tirto.id - Berawal dari ramuan untuk kesehatan, ritual untuk mengusir roh jahat, hingga bagian dari tradisi dan perayaan. Itulah sejarah kembang api. Para sejarawan meyakini bahwa kembang api pertama kali ditemukan di Cina sekitar abad ke-9 pada masa Dinasti Tang.
Pada periode 600-900 Masehi, seorang ahli kimia Tiongkok bernama Li Tan mencampurkan kalium nitrat, sulfur, dan arang untuk menciptakan mesiu mentah yang awalnya digunakan untuk tujuan medis. Namun, masyarakat kemudian tersadar bawa ramuan tersebut bisa menghasilkan ledakan yang diyakini dapat mengusir roh jahat.
Kembang api pertama dibuat dengan mengemas bubuk mesiu ke dalam batang bambu yang kemudian dilemparkan ke dalam api untuk menciptakan ledakan keras. Li Tan kemudian dianggap sebagai penemu kembang api alias petasan. Sebagian orang-orang Tionghoa kemudian merayakan penemuan itu setiap 18 April.
Di era Dinasti Song, masyarakat Cina bahkan membangun kuil untuk memuja Li Tian.
Dalam The Genius of China: 3000 years of Science, Discovery and Invention (2007), Robert Temple menjelaskan bahwa petasan atau kembang api adalah bagian dari tradisi budaya orang Cina sejak Dinasti Tang. Bahkan, pada masa itu pembuatan petasan dan sejenisnya telah berkembang menjadi pekerjaan mandiri.
Orang-orang percaya pada mitos bahwa petasan mampu mengusir iblis, bahkan bisa membawa keberuntungan dan kebahagiaan.
Seperti yang dikutip dari laporan Tirto, Michael S. Russell dalam The Chemistry of Fireworks (2009), seorang biarawan sekaligus ilmuwan Inggris bernama Roger Bacon pada 1252 juga meracik bubuk mesiu yang tak jauh beda dengan yang pertama kali dibuat di Cina.
Racikan mesiu itu terdiri dari kalium nitrat, sulfur, dan juga bahan dari willow muda. Bacon juga dianggap sebagai orang yang pertama menyadari bahwa dengan takaran yang pas, bahan peledak itu akan menghasilkan cahaya yang indah.
Takaran buatan Bacon ini lalu menjadi takaran dasar pembuatan kembang api. Lepas dari Bacon, orang-orang Italia kemudian mengembangkan berbagai pola dan warna kembang api, seperti fountain fireworks.
Di abad ke-19, bahan kimia lain pun dikembangkan untuk menghasilkan warna-warna yang beragam dan cantik. Di masa itu, para pakar pembuat kembang api punya sebutan khusus, yakni pyrotechnic. Hingga warna merah, hijau, dan biru pun menghiasi kembang api.
Polusi di Balik Keindahan Kembang Api
Sekalipun petasan dan kembang api lazim digunakan dalam momen perayaan, adonan antara asam nitrat, belerang, dan arang kayu ini memiliki dampak dan potensi berbahaya bagi lingkungan.
Secara ilmiah, laman waste4change menyebut bahwa kembang api merupakan misil piroteknik kecil yang meledak dengan cara yang sangat spesifik. Kembang api menghasilkan bunyi ledakan kencang bersamaan dengan letupan warna-warna cerah di udara yang merupakan hasil dari reaksi fisika dan kimia.
Warna tersebut berasal dari garam logam padat serta bahan-bahan peledak yang akan menghasilkan warna saat dipanaskan pada suhu tertentu. Komponen logam yang lazim digunakan dalam kembang api di antaranya garam litium (Li), garam sodium (Na), tembaga (Cu), barium (Ba), kalsium (Ca) dan strontium (Sr).
Seturut penjelasan dalam laman IQAir, polutan kembang api yang paling menonjol adalah particulate matter (PM). Saat diledakkan, kembang api menghasilkan polutan PM dengan ukuran berbeda. Mulai dari PM10 (partikel kasar), PM2.5 (partikel halus), hingga ultrafine particles (UFP).
PM10 adalah partikel berukuran sekira 2,5-10 mikron, sementara PM2.5 adalah partikel berukuran sekira 0,3-2,5 mikron. Lalu, UFP yang dihasilkan kembang api berukuran lebih kecil dari 0,3 mikron.
Mengutip sebuah studi yang dilakukan di Albany, New York, Amerika Serikat, IQAir menulis, “Beberapa jam setelah pesta kembang api, konsentrasi polutan PM bisa mencapai 8 kali lebih tinggi dari biasanya dan hingga 10 kali lebih tinggi dari polusi yang dihasilkan oleh lalu lintas kendaraan di daerah yang sama.”
Ajit Singh, Pallavi Pant, Francis D. Pope dalam studi “Air quality during and after festivals: Aerosol Concentrations, Composition and Health Effects” (2019) juga mengonfirmasi dampak negatif kembang api terhadap lingkungan.
Singh dkk. menjelaskan bahwa ledakan kembang api menimbulkan polusi udara jangka pendek. Selain itu, kebisingan yang dihasilkannya berpotensi mengganggu kehidupan satwa liar. Itu belum lagi menghitung potensi kontaminasi air oleh bahan kimia yang terkandung di dalamnya.
Studi Singh dkk. memaparkan bahwa kembang api melepaskan berbagai polutan padat dan gas ke udara saat meledak. Di antaranya adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), karbon dioksida (CO2), dan karbon monoksida (CO).
Kontaminasi air oleh bahan kimia dari kembang api dapat kita tilik contohnya dalam studi Manish Kumar berjudul “Runoff from firework manufacturing as major perchlorate source in the surface waters around Diwali in Ahmedabad, India” (2020).
Riset Kumar mengkaji dampak kembang api pada konsentrasi perklorat (ClO4−) di perairan sekitar Ahmedabad, Gujarat, India, selama festival Diwali. Hasil riset menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi perklorat di aliran sungai Sabarmati dan Danau Kankaria di momen pesta kembang api.
Aturan Ketat Kembang Api
Beberapa negara diketahui mempunyai aturan penggunaan kembang api yang ketat. Larangan atau pembatasan terhadap kembang api di beberapa negara umumnya berkaitan dengan upaya untuk melindungi kesehatan masyarakat, mengurangi polusi udara, mencegah kebakaran, dan mengurangi gangguan terhadap hewan.
Norwegia, misalnya, telah melarang penggunaan kembang api oleh masyarakat umum sejak 2019. Larangan ini diberlakukan untuk mengurangi dampak polusi udara dan melindungi hewan dari stres yang disebabkan oleh suara keras.
Meskipun ada pengecualian untuk beberapa acara besar, penggunaan kembang api secara pribadi dilarang.
Beberapa negara bagian di India, seperti Delhi, telah melarang penggunaan kembang api secara pribadi karena polusi udara yang parah, terutama selama festival Diwali. Penggunaan kembang api hanya diperbolehkan di acara yang disetujui oleh pemerintah.
Inggris tak ketinggalan memiliki regulasi ketat terkait penjualan dan penggunaan kembang api, terutama selama malam Tahun Baru dan Guy Fawkes Night. Penggunaan kembang api pribadi dibatasi, dan ada pembatasan waktu untuk penggunaan di beberapa wilayah.
Kembang Api di Indonesia
Di Indonesia, kembang api atau petasan juga lekat dengan tradisi dan perayaan, mulai dari acara adat pernikahan, tahun baru, hingga momen Idulfitri.
Mengutip laporan Tirto, Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian Kedua: Jaringan Asia (2005) menuliskan kutipan dari Edmund Scoot, bangsawan yang memimpin loji Inggris di wilayah Banten (1603-1604).
Edmund Scoot menceritakan tentang perayaan besar di Banten saat seorang raja muda disunat. Berbagai hadiah persembahan diserahkan, dari binatang buas harimau, kerbau-kerbau, dan boneka, serta beras ataupun uang kepeng Cina.
Hingga, Scoot menuliskan, “[…] Akhirnya, kelompok kecil itu mulai berjalan, diikuti pencanang yang harus mengucapkan pujian di depan raja, seorang anak yatim Cina, ‘yang diambil oleh Juragan Towerson sebagai pelayan dan yang didandani dengan elok benar untuk kesempatan itu,’ begitu pula juru bahasa Agustin Spalden yang membawa beberapa petasan untuk disulut pada saat yang baik […]”.
Kutipan cerita itu adalah informasi soal kehadiran kembang api atau petasan sebagai salah satu dari barang hadiah. Lombard bahkan menyebut peristiwa di Banten itu sebagai catatan penting bagaimana petasan hadir dalam peristiwa perayaan di satu kepulauan.
Kembang api atau petasan juga lekat dengan masyarakat Betawi. Seturut penjelasan laman senibudayabetawi, masyarakat Betawi kerap menggunakan kembang api dalam berbagai hajatan, mulai dari acara pernikahan, khitanan, Maulid Nabi, hingga acara Isra’ Mi’raj.
Menurut Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), H. Irwan Sjafi’e, banyaknya petasan yang dinyalakan dalam satu hajatan juga bisa menunjukkan status sosial.
Kebiasaan membakar kembang api pun tak terbendung hingga saat ini, termasuk dalam perayaan tahun baru, Imlek, dan lebaran. Situs UN Comtrade mencatat bahwa pada 2024, Indonesia berada di posisi 6 dalam daftar negara pengimpor kembang api terbesar di dunia. Impor kembang api yang masuk ke Indonesia mencapai 15.473.254 kg.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai impor kembang api di Indonesia pada 2024 mencapai 15,47 juta dolar AS. Jika dihitung secara akumulatif sejak 2020 hingga 2024, nilainya mencapai 84,5 juta dolar AS.
Nominal tersebut menggambarkan permintaan pasar Indonesia yang tinggi atas kembang api dan produk sejenisnya.
Di Indonesia, sering kita jumpai kasus-kasus kembang api atau petasan yang meledak dan menimbulkan korban jiwa dan materi.
Pada 2017, sebuah pabrik pembuatan kembang api di kawasan Kosambi meledak. Ledakan itu disebabkan oleh kebakaran karena kelalaian dalam penanganan bahan-bahan mudah terbakar.
Ledakan ini menewaskan sedikitnya 47 orang dan menyebabkan puluhan lainnya terluka. Kebanyakan korban adalah pekerja pabrik dan sebagian besar meninggal akibat ledakan dan kebakaran yang sangat besar.
Data spesifik mengenai jumlah pabrik dan perusahaan kembang api di Indonesia tidak tersedia secara publik. Namun, industri kembang api di Indonesia melibatkan beberapa perusahaan yang terlibat dalam produksi, impor, dan distribusi kembang api.
Contohnya, PT Panca Buana Global Kharisma adalah importir kembang api merek Sun Fireworks yang memiliki izin bisnis dari Kepolisian RI sejak 2013. Selain itu, PT Panca Buana Cahaya Sukses adalah produsen kembang api yang beroperasi di Kosambi, Tangerang, dan mengalami ledakan pada tahun 2017.
Kementerian Perindustrian menetapkan bahwa pabrik kembang api harus berada di kawasan industri dan memiliki izin dari pemerintah pusat. Pasalnya, pabrik kembang api menggunakan bahan peledak berkekuatan rendah dalam produksinya.
Perlunya Penegakan Aturan terkait Kembang Api
Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI Nasional, Abdul Ghofar, mengakui bahwa kembang api dan petasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari momentum Ramadhan dan Idulfitri di Indonesia.
Meskipun dianggap sebagai tradisi, Ghofar menilai pembakaran kembang api dan petasan dalam jumlah masif karena bisa menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan.
“Kembang api dan petasan menurunkan kualitas udara. Lepasan emisi beracun, seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, dan partikel halus, tidak hanya mencemari udara, namun juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, terutama risiko penyakit pernafasan,” ujar Ghofar saat dihubungi Tirto, Senin (24/3/2025).
Selain dampak lingkungan dan kesehatan, pembakaran petasan dan kembang api juga menimbulkan polusi suara yang meningkatkan kerentanan bagi balita, lansia, dan orang dengan penyakit jantung.
Terkait dengan kembang api dan petasan, Indonesia sebetulnya telah memiliki regulasi seperti UU Nomor 12 Tahun 1951. Pasal 1 Ayat 1 UU tersebut menyatakan larangan kepemilikan bahan peledak, termasuk bahan petasan tanpa izin resmi.
Sementara itu, kembang api diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 17 tahun 2017 yang berisi pembatasan penggunaan petasan dan kembang api untuk permainan umum dan pertunjukan.
Menukil penjelasan dalam laman Hukumonline, Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2017 mensyaratkan penggunaan kembang api atau petasan yang berisi lebih dari 20 gram mesiu dan/atau berdiameter lebih dari 2 inchi harus mendapatkan izin terlebih dahulu.
“Melalui kedua peraturan tersebut, ada ancaman pidana bagi penggunaan petasan dan kembang api yang tidak sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujar Ghofar.
Lebih lanjut, Ghofar menilai ke depannya hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah sosialisasi kebijakan dan upaya penegakan hukum, terutama bagi penggunaan petasan dan kembang api yang berpotensi membahayakan jiwa dan lingkungan.
tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi