternak mereka.
Setelah itu, tanpa basa-basi, Nabi Musa meninggalkan mereka dan mencari tempat berteduh.
Sikap Malu Shafura dalam Mengundang Nabi Musa
Kebaikan yang Nabi Musa lakukan meninggalkan kesan mendalam pada Shafura. Saat ia kembali ke rumah, Shafura menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya, Nabi Syu’aib.
Ia bercerita tentang laki-laki asing yang membantunya tanpa meminta imbalan. Mendengar cerita putrinya, Nabi Syu’aib merasa kagum dan ingin mengundang Nabi Musa untuk berterima kasih.
Ketika sang ayah memintanya untuk mengundang Nabi Musa, Shafura pun berjalan menemui Nabi Musa. Namun, rasa malu yang tinggi mendorong Shafura untuk menutup wajahnya dengan lengan jubahnya ketika mengajak Nabi Musa ke rumah ayahnya.
Nabi Musa yang memiliki sifat rendah hati dan sopan, meminta Shafura berjalan di belakangnya untuk menghindari fitnah. Karena mereka hanya berjalan berdua.
Rasa malu dan santun yang Shafura tunjukkan bukan hanya memperlihatkan betapa terjaganya kesucian hatinya. Akan tetapi juga bagaimana ia menjaga adab dan kesantunan dalam bertindak. Hal ini pula yang membuatnya menjadi panutan bagi perempuan Muslim hingga kini.
Pernikahan dengan Nabi Musa
Sesampainya Nabi Musa di rumah Nabi Syu’aib, terjadilah percakapan antara keduanya. Nabi Musa menceritakan perjalanan hidupnya yang tengah menghadapi tantangan berat.
Menyadari bahwa Nabi Musa adalah sosok yang baik, kuat, dan dapat dipercaya, Shafura memberikan usulan kepada ayahnya untuk mengangkat Nabi Musa sebagai pekerja.
Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Qasas ayat 26: “Wahai ayahku, jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Nabi Syu’aib akhirnya memutuskan untuk menikahkan putrinya dengan Nabi Musa, dengan syarat Nabi Musa bekerja untuknya selama delapan hingga sepuluh tahun.
Baca Juga: Istri Nabi Zakaria dan Kisahnya yang Hamil di Usia Lanjut
Nabi Musa menyetujui persyaratan tersebut. Pada akhirnya menikahlah ia dengan Shafura, sosok perempuan yang sabar dan penuh keimanan.
Shafura: Sosok yang Memiliki Rasa Malu sebagai Identitas Diri
Salah satu hal yang paling terkenal dari Shafura istri Nabi Musa adalah rasa malu yang senantiasa ia jaga. Sebagaimana tertera dalam QS. Al-Qasas ayat 25, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu.”
Dalam ayat ini, rasa malu Shafura diperlihatkan sebagai perhiasan diri, yang dipakai dengan bangga dan tulus. Mencerminkan bahwa rasa malu bukanlah kelemahan melainkan kekuatan.
Abu As-Su’ud dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa rasa malu Shafura tergambar ketika ia menutup wajahnya karena sangat menjaga kehormatannya. Ini menunjukkan bahwa rasa malu dalam Islam adalah tanda kemuliaan dan kesalehan seorang perempuan.
Setia Mendampingi Nabi Musa dalam Perjalanan
Kesetiaan Shafura sebagai istri terhadap Nabi Musa juga menjadi nilai teladan yang patut kita contoh. Ketika Nabi Musa mendapat perintah dari Allah untuk kembali ke Mesir dan menghadapi Firaun, Shafura dengan sepenuh hati mendampingi suaminya.
Meskipun saat itu ia sedang mengandung. Perjalanan dari Madyan ke Mesir bukanlah jarak yang dekat. Namun Shafura tetap teguh berpegang pada iman dan rasa cintanya kepada suaminya.
Keteladanan dari Shafura
Kisah Shafura istri Nabi Musa yang selalu menjaga rasa malu ini menjadi cerminan penting bagi umat Muslim, terutama perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mengambil hikmah dari bagaimana Shafura menjaga iffah-nya, melindungi kehormatan dirinya, dan selalu bertindak sesuai dengan adab dan tuntunan agama.
Kesetiaan Shafura kepada Nabi Musa juga menjadi contoh akan arti cinta yang tulus dan ketaatan kepada Allah. Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan yang menjaga kesalehan dan kebaikan hatinya akan selalu mendapatkan tempat mulia di sisi Allah dan dihormati oleh manusia.
Baca Juga: Istri Fir’aun yang Mengasuh Nabi Musa AS, Peroleh Jaminan Surga
Dengan segala kesederhanaannya, Shafura membuktikan bahwa rasa malu bukanlah kelemahan, melainkan perhiasan yang memperindah dirinya sebagai perempuan solehah. Kisah Shafura istri Nabi Musa mengajarkan kita bahwa menjaga rasa malu, iffah, dan integritas diri adalah bagian dari iman yang akan memuliakan kita di dunia dan akhirat. (R10/HR-Online)