Aroma Sangit Dwifungsi dalam Utak-atik Aturan & Revisi UU TNI

7 hours ago 7

tirto.id - Pemerintah belakangan semakin kencang menggalang berbagai strategi untuk meredam kritik masyarakat sipil terhadap tanda-tanda kembalinya dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satunya dengan melakukan perombakan aturan supaya perwira TNI aktif memiliki landasan hukum untuk bertengger di pos-pos sipil.

Cara itu terbaca dalam upaya memuluskan karier Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) dan Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya yang menjabat Dirut Perum Bulog.

Penunjukan Novi dan Teddy sebelumnya memang dicecar kelompok masyarakat sipil lantaran melanggar UU TNI. Keduanya seharusnya mundur dari TNI jika ingin bertengger di jabatan sipil, seperti kementerian/lembaga atau BUMN. Dilalah, posisi mereka di jabatan sipil justru diperkuat dengan terbitnya aturan-aturan baru.

Sebelum ditunjuk menjadi Dirut Perum Bulog, Mayjen Novi menjabat sebagai Danjen Akademi TNI. Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, kemudian menerbitkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/333/III/2025 tentang pemberhentian dan pengangkatan jabatan di tubuh TNI pada 14 Maret 2025.

Panglima TNI merotasi dan memutasi 86 perwira tinggi TNI dari tiga matra, termasuk Mayjen Novi yang dimutasi menjadi Staf Khusus Panglima TNI untuk penugasan Dirut Perum Bulog. Dengan statusnya kini, Novi mendapatkan legitimasi kuat untuk menduduki jabatan di Bulog.

Karier Letkol Teddy lebih moncer lagi sebab Presiden Prabowo Subianto berperan dalam melegitimasi posisinya sebagai Seskab. Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 148/2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara.

Jika Seskab sebelumnya langsung di bawah Presiden RI, Perpres itu mengubahnya menjadi di bawah Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres). Seturut Pasal 47 UU TNI, Sesmilpres merupakan satu dari 10 kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif. Dengan demikian, Teddy beroleh legitimasi untuk tak perlu mundur dari TNI.

Revisi UU TNI

Ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai utak-atik aturan itu memang sengaja dilakukan untuk melegitimasi kekeliruan dalam penunjukan prajurit TNI aktif di jabatan sipil.

Hal itu merupakan bentuk dari otokratik legislasi yang menggunakan perangkat hukum dalam memberikan stempel hanya untuk kepentingan kekuasaan otoritarian. Akrobat perombakan aturan dalam memuluskan karier Teddy dan Novi sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini memang tengah mendorong kembalinya dwifungsi TNI.

“Itu memang sengaja dicarikan legitimasi seolah-olah keputusan legitimate. Pengangkatan Teddy dan Novi itu awalnya jelas bertentangan dengan UU TNI. Artinya, justru akal-akalan itu menunjukkan pemerintah atau Prabowo keliru dalam penempatan mereka,” ucap Herdiansyah kepada wartawan Tirto, Senin (17/3/2025).

Kekhawatiran itu semakin nyata dengan dikebutnya pembahasan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah. Pasalnya, draf revisi UU TNI masih memuat pasal-pasal bermasalah, seperti perluasan cakupan tugas operasi militer selain perang, bertambahnya kementerian/lembaga yang bisa dijabat prajurit aktif, hingga perpanjangan batasan usia dinas prajurit aktif.

Menurut Herdiansyah, penempatan prajurit aktif di pos-pos sipil yang sudah terjadi sejak era pemerintahan Joko Widodo menjadi semakin buruk kini. Berdasarkan catatan Imparsial, ada sekitar 2.500 prajurit TNI aktif yang mengisi jabatan sipil hingga 2023. Angka tersebut kemungkinan saat ini bisa bertambah gendut.

“Fenomena dwifungsi TNI dan tandanya sudah sangat besar,” ujar Herdiansyah.

Pemerintah memang berencana menambah daftar kementerian/lembaga yang dapat dijabat oleh prajurit TNI aktif, dari 10 pos sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI menjadi 15 pos.

Pos-pos sipil yang semula boleh diisi TNI aktif di antaranya koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.

Lalu, draf revisi UU TNI menambahkan lima kementerian/lembaga lagi, yakni Kelautan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

Belakangan, Komisi I DPR RI bahkan berencana menambahkan satu lembaga lagi, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), sehingga totalnya menjadi 16 kementerian/lembaga.

“Yang pertama itu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 itu ada 10 [jabatan]. Kemudian, muncul dalam revisi itu ada lima jabatan. Sekarang, ada ditambah satu, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP),” kata anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, di sela-sela Rapat Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2024).

Peneliti bidang hukum dari The Indonesian Institute, Christina Clarissa Intania, menilai bahwa usulan agar TNI dapat mengisi beberapa jabatan sipil baru itu berlawanan dengan semangat Reformasi 1998. Jika usul memperluas kesempatan TNI menjabat jabatan sipil disetujui, itu mencerminkan keberhasilan TNI mengembalikan posisinya dalam pemerintahan secara perlahan-lahan.

“Tidak lagi secara senyap, tetapi sekarang dengan mengambil langkah legalitas melalui undang-undang. Undang-undang jika disalahgunakan bisa menjadi alat untuk menguntungkan beberapa pihak saja atau mengakomodir kepentingan politik tertentu,” kata Christina dalam keterangannya, Senin (17/3/2025).

Menurut Christina, hal itu dilakukan tanpa pelibatan publik yang bermakna. Pemerintah dan DPR pun hanya mengulang praktik revisi UU lain, seperti saat merevisi UU Minerba hingga UU Cipta Kerja.

Christina menambahkan bahwa kebijakan itu jelas tidak memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi. Para politisi di Senayan dan pemerintahan, kata Christina, bisa saja berucap bahwa kehadiran TNI aktif di jabatan sipil tidak akan mengembalikan rezim dwifungsi ABRI. Namun, itu hanya omong kosong karena tak ada jaminan apa pun yang mengiringinya.

“Lampu hijau yang diberikan oleh Presiden Prabowo dan divalidasi oleh kabinetnya [justru] memberikan citra bahwa prajurit aktif boleh dan akan kembali lagi dalam pemerintah,” terang Christina.

Menurut Christina, upaya perluasan jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI aktif harus dihentikan. Pemerintah dan seluruh masyarakat seharusnya memutar otak untuk semakin baik menjaga marwah demokrasi, bukan justru mengompromikannya secara licik.

Jalan Lapang Dwifungsi

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa draf revisi UU TNI masih kental oleh pasal bermasalah yang berpotensi melahirkan dwifungsi TNI hingga memperkokoh militerisme di Indonesia. Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa revisi UU TNI tidak mendesak karena UU TNI Nomor 34/2004 masih relevan digunakan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini terdiri dari beberapa lembaga sipil, seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, dan lain-lain.

Salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Julius Ibrani, menilai bahwa substansi revisi UU TNI bermasalah karena memuat perluasan jabatan sipil yang bisa diisi prajurit aktif. Di antaranya adalah posisi di Kejaksaan Agung serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurutnya, itu tidak tepat dan bentuk nyata dari praktik dwifungsi TNI.

Penempatan TNI aktif di Kejaksaan Agung tidaklah tepat karena TNI sejatinya adalah alat pertahanan negara, bukan aparat penegak hukum.

“Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu,” ujar Julius kepada Tirto, Senin (17/3/2025).

Julius menjelaskan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil pun mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung. Jabatan itu semestinya tidak perlu dipermanenkan di Kejagung karena hanya menangani perkara koneksitas.

Untuk kepentingan koneksitas, kata Julius, masih bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc. Lagi pula, peradilan koneksitas selama ini bermasalah karena sering menjadi sarana impunitas. Peradilan koneksitas pun seharusnya ditiadakan karena militer maupun sipil yang terlibat tindak pidana umum semestinya tunduk dalam peradilan umum.

Selain itu, draf revisi UU TNI memuat penambahan tugas operasi militer selain perang, di antaranya menangani masalah narkotika. Koalisi Masyarakat Sipil menilai perluasan itu berlebihan karena rawan praktik war model dan bukan criminal justice system model.

“Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara,” sambung Julius.

Sebelumnya, Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menegaskan bahwa TNI menjunjung tinggi supremasi sipil dalam tata kelola penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga. Dalihnya, perluasan jabatan di kementerian/lembaga dilakukan untuk kebutuhan menghadapi ancaman nonmiliter.

Agus pun menjamin bahwa seluruh prajuritnya akan tetap bekerja secara profesional di manapun mereka ditempatkan.

Agus juga menjelaskan bahwa UU TNI yang telah diundangkan sejak 2004 tidak lagi relevan dengan kondisi dan tantangan kekinian. Menurutnya, terdapat sejumlah kebutuhan yang mendesak di masyarakat agar ada perluasan fungsi TNI di sektor jabatan dan masa usia pensiun prajurit.

“TNI memandang bahwa prinsip supremasi sipil adalah elemen fundamental negara demokrasi yang harus dijaga dengan memastikan adanya pemisahan yang jelas antara militer dan sipil,” kata Agus dalam keterangannya dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan agenda pembahasan Revisi Undang-Undang TNI, pada Kamis (13/3/2025).


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |