tirto.id - Pada 12 Maret 1942, riuh rendah rakyat Aceh menyambut Jepang yang menambatkan pasukan di Tanah Rencong. Mendarat di tiga titik sagoe strategis, yakni Krueng Raya (Aceh Besar), Sabang, dan Peureulak (Aceh Timur), kedatangan Jepang bak membawa sejuk angin laut. Rakyat Aceh, yang bertahun-bertahun dipaksa menderita di bawah kompeni Belanda, mengharap udara kebebasan dari Sang Cahaya Asia.
Namun, kiranya gegap gempita merayakan sang juru selamat tak berlangsung lama. Persepsi juru selamat berubah juru sesat, lantaran Jepang dianggap mencederai agama Islam.
Sebagaimana ditulis Said Abubakar dalam Berjuang untuk Daerah Otonomi Hak Azazi Insani (1995: 24), pemicu utama kesesatan agama adalah perintah melakukan seikerei. Seluruh umat Islam di Aceh diwajibkan melangsungkan ritus serupa “menyembah” Dewa Amaterasu. Ritus ini juga dimafhumkan sebagai wujud penghormatan terhadap kaisar Jepang, reinkarnasi Dewa Amaterasu.
Kiblat umat Islam diganti menghadap arah matahari terbit, tempat bersemayamnya tenno heika. Jelaslah fatwa demikian sudah cukup membuat rakyat Aceh berang.
Taktik Jitu Jepang Rebut Simpati Rakyat Aceh
Jauh waktu sebelum Jepang mendaratkan pasukannya di tanah air, wilayah Aceh masih menjadi daerah otonomi di bawah kolonialisme Hindia Belanda. Ruang gerak umat tak begitu bebas, kegiatan agama dicekal, sementara penjajahan telah mengakar dan menjamur di berbagai lapisan masyarakat.
Di Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara (sekarang Bireuen) para ulama besar Aceh berunding menyusun sebuah organisasi dengan tujuan membendung kesewenangan kolonialisme Belanda. Pada 5 Mei 1939 atau 12 Rabiulawal 1358 H, diresmikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini diinisiasi oleh para ulama pembaharu modernitas, macam Tengku Abdurrahman Meunasah Meucap, Tengku Abdullah Ujong Rimba, dan Tengku Muhammad Daud Beureueh.
Namun, tentu tujuan demikian tak dibaiat sebagai slogan terang yang membabi buta. PUSA memilih jalur senyap dan hati-hati lewat prakarsa kemajuan serta penguatan ukhuwah Islamiyah di Aceh. Walakin, dalam poin catatan yang dihimpun Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi dan Konflik (2003: 74), PUSA turut bekerja sama dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) guna menegakkan Islam sesuai syariat dan menjauhi segala jenis bidah serta khurafat.
Kejengkelan PUSA terhadap kolonialisme makin menjadi-jadi. Kala itu, tanah-tanah bekas peninggalan kesultanan dikelola para uleebalang, atau oleh Belanda disebut zelfbestuurder ‘raja-raja kecil’ yang terkenal absolut. Uleebalang mendapat otoritas khusus dari kompeni sebab kedekatan hubungan politik keduanya. Hal tersebut memicu PUSA turut memusuhi para uleebalang yang dicap memilih menyandarkan kepala pada bahu-bahu kolonial.
Anggota PUSA yang berisikan mayoritas ulama sepakat untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus feodalisme juga mengusir koloni Belanda dari Tanah Rencong.
Perseteruan antara antara ulama dan uleebalang tercium Dai Nippon. Maka itu, bergegaslah mereka manfaatkan momentum, lalu melakukan pendekatan politis dengan para organisator PUSA.
Jepang mengutus organisasi Fujiwara (F-Kikan) guna memotori pendekatan dengan PUSA. Organisasi ini dikomandoi Fujiwara Iwaichi, mayor jenderal tamatan sekolah intelijen Nakano. Ia memang ditugaskan Nippon sebagai spesialisasi operasi penaklukan daerah Melayu di Hindia Belanda.
PUSA bukanlah organisasi pertama yang ditargetkan F-Kikan. Sebelumnya, pihak Jepang telah menjalin mitra dengan Kesatuan Melayu Muda (KMM), yang digerakkan dengan tujuan oposisi patriotisme terhadap serangan Inggris di Melayu. Menurut Anthony Reid dalam “The Japanese Occupation and Rival of Indonesian Elites” (1975), F-Kikan memang ditujukan sebagai indoktrinasi militerisme Barat di Melayu, serta mengambil simpati rakyat.
Tentu, melihat tawaran peluang bantuan, PUSA, yang dalam kondisi minim pengalaman perang, menerima dengan suka cita gagasan Fujiwara F-Kikan. Sejak saat itu, perhatian rakyat Aceh tertuju pada kerja sama antara PUSA dan Dai Nippon sebagai motor penerobos kebekuan sekaligus wadah pemersatu umat memerangi kolonialisme Belanda.
Malam hari bulan Desember 1941 di Lamnyong, para pemuka agama Aceh berkumpul bersama utusan Dai Nippon di kediaman teuku Nyak Arif (Kepala Sagoe XXVI Mukim). Mereka menyusun pakta dan sumpah setia, menyerukan perjuangan Islam, bangsa, dan tanah air. Selain itu, mereka juga meresmikan susunan pemberontakan melawan Belanda.
Mulai dari situ, simbolisme mitra mereka diletakkan pada lengan kiri baju para pendukung PUSA dan Jepang. Sebuah simbol huruf “F”, yang mengacu pada Fujiwara, melekat sebagai identitas perlawanan dan strategi mengacaukan jaringan komunikasi musuh.
Tak menunggu lama, perang pun meletus. Perburuan dan blokade terhadap Belanda dilancarkan dari berbagai arah. Di sepanjang pantai Aceh Barat, dentum meriam dan letusan senapan tak henti-hentinya berdengung. Beberapa markas teritorial dan benteng berhasil direbut.
Belanda kelabakan, para serdadu lari tunggang langgang. Mereka menyerah tanpa syarat di Blangkejeren pada 28 Maret 1942.
Tengku Abdul Jalil Menolak Tunduk di Bawah Kafir Majusi
Usai berhasil mengusir pasukan Belanda dari Aceh, kolonialisme tak begitu benar-benar berakhir. Sekalipun kompeni dan uleebalang korup telah ditindak, permasalahan politik di Aceh belum juga mampu membabat hutan belantara.
Namun, para pemuka PUSA naik pangkat. Mereka diberi mandat istimewa oleh Jepang, yang kemudian melahirkan ‘raja-raja kecil baru’. Bahkan, ketika ibadah Islam diintervensi melalui seikerei, para pemuka agama tak bergeming. Mereka cenderung mengamini dan mendukung penistaan agama yang terjadi.
Salah seorang ulama beken, murid dari Tengku H. Hasan Krueng-kale, memilih jalur jihad demi membela kesucian agamanya. Ia meyakini, tiada ritus apa pun yang boleh mengintervensi bahkan mengubah prosesi ibadah umat lantaran kepentingan politik. Ialah Tengku Abdul Jalil, pemimpin Dayah (pesantren) Cot Plieng. Dia dikenal sebagai ulama yang sohor dengan ketegasan sekaligus menjunjung tinggi indepensi dan tradisi.
Ia tak pernah mau berkompromi apalagi bernegosiasi dengan asing, termasuk Jepang. Tengku Abdul Jalil tak pernah sedikit pun menciutkan nyali atau mengernyitkan dahi di muka kempetai, sekalipun para polisi militer itu terkenal ganas dan beringas.
Menurut buku Sejarah Pertempuran Cot Plieng Bayu Lheue Simpang Pandrah Melawan Fasisme Jepang (1974) karya T. Sabu Oebit, yang dikutip oleh Jurnal Riwayat, Tengku Abdul Jalil aktif mengampanyekan dakwah dan seruan jihad kepada para pengikut dan santrinya. Peristiwa itu terjadi pada sebuah malam sebelum Ramadan bulan Juli 1942 di Kampung Krueng Lingka, Kecamatan Baktiya, Aceh Utara.
Dalam dakwah itu, Tengku Abdul Jalil mengecap Jepang sebagai “Kafir Majusi”, sementara Belanda adalah “Kafir Kitabi”. Menurutnya, “Kafir Majusi” jauh lebih berbahaya ketimbang “Kafir Kitabi”. Salah satu pekiknya yang cukup terkenal ialah, "Taleetase, tapeutamongboui (Kita usir anjing, tetapi kita masukkan babi!"
Sudah barang tentu dakwah terbuka semacam itu cepat sekali terendus kempetai. Di Sunco Lhokseumawe dan Bayu, perintah telah diturunkan untuk segera meringkus Tengku Abdul Jalil. Akan tetapi, ia sama sekali tak bergidik. Sang ulama justru menantang kempetai dan menyerukan perang terhadap Jepang yang dinilai lancang terhadap ibadah Islam.
Tengku Abdul Jalil, keluarga, beserta para pengikutnya yang berjumlah lebih kurang 400 orang, segera mempersiapkan diri. Berbagai pelatihan militer mulai diagendakan dan para santri dayah dipersenjatai. Kawasan Dayah Cot Plieng menjadi pusat benteng pertahanan, sarang konsinyasi jihad melawan fasisme Jepang. Komando jihad fi-sabilillah mendentangkan semangat di Tanah Rencong.
Perlawanan Dayah Cot Plieng. FOTO/commons.wikimedia.org
Sejumlah tindakan persuasif untuk meredam kegentingan di Tanah Rencong telah diupayakan, tetapi tak pernah menjumpai hasil yang berarti. Bahkan, Jepang sampai menyuruh gurunya sang ulama, Tengku H. Hasan Krueng-kale, untuk menemui Tengku Abdul Jalil. Namun apa daya jua, keputusannya bulat dan tak dapat diubah.
Sampai pada Selasa, 7 November 1942, sejumlah kempetai Lhokseumawe bertandang ke kediaman Tengku Abdul Jalil di kompleks Dayah Cot Plieng, Desa Bayu. Namun mereka mendapat penolakan keras dari pihak Cot Plieng. Salah seorang utusan kempetai bernama Hayashi justru mendapat perlakuan tak menyenangkan. Perutnya ditikam dengan tombak oleh salah seorang pasukan penjaga.
Tak mau mati sia-sia di sana, Hayashi dengan sisa-sisa tenaganya berlari kembali menuju markasnya di Lhokseumawe. Ia laporkan insiden yang menimpanya baru saja. Melihat serdadunya disambut dengan luka dan darah, komandan kempetai langsung mengerahkan seluruh pasukan menyerbu Dayah Cot Plieng hari itu juga.
Pertempuran pecah sejak pukul 12.00 antara Jepang dan pasukan Tengku Abdul Jalil. Total 86 orang dari kedua belah pihak terbunuh. Masjid dan rumah terbakar, termasuk kediaman Tengku Abdul Jalil yang ludes dilahap si jago merah.
Jepang mengerahkan pasukan dari Lhokseumawe, Lhoksukon, dan Bireuen. Hal itu membikin beberapa blok santri mengundurkan diri ke Desa Neuheun, Kecamatan Meurah Mulia.
Serangan terus dilancarkan Jepang untuk mendesak bala Tengku Abdul Jalil. Tiba pada esok harinya, 8 November 1942, empat pengikut sang ulama gugur. Bersama sisa-sisa pasukan yang dimilikinya, ia melarikan diri ke Bulouh Gampoung Tengungah.
Jumat, 10 November 1942, armada Jepang menggempur barisan Tengku Abdul Jalil di Meunasah Blang Buduh Gampuong Tengah. Pertempuran berlangsung sedari usai salat Jumat sampai malam menjelang.
Napas perlawanan Tengku Abdul Jalil berakhir pada sekira pukul 18.00. Ia mati syahid saat masjid tempatnya beribadah dibombardir artileri. Sedikitnya, 19 orang dinyatakan syuhada pada pertempuran pemungkas ini.
Jenazah Tengku Abdul Jalil dipulangkan ke tanah kelahirannya, Desa Bayu, dan dikebumikan di kompleks Dayah Cot Plieng pada keesokan harinya. Ratusan korban jiwa bergelimpangan. Sebanyak 120 pasukan Tengku Abdul Jalil mati syahid, sementara 150 lainnya dinyatakan luka-luka. Di pihak Jepang, terdapat setidaknya 90 serdadu yang mati.
Pantik Bara Api Perlawanan
Gugurnya Tengku Abdul Jalil dalam Perang Bayu di Cot Plieng justru membuat pantikan-pantikan baru di daratan Aceh. Apalagi usai pertempuran pamungkas di Meunasah Blang Buduh Gampuong Tengah, kempetai secara biadab sengaja mengarak bagian kepala Tengku Abdul Jalil dan mempertontonkannya dalam sebuah pawai.
Bukannya embrio perlawanan memadam, justru bara hitam kembali dibuat memerah panas. Insiden Perang Bayu di Cot Plieng memantik semangat para kombatan yang menghendaki serangan balasan.
Di Jangka Buyadi, muncul perlawanan di bawah pimpinan Gyugun Abdul Hamid. Pecah pula Perang Pandrah di Bireuen yang diprakarsai para ulama besar, seperti Keuchik Usman, Keuchik Johan, Tengku Ibrahim Peudada, Tengku Jacob, Tengku Akop Pang, dan Tengku Nyak Isa. Konfrontasi di Bireuen dipicu oleh perlawanan rakyat Aceh sebab setoran padi dan romusa yang menyengsarakan.
tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin