Coretax Kacau, tapi Kenapa Tak Dibahas dalam APBN KiTa?

1 day ago 10

tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja melaporkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Februari 2025 pada Kamis (13/3/2025). Itu dilakukan setelah sebelumnya sama sekali tak memaparkan APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) Januari. Pada paparan yang berlangsung sekitar 3 jam itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, melaporkan mulai dari asumsi makro yang digunakan untuk menyusun APBN 2025 dan juga asumsi makro sampai dengan Februari 2025.

Kemudian, Menkeu melanjutkan pemaparan realisasi APBN Februari, termasuk secara singkat mengumumkan tentang pendapatan dan belanja negara, realisasi pembiayaan, keseimbangan primer, hingga defisit APBN Februari.

Tak lupa, Sri Mulyani juga memaparkan tentang kondisi ekonomi dan geopolitik global yang sampai saat ini dipenuhi ketidakpastian imbas kebijakan perang dagang Amerika Serikat (AS), penurunan harga berbagai komoditas global, hingga disrupsi luar biasa pada aktivitas manufaktur global.

“Nah, sekarang saya mulai masuk kepada APBN-nya, ya. Dalam hal ini, dibagi tiga seperti biasa, Pak Sua untuk belanja negara, Pak Anggito penerimaan, dan Pak Tommy untuk pembiayaan,” kata Sri Mulyani seraya mempersilakan Wakil Menkeu, Suahasil Nazara, untuk melanjutkan paparan terkait realisasi belanja negara sampai Februari, dikutip Senin (17/3/2025).

Dalam paparannya, Suahasil menekankan bahwa belanja negara di awal 2025 tak bisa lepas dari kebijakan efisiensi yang diamanatkan Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Rangka Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Belanja negara, kata Suahasil, direalisasikan hanya untuk program prioritas nasional, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG), hingga untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

“Jadi, efisiensinya adalah lebih banyak di belanja-belanja birokrasinya, bukan di perlindungan sosialnya,” tegas Suahasil.

Sementara itu, Wamenkeu, Anggito Abimanyu, mengakui bahwa ada koreksi yang terjadi pada realisasi pendapatan negara Februari. Jika dirinci, penerimaan perpajakan sampai akhir Februari tercatat Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp2.490 triliun.

Rinciannya, penerimaan pajak hanya senilai Rp187,8 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai hanya sebesar Rp52,6 triliun.

Realisasi penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai tersebut turun signifikan dibanding realisasi Februari 2024, yang masing-masing sebesar Rp269,02 triliun dan Rp51,5 triliun.

Turunnya penerimaan pajak Februari 2025 tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, akibat harga komoditas utama, seperti batu bara yang anjlok 11,8 persen, minyak Brent turun 5,2 persen, dan nikel turun 5,9 persen.

Kedua, karena masalah administrasi yang salah satunya disebab penerapan kebijakan tarif efektif rata-Rata (TER) pada skema penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi karyawan. Kemudian, ada pula kebijakan relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) Januari yang bisa disetorkan hingga 10 maret 2025.

“Jadi, ada kebijakan yang baru saja pertama kali dilaksanakan tahun 2024 yang namanya TER untuk PPh [Pasal] 21. Kalau menghitung cash, memang menurun. Tapi, [penurunan penerimaan pajak] ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilakukan pada tahun 2024,” jelas Anggito.

Sedangkan, penerimaan kepabeanan dan cukai dilaporkan turun karena ada koreksi pada bea masuk sebesar 4,6 persen menjadi Rp7,6 triliun serta penerimaan cukai yang sampai dengan Februari 2025 turun 2,7 persen menjadi Rp39,6 triliun.

“Pada 2025, kami tidak menerapkan kenaikan tarif cukai pada pembelian pita cukai yang biasanya cukup tinggi pada waktu pemerintah mengumumkan adanya kenaikan tarif cukai. Kemudian, untuk [cukai] MMEA [minuman mengandung etil alkohol] turun sedikit karena faktor produksi MMEA,” terang Anggito.

Sementara itu, meski 2025 masih berjalan dua bulan, realisasi pembiayaan utang telah mencapai Rp224,3 triliun atau 28,9 persen dari target yang ditetapkan pada tahun ini, yakni Rp775,9 triliun.

Jika dirinci, realisasi pembiayaan utang terdiri atas penarikan utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto senilai Rp238,8 triliun dan pinjaman neto sebesar minus Rp14,4 triliun. Di sisi lain, untuk pembiayaan nonutang mencapai minus Rp4,3 triliun.

“Target pembiayaan berjalan sesuai rencana dengan tetap menjaga biaya yang efisien serta risiko yang terkendali,” jelas Wamenkeu, Thomas Djiwandono.

Beranjak pada sesi tanya jawab, Sri Mulyani hanya menegaskan kembali bahwa efisiensi tak akan membuat APBN tekor karena belanja pemerintah pusat maupun daerah hanya direalokasikan pada belanja yang lebih prioritas.

Selain itu, dia juga menegaskan bahwa defisit tidak akan melebar, kendati penerimaan pajak mengalami penurunan cukup signifikan. Bahkan, meski deflasi terjadi selama dua bulan beruntun dan juga pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana, ke depan dinilainya tidak akan ada krisis ekonomi yang akan terjadi.

Coretax Tak Disinggung

Anehnya, selama pemaparan hingga sesi tanya jawab, baik Menkeu maupun tiga Wamenkeu tak menyinggung sama sekali kekacauan sistem Coretax. Bahkan, tak ada pembaruan informasi terkait perbaikan sistem pajak anyar itu.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, hanya menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi dalam rangka mencari sumber pajak baru demi menggenjot penerimaan hingga akhir 2025.

Pada saat yang sama, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga akan meningkatkan pengawasan terhadap wajib pajak (WP) badan atau perusahaan serta menegakkan hukum bagi WP badan yang terbukti melakukan pelanggaran dan tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar.

“Jadi, prioritas kami pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum untuk beberapa sektor atau kegiatan WP grup maupun transaksi afiliasi dan ekonomi digital, serta kerja sama perpajakan internasional," kata Suryo.

Kemenkeu hanya menjelaskan perihal Coretax dalam buku APBN KiTa edisi Februari 2025. Pada buku tersebut, Coretax masuk dalam bagian “Laporan Khusus” bersama laporan soal program MBG dan pelepasan ekspor perdana 549,4 juta ton kopi ke Malaysia oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Namun, laporan khusus soal Coretax tak memiliki subjudul sama sekali.

“Pada Selasa, 31 Desember 2024, di Kementerian Keuangan, Presiden Prabowo Subianto didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran, secara resmi merilis aplikasi Coretax DJP. Dengan peluncuran ini, sistem administrasi perpajakan di Indonesia memasuki babak baru menuju efisiensi dan digitalisasi yang lebih maju,” tulis laporan tersebut sebagai awalan, dikutip Senin (17/3/2025).

Dalam “Laporan Khusus” tersebut, Kemenkeu pun hanya meminta masyarakat untuk menggunakan Coretax DJP mulai masa pajak Januari 2025 dan/atau tahun pajak 2025. Dus, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan tahun pajak 2024 dan sebelumnya, beserta masa-masa pajaknya, tetap menggunakan aplikasi lama (aplikasi legacy).

“Sebagai contoh, pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2024 yang jatuh tempo pada 31 Maret 2025 bagi wajib pajak orang pribadi dan 30 April 2025 bagi wajib pajak badan, masih dilakukan melalui DJP Online di laman https://djponline.pajak.go.id,” jelasbuku APBN KiTa edisi Februari 2025.

Sayangnya, baik Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi DJP, Deni Surjantoro, maupun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, belum juga menanggapi pertanyaan Tirto terkait alasan tak disinggungnya Coretax dalam paparan APBN KiTa Februari 2025.

Padahal, selain karena kondisi perekonomian nasional yang cenderung lesu seiring dengan adanya penurunan daya beli masyarakat, turunnya harga komoditas global, hingga faktor administratif, anjloknya penerimaan pajak juga disebabkan oleh masalah Coretax yang telah terjadi sejak pertama kali diluncurkan.

“Menurut kami, sebenarnya faktor yang disebutkan itu memang memengaruhi, tetapi faktor dari Cortex itu juga ikut memberikan dampak. Karena, bagaimanapun juga, kalau kita ikuti dari wajib pajak yang menggunakan Cortex, terutama di dua bulan awal, mereka mengeluhkan tidak bisa mengakses, tidak bisa menerbitkan faktur, dan permasalahan administratif lain yang berpengaruh ke penerimaan,” jelas peneliti Center of Economic on Reform (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, saat dihubungi Tirto, Senin (17/3/2025).

Menurut Yusuf, pemerintah secara tak langsung sebenarnya telah mengakui bahwa Coretax bermasalah. Hal itu tercermin dari dibukanya kembali dua sistem administrasi perpajakan lama, yaitu e-filing dan e-faktur, sesuai hasil kesepakatan antara pemerintah dan Komisi XI DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (10/2/2025).

“Cortex ini bermasalah sehingga dibukalah itu alternatif aplikasi lain. Jadi, sebenarnya dari beberapa langkah, pemerintah secara tidak langsung semacam mengiyakan bahwa Cortex itu bermasalah. Hemat kami, di dua bulan awal, kontribusi Cortex dalam penurunan dan perpajakan juga tetap ada,” sambung Yusuf.

Core Indonesia belum menghitung berapa besar potensi penerimaan negara yang hilang karena masalah Coretax. Namun, berdasar hitungan kasar peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, dampak kekacauan Coretax terhadap penerimaan pajak dalam dua bulan terakhir ialah sekitar Rp5,67-9,42 triliun, dengan asumsi pelemahan 1-3 persen akibat kondisi ekonomi nasional.

Sama halnya dengan Yusuf, Fajry pun tak bisa menebak alasan pemerintah melewatkan pembahasan soal Coretax dalam paparan APBN KiTa Februari 2025. Namun, yang pasti, keputusan untuk sama sekali tak membahas Coretax dalam pemaparan APBN KiTa adalah kurang tepat.

Hal itu malah berpotensi menimbulkan kecurigaan serta meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem perpajakan anyar itu.

“Padahal, kalau pemerintah mau buka-bukaan, ternyata bukan coretax saja yang membuat kinerja penerimaan terkontraksi di awal tahun. Berdasarkan data yang saya terima, ada restitusi pajak di bulan Februari 2025 sebesar Rp111,04 triliun atau meningkat 93,11 persen yoy [secara tahunan],” jelas Fajry kepada Tirto, Senin (18/3/2025).

Dengan dibukanya kembali sistem perpajakan lama, Fajry pun menilai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kendala Coretax dapat berkurang. Meski, tak bisa dipungkiri bahwa tanpa dorongan dari intensifikasi dan ekstensifikasi, akan cukup sulit untuk mencapai target penerimaan pajak 2025 yang senilai Rp 2.490,91 triliun.

“Mengingat di bulan tersebut [Februari] sudah bisa menggunakan dua sistem untuk penerbitan faktur pajak,” sambung dia.

Sementara itu, menurut Yusuf dari Core Indonesia, pemerintah seharusnya dapat lebih berupaya untuk menekan agar penerimaan pajak tidak turun semakin dalam. Di sisi lain, transparansi terkait dampak kendala Coretax terhadap penerimaan pajak juga perlu diungkap. Pasalnya, biaya pengembangan sistem itu sepenuhnya menggunakan APBN.

Sebagai informasi, pengembangan Coretax membutuhkan biaya sekitar Rp1,3 triliun, termasuk pajak. Itu lebih mahal dari biaya pengembangan DeepSeek R1 oleh perusahaan teknologi asal Hangzhou, Cina Timur, DeepSeek, yang hanya sebesar 6 juta dolar AS (Rp97,2 miliar, kurs Rp16.200 terhadap dolar AS).

“Nah, seharusnya dengan faktor memperbaiki administratif itu bisa setidaknya [penerimaan pajak] lebih baiklah gitu. Jadi, kita juga bisa mengukur dari penerimaan pajak di tahun-tahun sebelumnya, di mana memang mengalami penurunan, tapi tidak setajam dengan apa yang terjadi di awal tahun ini,” tutur Yusuf.


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |