tirto.id - PT Gunbuster Nickel Industry atau GNI dikabarkan telah memangkas produksi dan menutup total pabrik fasilitas pemurnian nikelnya, sebagai akibat dari kebangkrutan perusahaan induknya, Jiangsu Delong Nickel Industry Co. Ltd, pada pertengahan tahun kedua 2024. Bahkan, PT GNI juga dilaporkan telah menunda pembayaran kepada pemasok nikel lokal, sehingga tidak bisa memperoleh bijih nikel.
“Gunbuster, yang mampu memproduksi 1,8 juta ton nikel pig iron per tahun, telah menutup semua kecuali beberapa, dari lebih dari 20 lini produksinya, sejak awal tahun,” tulis Bloomberg dalam laporannya yang diterbitkan pada Kamis (20/3/2025).
Selain karena permasalahan induk usaha, harga nikel global terus melanjutkan tren penurunan sejak akhir 2022, ketika produksi nikel Indonesia meningkat. Hal ini berkontribusi terhadap tutupnya tambang dan pabrik di negara-negara lain.
Ironisnya, kini, salah satu pabrik peleburan atau smelter nikel terbesar di Asia Tenggara pun turut terpukul oleh anjloknya harga nikel dunia.
Pada saat yang sama, pasokan bijih nikel semakin menipis, seiring dengan berkurangnya izin kuota penambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
“Hal itu memperburuk keadaan Gunbuster, yang sudah menderita akibat kebangkrutan perusahaan induknya, Delong,” lanjut laporan Bloomberg.
Mengutip Westmetall, pada Senin (17/3/2025), harga nikel kontrak 3 bulan yang diperdagangkan di London Metal Exchange (LME) ialah sebesar 16.530 dolar Amerika Serikat (AS) per ton, turun dari posisi pekan lalu yang masih berada di level 16.650 dolar AS per ton. Bahkan, pada 17 Februari 2025, harga nikel dunia berada di level 15.360 dolar AS per ton dan di 3 Januari 2025 anjlok di harga 15.078 dolar AS per ton, yang menurut S&P Global merupakan titik terendah sejak 2020.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, 2022 menjadi masa kejayaan industri nikel nasional karena tren harga komoditas tersebut masih tinggi. Namun, memasuki 2023 dan berlanjut hingga 2024, harga nikel terus mengalami penurunan.
Di sisi lain, sejak 2022 pula, kapasitas produksi nikel mulai berlebih. Pada 2022, kapasitas produksi nikel mencapai 1,6 juta metrik ton, menyumbang 48,48 persen dari total produksi nikel dunia. Kemudian, angka tersebut bertambah menjadi hampir 2 juta metrik ton di 2023. Sementara jika dirata-rata, Indonesia memproduksi bijih nikel hingga 300 juta ton, jika ditambah proyek smelter yang masih dalam tahap konstruksi, angka tersebut bisa mencapai 500 juta ton.
“Ditambah dengan yang masih baru-baru, yang dikonstruksi, totalnya 390 (juta ton) tambah 119 (juta ton). Hampir 500 juta ton bijih nikel. Nah, lo beli dimana tuh? Nah, ini yang saya tampilkan hanya 95 yang produksi, yang konstruksi. Data APNI khusus pengolahan nikel itu 147,” ujar Meidy, dalam konferensi pers Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, di Jakarta, Senin (17/3/2025).
Pada 2025, APNI memperkirakan produksi nikel basah nasional mencapai 298,5 juta metrik ton, naik 272 juta metrik ton dari tahun sebelumnya. Kondisi ini pun diperkirakan akan menjadi penyumbang kelebihan pasokan nikel global yang diperkirakan mencapai 156 ribu metrik ton.
Agar harga nikel tidak semakin terjembab, Meidy mengaku telah mengusulkan kepada pemerintah untuk menempuh kebijakan morotarium smelter. Namun, alih-alih membatasi jumlah smelter nikel, yang kini mencapai sekitar 49 smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan 6 smelter nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Selain itu, ada 36 proyek smelter RKEF dan 6 smelter HPAL yang sedang dalam proses konstruksi.
“Luar biasa lho smelter ini. Gila beneran. Nambah terus, nambah terus. Padahal, tahun 2022 APNI sudah berteriak, ‘Pak (Jokowi), morotarium, Pak’. Tapi masih aja (bertambah terus) sampai sekarang,” imbuh Meidy.
Sementara itu, kabar bakal ditutupnya PT GNI lantas direspon oleh Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza. Menurutnya, kabar tersebut dilatarbelakangi oleh adanya masalah ekonomi yang kemudian membuat induk PT GNI bangkrut.
“Ada problem di negara asalnya,” ujar dia, kepada awak media, di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (18/3/2025).
Namun demikian, ia enggan mengomentari lebih lanjut soal kelangsungan bisnis dan nasib tenaga kerja PT GNI ke depannya. Sebab, sampai saat ini, perusahaan tersebut masih berproduksi dan juga akan ada proses pengambilalihan atau take over usaha yang hanya dapat diputuskan oleh manajemen PT GNI. Dus, baik pemerintah maupun masyarakat sebaiknya dapat menunggu keputusan lanjutan dari manajemen.
“Pasti akan ada take over, tunggu saja,” imbuh dia.
Sebelumnya, melalui keterangan pers yang diunggah di laman resmi PT GNI, manajeman menjelaskan bahwa saat ini memang sedang berlangsung proses transisi atau perubahan manajemen operasional, dengan tujuan untuk memperkuat struktur perusahaan dalam menghadapi tantangan industri ke depan. Pada saat yang sama, manajemen juga menegaskan bahwa operasional PT GNI masih berjalan seperti biasa dan dilakukan seoptimal mungkin.
“Perusahaan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dilakukan dengan pertimbangan matang dan tujuan jangka panjang untuk kepentingan bersama. Perusahaan juga memahami bahwa proses transisi ini mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa pihak. Oleh karena itu, kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang mungkin terjadi,” tulis manajemen, dikutip Selasa (18/3/2025).
Sementara itu, Pakar Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa jika benar PT GNI sampai menutup usahanya, artinya perusahaan tersebut kalah dalam persaingan usaha smelter nikel. Menurutnya, Indonesia memang merupakan salah satu pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.
Data Badan Geologi AS, mencatat, pada 2023 cadangan nikel Indonesia mencapai 55 juta ton, atau sekitar 42,31 persen dari total cadangan dunia sebesar 130 juta ton. Sementara pada saat itu, umur cadangan nikel Indonesia diperkirakan berkisar antara 15-30 tahun. Artinya, dengan kondisi ini, banyaknya jumlah pengusaha smelter di Tanah Air membuat persaingan sangat ketat.
“Menurut saya memang itu smelternya terlalu banyak dibanding kapasitas nikel yang ada, terutama (smelter) dari Cina, sehingga mereka bersaing. Nah, kadang-kadang persaingannya itu tidak sehat juga. Itu saya kira salah satu dampak kenapa dia mudah tutup,” ujar dia, kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Karenanya, dengan tutupnya salah satu smelter yang ada, dinilai akan membuat penyerapan nikel dan produksi komoditas tersebut menjadi lebih optimal. Dus, harga nikel Indonesia maupun dunia dapat terkerek naik, sehingga membuat kinerja perusahaan-perusahaan nikel yang ada di Tanah Air juga mengalami perbaikan.
“Jadi, kalau dari industri saya kira malah lebih bagus ini, karena tingkat persaingannya akan menurun dan akan sesuai dengan kapasitas yang ada. Akan terjadi keseimbangan di antara supply dan demand,” imbuh dia.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, pun menilai bahwa masyarakat tak perlu khawatir jika memang benar PT GNI kan mengakhiri masa produksinya, setelah beroperasi sejak 2021 lalu. Sebab, biasanya smelter GNI akan diambil alih atau diakusisi oleh perusahaan pemurnian nikel lainnya.
“Bisa juga nanti sebenarnya smelter nikel yang lebih kuat lagi mengambil ini. Jadi tidak usah berlebihan, ketakutan ini nanti akan mengancam hilirisasi, tidak usah, biasa saja. Itu persaingan usaha dan risiko bisnis biasa saja,” tegas Yusri, saat dihubungi Tirto, Selasa (18/3/2025).
Hal berbeda disampaikan Center of Economic and Law Studies (Celios). Menurut laporan lembaga tersebut, penutupan PT GNI yang berada di Morowali, Sulawesi Tengah, berpotensi mengguncang produksi nikel nasional dan mengganggu stabilitas ekonomi regional. Sebab, perusahaan itu beroperasi dengan lebih dari 12.000 tenaga kerja, investasi sebesar 3 miliar dolar AS, serta input bijih nikel 21,6 juta ton.
Karena peran krusialnya dalam rantai industri nikel Indonesia, penutupan PT GNI dikhawatirkan akan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), risiko lingkungan, dan menurunnya kepercayaan investor asing terhadap stabilitas investasi di Indonesia. Namun, di tengah krisis ini, terbuka peluang strategis untuk mereformasi sektor nikel, memperkuat kedaulatan nasional atas sumber daya mineral strategis, serta mendorong partisipasi lebih besar dari entitas domestik.
Celios pun melihat bahwa akan sangat mungkin bagi Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk masuk dan menyelematkan PT GNI.
“Akuisisi strategis PT GNI oleh BPI Danantara, sebagai instrumen dana kekayaan negara, dapat menjamin kesinambungan operasional, menjaga stabilitas tenaga kerja, dan memperkuat daya saing Indonesia dalam rantai pasokan nikel global,” jelas Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dalam keterangannya, dikutip Selasa (18/3/2025).
Seiring dengan masing tumbuhnya tren penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV), nikel menjadi komoditas krusial bagi industri baterai dan kendaraan listrik. Penguasaan atas aset-aset ini lah yang kemudian sangat penting bagi Indonesia.
“Akuisisi ini tidak hanya memastikan bahwa nilai tambah dari sumber daya alam kita tetap berada di dalam negeri, tetapi juga memperkuat daya tawar Indonesia di pasar internasional," imbuh dia.
Dengan ini, diharapkan ke depan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, sekaligus mendorong hilirisasi industri nikel. Kendati, tak kalah penting untuk menjadi perhatian, setelah diselamatkan, penerapan standar lingkungan dan tenaga kerja yang ketat harus diadopsi PT GNI.
Sebab, melalui kedua aspek ini, Indonesia sekaligus bisa meningkatkan reputasi sebagai destinasi investasi berkelanjutan.
“Bukan sekadar kepatuhan regulasi, tetapi sebagai upaya membangun industri nikel yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan memastikan praktik pertambangan yang ramah lingkungan serta kondisi kerja yang layak, Indonesia dapat meningkatkan citra industrinya di tingkat global dan menarik investasi yang lebih berkualitas," tutur peneliti Celios, Yeta Purnama.
Pada saat yang sama, diversifikasi sumber investasi dan renegosiasi kebijakan ekspor mineral juga sangat penting untuk memastikan kemitraan masa depan, selaras dengan kepentingan nasional. Dalam hal ini, jika Danantara dapat mengakuisisi PT GNI, diharapkan dapat menstabilkan industri nikel.
“Respons yang tegas, proaktif, dan terukur tidak hanya dapat mengubah krisis ini menjadi peluang, tetapi juga membangun industri nikel yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan berdaya saing global. Dengan demikian, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin dalam ekonomi hijau dan transisi energi berkelanjutan,” tutup Yeta.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty