Apa Itu Patriarki dalam Rumah Tangga dan Bagaimana Contohnya?

2 days ago 23

tirto.id - Patriarki dalam rumah tangga sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seiring dengan berkembangnya zaman yang semakin modern, saat ini banyak orang mulai sadar tentang budaya patriarki dan dampak buruknya. Namun, apa itu patriarki dalam rumah tangga?

Istilah patriarki memang bukan hal yang asing dan praktiknya sudah terjadi sejak zaman dulu. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak menyadari dan mengabaikannya karena menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan memang sudah sewajarnya terjadi.

Patriarki erat kaitannya dengan ketidaksetaraan gender karena budaya ini sangat mengutamakan laki-laki. Meski demikian, patriarki tidak selamanya menguntungkan kaum pria. Faktanya, ada sebagian laki-laki yang justru merasa terbebani karena tanggung jawab yang besar dan dituntut untuk selalu lebih baik dari perempuan.

Apa Itu Patriarki dalam Rumah Tangga?

ILustrasi keluargaIlustrasi keluarga. FOTO/

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah sebuah perilaku yang mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan dalam lingkungan masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

Sementara patriarki dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai sistem yang menempatkan laki-laki, khususnya suami atau ayah, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga. Artinya, laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki peran dominan dibanding perempuan.

Dalam sistem patriarki, laki-laki diposisikan sebagai pemimpin, pengambil keputusan, sekaligus penyedia utama kebutuhan ekonomi. Sementara pihak perempuan seperti istri diharapkan tunduk, melayani, dan fokus pada urusan domestik rumah tangga, termasuk mengasuh anak-anak.

Sistem patriarki dalam rumah tangga telah berlangsung lama dan sering dibenarkan melalui norma budaya dan adat istiadat. Itulah kenapa praktik patriarki dianggap wajar dan tidak pernah dipertanyakan, apalagi ditentang.

Padahal, patriarki dalam rumah tangga bisa memiliki dampak negatif tersendiri. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat serta mengambil keputusan dalam berbagai aspek penting dalam rumah tangga, misalnya terkait keuangan dan pendidikan anak-anak.

Ketimpangan ini tidak hanya merugikan perempuan secara mental, tapi juga menghambat hubungan yang sehat dan setara dalam sebuah keluarga. Ironisnya, budaya patriarki ini juga berlaku bagi anak-anak. Anak laki-laki umumnya akan lebih diistimewakan dibandingkan anak perempuan.

Tak hanya itu, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini juga cenderung mewarisi pandangan dan perilaku orang tuanya sehingga siklus patriarki tetap kuat dan ketidakadilan gender terus terjadi dari generasi ke generasi.

Bentuk Patriarki dalam Rumah Tangga

Ilustrasi gender pria dan wanitaIlustrasi gender pria dan wanita FOTO/iStockphoto

Dalam kehidupan sehari-hari, praktik patriarki sudah dianggap sebagai bagian dari tradisi atau aturan rumah tangga yang dianggap normal dan wajar. Padahal, tanpa disadari, praktik ini justru memperkuat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga.

Untuk lebih memahami bagaimana ketimpangan ini terjadi, berikut beberapa contoh patriarki dalam rumah tangga yang masih sering terjadi:

1. Keputusan Utama Diambil oleh Suami

Dalam banyak rumah tangga yang menganut sistem patriarki, suami dianggap sebagai sosok yang memegang kendali penuh atas semua keputusan besar keluarga. Pandangan ini berakar pada anggapan bahwa laki-laki lebih rasional dan cakap dalam mengambil keputusan penting.

Keputusan yang dimaksud bisa mencakup berbagai aspek, seperti keuangan, tempat tinggal, pendidikan anak-anak, atau bahkan hubungan sosial keluarga. Peran istri sering kali hanya sebatas pelaksana keputusan yang telah diambil oleh suami, bukan sebagai partner diskusi yang setara.

2. Peran Gender Tradisional

Patriarki dalam rumah tangga menciptakan adanya peran gender tradisional. Sistem ini menetapkan bahwa istri bertanggung jawab penuh atas semua urusan domestik, misalnya memasak, membersihkan rumah, mengurus anak, hingga merawat dan melayani suami.

Sementara itu, suami berperan sebagai pencari nafkah. Seorang suami biasanya jarang atau bahkan tidak pernah terlibat dalam pekerjaan rumah tangga maupun pengasuhan anak. Bahkan, sosok laki-laki umumnya dilarang untuk terlibat dalam urusan domestik karena dianggap melanggar kodratnya sebagai seorang pria.

3. Ketimpangan dalam Akses Finansial

Dalam struktur patriarki, kendali atas keuangan keluarga biasanya dipegang penuh oleh pihak suami. Istri harus meminta uang kepada suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau pribadinya yang menciptakan ketergantungan dan melemahkan posisi istri dalam keluarga.

Hal ini justru membuka peluang terjadinya kekerasan ekonomi. Dalam beberapa kasus, seorang istri dikendalikan secara penuh dengan cara dibatasi aksesnya terhadap uang dan sumber daya lain. Akibatnya, ia menjadi sangat bergantung pada suami dan sulit keluar dari hubungan rumah tangga yang tidak sehat.

4. Pengabaian terhadap Pendapat dan Keinginan Istri

Dalam sistem patriarki, istri atau perempuan benar-benar harus tunduk pada laki-laki yang dianggap superior dan lebih berhak menentukan arah rumah tangga. Itulah sebabnya pemikiran dan pendapat seorang istri sering tidak diperhatikan dan dianggap tidak penting.

Saat istri menyampaikan gagasan, kebutuhan, atau keinginan (misalnya tentang pola asuh anak, pekerjaan, atau kebutuhan pribadi) hal tersebut kerap diabaikan, disepelekan, atau mungkin akan ditertawakan oleh suami patriarki.

5. Pendidikan Anak yang Bias Gender

Dalam pola patriarki, anak laki-laki dan perempuan sering mendapatkan perlakuan yang berbeda sejak kecil. Anak laki-laki didorong untuk aktif, mandiri, serta mengejar prestasi dan cita-citanya. Sementara anak perempuan dibesarkan untuk menjadi sosok yang penurut, lembut, dan pandai menangani urusan domestik agar kelak menjadi istri atau ibu yang baik.

Bias ini tidak hanya membatasi potensi anak perempuan, tapi juga menekan anak laki-laki untuk selalu kuat dan tidak menunjukkan emosi. Akibatnya, baik anak laki-laki maupun perempuan akan tumbuh tanpa kesempatan yang seimbang untuk mengeksplorasi diri.

Contoh Pengaruh Budaya Patriarki dalam Rumah Tangga

Ilustrasi Dampak PatriarkiIlustrasi Dampak Patriarki. foto/Istockphoto

Budaya patriarki telah lama mengakar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah rumah tangga. Meskipun tidak selalu disadari, pengaruh patriarki dapat menciptakan beberapa dampak negatif tersendiri. Berikut beberapa contoh konkret dampak patriarki dalam rumah tangga:

1. Ketidaksetaraan Gender

Patriarki menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dalam rumah tangga, sedangkan perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk atau patuh. Hal ini menciptakan ketimpangan peran dan tanggung jawab antara suami dan istri.

Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk membuat keputusan penting, baik untuk urusan keluarga maupun kehidupan pribadinya. Ketidaksetaraan ini akan menghambat perkembangan diri perempuan sekaligus memupuk budaya diskriminatif dalam jangka panjang.

2. Beban Ganda bagi Istri yang Bekerja

Kondisi ekonomi kerap memaksa pihak istri untuk ikut mencari nafkah. Meski demikian, ada pula keluarga penganut patriarki yang memperbolehkan seorang istri untuk bekerja atas keinginan pribadi, bukan desakan ekonomi.

Namun, istri yang hidup dalam keluarga patriarkal dan diizinkan bekerja tetap dianggap sebagai penanggung jawab utama urusan domestik seperti mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, dan lain sebagainya.

Akibatnya, banyak istri yang akhirnya mengalami beban ganda, yaitu harus profesional di tempat kerja sekaligus mengurus rumah tangga tanpa dukungan yang cukup dari pasangan.

Beban ganda ini bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik maupun mental perempuan. Waktu istirahat yang minim, stres yang terus-menerus, serta tekanan dari dua dunia (rumah dan tempat kerja) membuat perempuan lebih rentan mengalami kelelahan kronis dan gangguan emosional.

3. Potensi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekuasaan yang terlalu besar di tangan suami dapat membuka peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ketika perempuan dianggap lebih rendah atau tidak memiliki hak untuk melawan, maka tindakan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun psikologis, lebih mudah terjadi dan sulit untuk dicegah.

KDRT seringkali disamarkan sebagai bentuk pendisiplinan atau hak suami atas istri. Akibatnya, banyak perempuan merasa tidak berdaya untuk melawan, bahkan tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban karena kekerasan dari suami dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

4. Rusaknya Kesehatan Mental

Patriarki dalam rumah tangga berpotensi menghancurkan kesehatan mental, terutama bagi perempuan. Seorang perempuan dituntut untuk tampil sempurna sebagai istri, ibu, dan pekerja (jika bekerja) tanpa ruang untuk beristirahat atau berekspresi secara bebas.

Hal ini membuat banyak istri/perempuan mengalami stres, kecemasan, atau bahkan depresi. Namun, rusaknya kesehatan mental juga bisa dialami oleh pihak suami.

Sosok laki-laki juga dituntut harus selalu kuat, tegar, bahkan dilarang menunjukkan sisi lemah dan sensitifnya. Itulah kenapa kaum pria sering dilarang untuk menangis karena hal itu dianggap tabu dan bisa mengoyak harga dirinya.

Ditambah dengan beban tanggung jawab untuk menopang keluarga, seorang laki-laki pun rentan terhadap stres dan depresi.

5. Warisan Patriarki pada Anak

Anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga patriarki cenderung menyerap nilai-nilai yang menormalisasi ketimpangan gender. Anak laki-laki bisa mencontoh pola otoriter, tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka berhak mengatur atau mengontrol perempuan.

Begitu pula dengan anak perempuan yang akhirnya tumbuh menjadi sosok yang lemah, tidak berdaya, merasa harus tunduk pada laki-laki, dan merasa tidak layak untuk bermimpi besar.

Pada akhirnya, sifat patriarki dalam rumah tangga ini akan dibawa oleh anak-anak tersebut hingga dewasa sehingga rantai patriarki semakin sulit untuk diputus.

6. Rendahnya Kualitas Hubungan Anggota Keluarga

Patriarki tidak mengenal kesetaraan gender, komunikasi cenderung bersifat satu arah, dan minim empati adalah sesuatu yang biasa. Pola inilah yang kemudian menciptakan jarak emosional antar anggota keluarga. Hubungan yang seharusnya hangat dan suportif malah menjadi kaku dan penuh tekanan.

Demikian penjelasan tentang patriarki dalam rumah tangga beserta contoh dan dampaknya. Dengan memahami budaya patriarki dan pengaruhnyai, kita dapat lebih kritis dan berupaya menciptakan hubungan yang lebih setara.

Perubahan memang tidak dapat terjadi secara instan, tapi melalui kesadaran bersama, dialog, dan pikiran yang terbuka, kita bisa membangun lingkungan rumah tangga yang saling menghargai dan mendukung tanpa dominasi satu pihak atas pihak yang lain.


tirto.id - Edusains

Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |