Bom Waktu Lingkungan dari Limbah Sisa Pangan yang Tak Dimitigasi

12 hours ago 7

tirto.id - Sampah pangan terus membanjiri tempat pembuangan di Tanah Air. Konsistensinya dalam menguasai komposisi timbulan sampah bukan prestasi baik, melainkan alarm darurat bagi pemerintah dan rakyat. Terlebih, Ramadhan juga umumnya jadi momen menggunungnya sampah sisa makanan.

Persoalan ini sempat disinggung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, baru-baru ini. Dia menjelaskan bahwa sebagian besar sampah sisa makanan atau food waste berakhir di tempat pemrosesan akhir (TPA).

"Indonesia masih terlalu sembrono di dalam mengelola makanannya. 39,87 persen atau mungkin hampir 20 juta ton itu merupakan sampah sampah sisa makanan kita," ucap Hanif, Sabtu (15/3/2025).

Jumlah itu merujuk pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup. SIPSN juga mencatat timbulan sampah dari 303 kabupaten/kota sepanjang 2024 totalnya mencapai 32,8 juta ton. Dari jumlah itu komposisi paling dominan adalah sampah sisa makanan.

Kemudian, itu disusul sampah plastik dengan sumbangan timbulan sampah 19,54 persen dari total nasional. Sisanya terdapat sampah organik kayu atau ranting (12,71 persen) dan kertas/karton (11,09 persen). Ada pula jenis sampah logam, kain, karet, kaca dan beragam jenis lainnya.

Masalahnya, bukan hanya tahun lalu saja limbah makanan menjadi komposisi mayoritas dalam timbunan sampah di Indonesia. Sampah sisa makanan rupanya telah menjadi dominan selama tujuh tahun belakangan alias sejak 2018. Persentasenya pun tak pernah turun signifikan, yakni di kisaran 38-40 persen.

Di aras Asia Tenggara, Indonesia bahkan menjadi negara penghasil sampah makanan terbanyak. Laporan Food Waste Index Report 2024 yang disusun oleh United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan bahwa total sampah makanan yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya menyentuh 14,73 juta ton.

Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding negara-negara tetangga, seperti Thailand (6,18 juta ton), Myanmar (4,22 juta ton), dan Filipina (2,95 juta ton). Sementara itu, sampah makanan per kapita di Indonesia sendiri mencapai 53 kg per kapita per tahun.

Tingginya Limbah Sisa Makanan

Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar, menilai bahwa besarnya volume sampah makanan di Indonesia tak cuman perkara di level konsumsi. Kata Ghofar, menggunungnya sampah sisa makanan juga bermula dari proses sebelumnya yang juga tinggi.

“Kalau di sistem pangan, itu istilahnya sustainable consumption and production itu, sisa makanannya tinggi karena di proses sebelumnya juga tinggi. Makanya istilah pemerintah enggak hanya bilang sisa makanan atau food waste, tapi dia biasanya tambahin ada FLFW, namanya food loss and food waste,” ungkap Ghofar ketika dihubungi Tirto, Selasa (18/3/2025).

Itu artinya sampah hasil makanan sudah tercipta sejak proses pascapanen atau post-harvesting, penyimpanan, distribusi, hingga konsumsi.

“Lalu, paling mudah dilihat pola konsumsi kita. Saat kita makan atau membeli sesuatu, terus kita masak, kita makan atau makan di tempat-tempat tertentu, orang cenderung menyisakan makanan. Jadi, kebiasaan menyisakan makanan ini jadi penyebab, selain food loss,” lanjut Ghofar.

Menurut Ghofar, tren volume sampah organik di perkotaan sebenarnya menunjukkan angka yang lebih rendah ketimbang di kabupaten. Jika di kabupaten berada di rentang 50-60 persen, di perkotaan umumnya 40-50 persen.

Salah satu faktornya adalah tren konsumsi di perkotaan yang cenderung pada kemasan atau plastik sehingga limbah plastik dari kemasan makanan lebih tinggi. Pola konsumsi di perkotaan juga disebut Ghofar lebih banyak membeli barang.

Hal yang menjadi masalah selain tren sampah sisa makanan yang terus meningkat adalah adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurut Ghofar, program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu juga berpotensi menyebabkan peningkatan timbulan sampah.

“Jadi, potensi timbulan sampah meningkat, potensi emisi gas rumah kaca meningkat, potensi memperburuk tata kelola sampah di daerah, di sekolah-sekolah juga meningkat. Karena, MBG ini kasih dana cuma untuk makanan, tapi treatment pengolahan sampahnya gak ada, misalnya, rumah komposkah dan lain sebagainya,” ungkap Ghofar.

Menurut Ghofar, pemerintah sempat menyampaikan bahwa daerah nanti akan menyiapkan alokasi anggaran MBG yang dikhususkan untuk externality cost atau biaya-biaya dampak atas pelaksanaan program, tapi hingga kini belum ada.

Dampak Berlapis

Di Indonesia, sampah organik belum diperhitungkan sebagai masalah lingkungan. Menurut Ghofar, sebagian besar orang pun masih berfokus pada sampah plastik. Padahal, sampah sisa makanan tidak kalah merusak.

Maka tanpa mitigasi yang memadai, ia bisa menjadi bom waktu.

Ghofar menjelaskan bahwa dampak sampah makanan mencakup tiga aspek penting, yaitu ekonomi, lingkungan, dan kesehatan.

“Contohnya MBG aja. Di dampak lingkungan itu, hitung emisi dulu deh. Jadi, kalau organik itu biasanya per 1 ton sampah organik, itu menghasilkan emisi sepertiganya alias 0,3 ton karbon dioksida ekuivalen,” kata Ghofar.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sampah sisa makanan tentu turut berkontribusi pada krisis iklim. Selain itu, sampah sisa makanan melepaskan zat emisi lain yang bisa mencemari lingkungan, seperti gas metana atau ammonia.

“Itu nanti jadinya kayak pencemaran. Bau tidak sedap, terus nanti air lindi [air rembesan sampah yang tercampur air hujan], terus juga bikin sungai berubah warna, terus nanti ada kontaminasi,” ungkap Ghofar.

Lalu, dampak kesehatan dari timbunan sampah sisa makanan adalah ia menjadi sarang kuman penyakit. Jika dibiarkan dalam waktu lama, ia akan memunculkan penyakit-penyakit yang lebih parah, misal infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau menimbulkan zat karsinogenik yang menyebabkan kanker.

Upaya mitigasi dan pencegahan ekses sampah sisa makanan memerlukan hierarki pengolahan sampah. Tingkatan itu meliputi 3 langkah, yakni waste prevention, lalu waste reduction, dan kemudian waste treatment atau waste handling.

“Nah, untuk sampah sisa makanan atau organik itu alurnya tetap sama. Harusnya pemerintah yang punya wewenang untuk pengaturan regulasi, pertama ya dorong waste prevention dulu,” kata Ghofar.

Selanjutnya, upaya waste reduction bisa mengadopsi metode pengurangan sampah plastik. Ia pun bisa dimulai dari level rumah tangga. Misalnya, masyarakat didorong untuk mengatur menu makanannya dengan pola first in first out (barang yang masuk lebih dulu juga akan dikeluarkan lebih dulu).

Zero Waste Campaigner Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, sepakat soal hierarki dalam mitigasi sampah makanan. Dari sisi edukasi, dia mengungkapkan perlunya peningkatan awareness terkait pentingnya menghabiskan makanan.

“Sebelum sampai sana, kita perlu tahu mau masak apa, apa yang dibutuhkan dan sebagainya. Kadang, masalah kita adalah ketika masak atau beli makanan mikirnya bukan cukup atau gak cukup, tapi misalnya takut kurang,” kata Ibar kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).

Menurut Ibar, pendekatan pengelolaan sampah di Indonesia belum sampai pada tataran untuk fokus ke sampah organik. Masyarakat memang sudah diminta untuk memilah sampah, tetapi belum ada infrastruktur yang memadai untuk langkah pengolahan sampah selanjutnya.

Oleh karena itu, selain aksi kolektif di level komunitas, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur tata kelola sampah organik, utamanya sampah sisa makanan, agar dampak buruknya bisa dimitigasi.


tirto.id - News

Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |