tirto.id - Istilah buzzer politik acap kali terdengar di media sosial, utamanya saat masa Pemilu atau terdapat konflik politik tertentu. Tak ayal, di era digital, media sosial menjadi arena utama dalam pertarungan opini dan penyebaran informasi.
Berbagai pihak memanfaatkannya untuk memengaruhi persepsi publik, baik melalui individu maupun kelompok yang secara aktif menyuarakan pesan tertentu. Dalam konteks ini, istilah buzzer politik sering muncul sebagai bagian dari strategi komunikasi digital.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana ruang digital dimanfaatkan untuk membentuk opini publik, baik secara organik maupun terorganisir. Keberadaan buzzer politik menimbulkan perdebatan, terutama terkait transparansi, etika, kebebasan berpendapat, dan dampaknya terhadap kualitas demokrasi.
Apa itu Buzzer Politik?
Buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Berasal dari bahasa Inggris, padanan buzzer dalam bahasa Indonesia adalah pendengung.
Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.
Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Itu merupakan pengertian buzzer secara keseluruhan. Namun, apa pengertian buzzer politik?
Sesuai namanya, buzzer politik adalah akun yang berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan terkait isu atau kepentingan politik. Buzzer politik dapat bekerja secara mandiri atau menjadi bagian dari jaringan yang lebih besar untuk memengaruhi opini publik.
Buzzer politik sering muncul dalam momen-momen krusial seperti Pemilu, perdebatan kebijakan, atau ketika terjadi konflik politik tertentu. Tujuan dan tugas buzzer politik yakni untuk mempengaruhi opini publik akan suatu masalah.
Sejarah Buzzer di Indonesia
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar dengan gaji untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Di Indonesia sendiri, Twitter menjadi salah satu platform utama bagi buzzer. Media sosial ini mulai digunakan di Indonesia sejak 2006 dan awalnya dimanfaatkan oleh berbagai merek untuk kepentingan promosi.
Keterlibatan buzzer dalam politik pertama kali terlihat pada Pilgub DKI Jakarta 2012, lalu semakin luas penggunaannya dalam Pilpres 2014. Fenomena ini terus berlanjut, termasuk dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, di mana buzzer kembali memainkan peran penting dalam kampanye politik.
Menjelang Pilpres 2019, Reuters mewawancarai lebih dari selusin anggota tim buzzer, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya. Mereka menggambarkan adanya operasi media sosial yang bertujuan menyebarkan propaganda untuk kedua kandidat, Jokowi dan Prabowo.
Tiga buzzer yang terlibat langsung dalam kampanye media sosial mengaku mengoperasikan ratusan akun dengan identitas yang dipersonalisasi untuk masing-masing kandidat. Meskipun satu tim membantah menyebarkan berita palsu, dua lainnya mengaku tidak peduli dengan keakuratan konten yang mereka sebarkan.
Namun, kedua tim kampanye, baik dari Jokowi maupun Prabowo, membantah menggunakan buzzer politik atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi mereka.
Ross Tapsell, pakar politik dan media dari Universitas Nasional Australia, menyebutkan bahwa mempekerjakan ahli strategi kampanye online dan menggunakan orang-orang untuk menyebarkan konten di media sosial sudah menjadi praktik umum bagi kandidat di Asia Tenggara.
Pola Rekrutmen Buzzer
Proses rekrutmen buzzer dilakukan secara bertahap dengan seleksi berdasarkan aktivitas di media sosial. Akun yang menunjukkan keterlibatan tinggi dalam menyebarkan konten akan melalui serangkaian tahapan sebelum akhirnya terpilih secara resmi.
Berikut adalah pola rekrutmen buzzer yang umum digunakan.
1. Pemantauan Media Sosial
Proses dimulai dengan memantau akun-akun yang aktif di media sosial, terutama yang sering melakukan posting ulang, share, dan like.
2. Gabung Group Chat 1
Akun yang terpantau aktif di media sosial akan dimasukkan ke dalam grup chat pertama, biasanya melalui WhatsApp atau Telegram.
3. Gabung Group Chat 2
Dari grup chat pertama, akun yang paling aktif akan diseleksi kembali dan dipindahkan ke grup chat kedua untuk tahap lebih lanjut.
4. Pertemuan Tatap Muka
Individu dengan akun paling aktif yang telah lolos seleksi di grup chat kedua akan diundang ke pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer. Pada tahap ini, buzzer terpilih secara resmi.
Pola rekrutmen buzzer juga dapat dilakukan melalui agensi atau biro komunikasi. Dalam metode ini, mereka akan memetakan dan mencari akun-akun yang sesuai dengan kebutuhan kampanye.
Selain itu, rekrutmen juga bisa dilakukan secara terbuka dengan mengumumkan lowongan bagi individu yang ingin menjadi buzzer untuk produk atau isu tertentu.
Contoh Strategi Buzzer Politik
Adapun sejumlah contoh strategi yang digunakan oleh buzzer politik yakni sebagai berikut.
1. Penggunaan Tagar dan Percakapan
Peran buzzer politik dan strategi yang dilakukan salah satunya adalah membanjiri media sosial dengan tagar tertentu dan membangun percakapan, baik secara alami maupun terstruktur. Tujuannya yakni guna memancing keterlibatan publik yang lebih luas.
Pada pola yang terstruktur, dua akun atau lebih dikelola buzzer untuk menciptakan debat buatan. Salah satu akun bersikap pro, dan yang lainnya kontra terhadap suatu topik.
2. Pemanfaatan Situs Berita
Konten yang disebarkan oleh buzzer politik sering kali diperkuat dengan tautan ke situs berita tertentu, baik yang kredibel maupun yang dibuat khusus untuk mendukung narasi tertentu.
3. Penyebaran Melalui Jaringan dan Aplikasi Pesan Singkat
Buzzer memanfaatkan jaringan mereka di media sosial dan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram untuk menyebarluaskan informasi secara cepat dan luas.
4. Penggunaan Akun Bot
Akun otomatis (bot) digunakan buzzer politik untuk meningkatkan frekuensi unggahan, membuat topik menjadi tren, dan bahkan memenangkan polling politik.
5. Penyebaran Kampanye Hitam dan Disinformasi
Strategi ini sering kali digunakan untuk menyerang lawan politik dengan menyebarkan berita bohong atau propaganda.
6. Melibatkan Influencer
Beberapa influencer media sosial yang memiliki banyak pengikut juga berperan sebagai buzzer politik karena kemampuannya dalam membentuk opini publik. Kendati demikian, tidak semua influencer dapat dikategorikan sebagai buzzer.
Infografik Apa Sih Buzzer Itu. tirto.id/Fuad
tirto.id - Edusains
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Nisa Hayyu Rahmia, Nisa Hayyu Rahmia & Nisa Hayyu Rahmia