Apakah Naturalisasi Pemain Timnas Indonesia Mulai Kebablasan?

2 days ago 20

tirto.id - DPR RI mengesahkan proses naturalisasi tiga orang yang akan menjadi penggawa Tim Sepak Bola Nasional (Timnas) Indonesia. Pada Kamis (5/3/2025), tiga pemain diaspora, yakni Dean James, Emil Audero, dan Joey Pelupessy resmi menjadi warga negara Indonesia (WNI).

Resminya Dean, Emil, dan Joey menjadi WNI menambah panjang daftar pemain diaspora dalam Skuad Garuda. Berdasar catatan Tirto, ditambah tiga pemain diaspora baru, sudah ada lebih dari 22 pemain diaspora yang resmi menjadi WNI antara 2022-2025.

Total pemain hasil naturalisasi tersebut hampir memenuhi jumlah untuk membentuk satu skuad penuh, 23 pemain. Adapun pemain-pemain diaspora yang melalui naturalisasi utnuk menjadi WNI adalah sebagai berikut:

1. Jordi Amat dan Sandy Walsh (WNI 17 November 2022);

2. Shayne Pattynama (24 Januari 2023);

3. Rafael Struick dan Ivar Jenner (22 Mei 2023);

4. Justin Hubner (6 Desember 2023);

5. Jay Idzes (28 Desember 2023);

6. Nathan Tjoe-A-On (12 Maret 2024);

7. Ragnar Oratmangoen dan Thom Haye(18 Maret 2024);

8. Maarten Paes (30 April 2024);

9. Calvin Verdonk (5 Juni 2024);

10. Jens Raven (27 Juni 2024);

11. Mees Hilgers dan Eliano Reijnders (30 September 2024);

12. Kevin Diks (8 November 2024);

13. Ole Romeny, Tim Geypens, dan Dion Markx (9 Februari 2025).

Terdapat pula nama-nama seperti Marc Klok, Ilija Spasojevic, Alberto Goncalves dan Fabiano Beltrame. Empat nama tersebut masih aktif bermain dan merupakan pemain murni naturalisasi (tidak memiliki darah keturunan Indonesia), sehingga mungkin dipanggil ke Timnas. Meski selain Klok, tiga pemain lainnya sudah berada di pengujung kariernya sebagai pemain sepak bola.

Pro dan kontra terkait keberadaan pemain keturunan yang kian membanjiri Skuad Garuda ini menjadi topik perdebatan yang terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir.

Di satu sisi, datangnya pemain-pemain ini berbanding lurus dengan pencapaian manis timnas. Lolos ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia zona Asia jadi salah satu prestasi yang paling menonjol.

Tidak hanya meramaikan kompetisi, Indonesia masih punya peluang cukup besar untuk mewujudkan mimpi bermain di Piala Dunia. Dari enam kali main, Indonesia mengumpulkan enam poin, hasil satu kali menang dan tiga kali imbang. Di grup dengan lawan-lawan berat, yakni Jepang, Australia, Arab Saudi, Bahrain, dan China. Hasil ini tentu sangat memuaskan.

Tidak hanya itu, Timnas Merah-Putih juga menjadi perhatian dunia. Menempati peringkat 129 di ranking FIFA (federasi sepak bola dunia), Indonesia menjadi kuda hitam. Sejumlah media internasional menanti kejutan Indonesia dan bertanya-tanya, “Akankah Indonesia menjadi negara dengan peringkat FIFA terendah yang menembus Piala Dunia?”

Di sisi lain, Sebagian publik merasa penggunaan pemain diaspora besar-besaran menghambat perkembangan pemain muda Indonesia. Salah satu kritikus yang paling vokal terhadap hal ini adalah Pengamat Tommy Welly atau yang lebih dikenal sebagai Bung Towel.

Anggota Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, olahraga, sains, dan teknologi, juga ada yang beranggapan komposisi pemain Timnas saat ini tidak ideal. Dominasi pemain diaspora dianggap menyingkirkan pemain asli Indonesia.

“Kecuali Marselino Ferdinan ya, Hokky Caraka sudah jarang ditampilkan kemudian juga Witan, kemudian juga Pratama Arhan. Mudah-mudahan peran Rizky Ridho itu tetap,” ucap Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad Alaydrus, dalam rapat kerja dengan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), 4 Februari 2025.

Proses Naturalisasi ke Timnas Mulai Kebablasan

Menanggapi tambahan tiga amunisi pemain diaspora, beberapa pengamat mulai mempertanyakan urgensinya.

Pengamat Sepak Bola Nasional, Haris Pardede, menyebut proses adaptasi di Timnas akan sangat sulit bagi pemain-pemain yang baru bergabung juga bagi tim secara keseluruhan. "Karena beda dengan di klub, kalau ada pemain baru dan dia main dalam hitungan minggu, setiap hari dia bisa adaptasi dan main terus, kalau ini kan enggak," kepada Tirto, Kamis (6/3/2024).

Pemilik kanal YouTube @BungHarpa ini mengambil contoh tiga pemain yang baru menyelesaikan proses naturalisasi Februari lalu. "Nanti tiba-tiba H-3 dia sampai Australia langsung main. Nah, itu kan susah," tuturnya. Dia juga mengingatkan Timnas Garuda baru memiliki pelatih baru yakni Patrick Kluivert yang juga memerlukan proses adaptasi.

“Jadi tantangannya itu. Jadi ya memang udah agak kebablasan dan juga secara teknikal di lapangan itu challenging untuk menyatukan pemain-pemain baru yang terus berdatangan,” ujarnya.

Apalagi menurut Harpa, gelombang penambahan pemain diaspora tampaknya masih akan terus berlanjut. Berdasar informasi yang dia himpun, bulan Mei nanti akan ada lebih dari satu pemain yang bakal melewati proses naturalisasi untuk masuk ke Timnas.

Sepaham, Rossi Finza Noor, Pandit dari Box2Box Football Podcast juga melihat hal ini naturalisasi yang dilakukan mulai kebablasan. Menurut dia naturalisasi seharusnya dilihat sebagai puncak gunung es. Pengelolaan liga, kualitas kompetisi, dan pembinaan yang menjadi dasarnya.

"Tentu saja, kita tidak bisa melarang misalkan ada pemain diaspora dengan darah Indonesia memang ingin membela Indonesia. Namun, saya berpendapat bahwa prosesnya, ketika kompetisi lokal belum terlalu serius untuk dibenahi atau dirapikan, masih layak untuk disorot,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (6/3/2025).

Dia menambahkan, pengambilan pemain diaspora secara jor-joran mengesankan upaya jangka PSSI dalam mengejar target masuk Piala Dunia. Mendatangkan pemain diaspora lewat naturalisasi menjadi cara instan meningkatkan kualitas teknik pemain, mengingat peluang lolos masuk Piala Dunia ada di depan mata.

"Kendatipun kubu PSSI, lewat Erick Thohir dan Arya Sinulingga, sudah meralat bahwa target lolos Piala Dunia bukanlah untuk Piala Dunia 2026, tetap saja kebijakan ini terlihat seperti quick fix–lebih terlihat dampak jangka pendeknya, ketimbang jangka panjangnya. Jika bicara jangka panjang, tentu saja kita harus bicara soal road map sepak bola nasional," tambah dia.

Perbaikan Timnas Harus dari Dasar

Timnas Indonesia U-20 lawan YordaniaPesepak bola Timnas Indonesia U-20 berfoto bersama sebeum bertanding melawan Timnas Yordania U-20 dalam Mandiri U-20 Challenge Series 2025 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (24/1/2025). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/sgd/tom.

Sementara itu menurut Harpa proses naturalisasi pemain diaspora dalam skala tertentu memberi dampak positif, termasuk untuk jangka panjang. Namun, perlu proses seleksi yang lebih ketat untuk mendapat pemain yang memang berkualitas dan bisa memberikan transfer ilmu.

Dia memisalkan Jay Idzes, pemain belakang dari klub Serie A, Venezia, ini contoh yang paling ideal. Secara penampilan di lapangan dia memberi kontribusi yang langsung terlihat. Di sisi lain dia juga memberi kebanggaan karena bermain di salah satu liga terbesar di dunia.

"Dan kita tahu banget, dia mentornya Rizky Ridho kan. Kalau kita ingat antara September-November itu kan ada enam pertandingan, penampilan Ridho--sadar atau tidak--kan jadi bagus. Saya yakin ada pengaruhnya," ujar dia.

Namun menurut dia, memang PSSI sebagai federasi yang memayungi sepak bola Indonesia perlu punya batasan terkait naturalisasi pemain. "Dalam takaran tertentu ini bagus, sama seperti obat. Sepak bola kita waktu itu lagi sakit, jadi dikasih obat. Tapi gak bisa kita minum obat itu terus, kita perlu punya antibodi sendiri kan," ujarnya memberi perumpamaan.

Kompetisi liga sepak bola, dari Liga 1 sampai Liga 4 adalah solusi jangka panjang untuk menjaga Timnas yang selalu ‘sehat’ menurut dia. Dia pun yakin PSSI telah berupaya melakukan sesuatu terkait penguatan liga lokal, meski dia mengaku belum melihat hasilnya sejauh ini.

Di sisi lain, menurut Rossi, publik perlu skeptis terhadap kebijakan PSSI. "Mengapa harus jor-joran naturalisasi? Mengapa harus ada kebutuhan cepat berprestasi ketika dasar-dasar sepak bola nasional belum cukup dibenahi (termasuk juga perbaikan kualitas pemain dan liga lokal)? Mengapa harus quick fix tim nasional? Apa yang hendak disasar dari pemangku kebijakan?" ujarnya skeptis.

Padahal menurut dia pemangku kebijakan di PSSI saat ini punya peluang membuat warisan yang bagus jika ingin membentuk fondasi masa depan sepak bola nasional. Baik Rossi maupun Harpa menekankan hal ini.

“Ketika kita tertinggal, mengapa kita memilih untuk melompati anak tangga alih-alih membenahi dasar?” ujar Rossi lagi.


tirto.id - Olahraga

Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Rina Nurjanah

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |