Duduk Perkara Dugaan Pelanggaran HAM & Eksploitasi di Sirkus OCI

1 day ago 35

tirto.id - Delapan orang perwakilan mantan pekerja sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), mayoritas perempuan paruh baya, mencurahkan isi hatinya sambil menangis di hadapan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto. Selasa (15/4/2025), sejumlah eks pekerja OCI itu melapor ke Kementerian HAM terkait dugaan eksploitasi, perbudakan, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mereka alami. Mereka menyebut korban kekerasan dan eksploitasi anak yang diduga dilakukan oleh para pemilik OCI dan Taman Safari Indonesia (TSI) sejak 1970-an.

Setelah audiensi, laporan eks pemain sirkus OCI itu juga diunggah oleh Mugiyanto di akun Instagram pribadinya, @mugiyanto.official, pada Rabu (16/4/2025). Pada salah bagian video, eks pemain OCI bernama Butet, bercerita kerap mendapat tindakan kekerasan selama bermain untuk OCI. Bahkan, kata Butet, ia mengaku sempat dijejali kotoran gajah.

“Sempat saya sampai dirantai kaki pakai rantai gajah yang besar itu,” ungkap Butet di video yang diunggah Mugiyanto.

Eks pemain OCI lainnya, Ida Yani, mengaku sempat terjatuh dari ketinggian sekitar 15 meter saat melakukan atraksi sirkus. Imbas insiden itu, Ida mengalami patah tulang belakang dan mengalami kelumpuhan.

Sementara Fifi, eks pemain OCI juga, menyatakan ia baru mengetahui bahwa Butet, adalah ibu kandungnya. Pasalnya, pihak OCI mengurus dan mempekerjakan Fifi sejak kecil. Sambil menangis lirih, Fifi mengaku pernah disetrum saat bekerja untuk OCI.

"Saya disetrumin, Pak, di badan saya, kelamin saya disetrumin. Sampai saya jatuh lemas,” ucap Fifi.

Kuasa hukum para mantan pemain sirkus OCI, Muhammad Sholeh, di kantor Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025) menyatakan, pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM ini. Sholeh menyebut sebelumnya sudah terdapat hasil pemantauan dan rekomendasi terhadap kasus ini oleh Komnas HAM pada 1997 silam.

Namun, dia menilai, pemantauan tersebut belum komprehensif karena tidak semua korban dimintai keterangan. Menurut Sholeh, banyak korban yang tidak mengetahui asal-usulnya. Saat ini, mereka ingin mencari keberadaan orang tuanya.

“Meskipun ada rekomendasi dari Komnas HAM tahun 1997, tidak pernah ada yang namanya kompensasi atau ganti kerugian kepada korban. Padahal, hidup para mantan pemain sirkus mayoritas tidak berada, kondisi miskin semua,” kata Sholeh.

Sholeh juga menyayangkan sikap pihak Taman Safari Indonesia yang tak mau mengakui kesalahan yang ditudingkan kliennya. Ia menilai kasus ini sudah merupakan pelanggaran HAM.

“Padahal ini sudah diviralkan, tidak terbesit pengakuan bersalah. Seakan-akan tidak ada pelanggaran HAM di situ, tidak ada perbudakan, tidak ada kekejaman yang sudah pernah dilakukan kepada mantan pemain sirkus," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, berjanji bahwa Kementerian HAM akan memanggil pihak OCI dan Taman Safari agar kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali di kemudian hari.

"Kami akan lakukan secepatnya. Karena salah satu upayanya memang kami ingin mencegah supaya praktik yang ini tidak terjadi lagi dan itu harus cepat," ucap Mugiyanto.

Pihak Taman Safari Indonesia (TSI) rupanya ogah disangkutpautkan dengan tudingan yang dialamatkan oleh eks pemain sirkus OCI. Mereka menilai tidak ada hubungannya antara TSI dengan OCI. Hal ini disampaikan Corporate Secretary Taman Safari Indonesia (TSI), Barata Mardikoesno, dalam konferensi pers di Patio Platar, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).

Barata menegaskan, TSI merupakan tempat konservasi dan edukasi satwa. Mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan sirkus yang dilakukan OCI. Bahkan, OCI tak pernah tampil sekalipun di berbagai lokasi Taman Safari Indonesia.

“Jadi kegiatannya sendiri itu sangat berbeda. Dan kami sudah melakukan manajemen dan aktivitas untuk hewan. Jadi ini disini jelas adalah dua bisnis yang berbeda. Pemain OCI tidak ada di daftar karyawan,” ucap Barata kepada awak media.

PERTUNJUKAN FIRE DANCE DI TSI BOGORPenari beratraksi dengan api saat pertunjukan Fire Dance di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/4/2023).ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.

Di sisi lain, Barata mengungkap bahwa TSI menerima somasi dari kuasa hukum eks pemain OCI sebanyak dua kali di tahun 2024. Dalam somasi, TSI dituntut memberikan uang kepada eks pemain OCI dengan total mencapai Rp3,1 miliar.

Namun, Barata menegaskan bahwa TSI tidak akan memenuhi tuntutan tersebut sebab tidak memiliki hubungan dengan aktivitas OCI. Menurutnya, pihak TSI sudah menjawab layangan somasi pendamping hukum eks pemain OCI yang menuntut uang itu. Bahkan, kata Barata, pada Desember 2024 mereka mengajukan tenggat waktu hanya dalam rentang lima hari.

TSI kala itu menegaskan tidak dapat memenuhi tuntutan itu karena berlaku asas hukum lex specialis derogat legi generali diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. Sebab, eks pemain OCI memang tidak ada hubungan dengan TSI.

“Ini khusus dan kita tidak bisa. TSI itu tidak ada hubungan dan sangat berbeda dan tidak ada sangkut-pautnya terhadap tuntutan hukum yang dituduhkan ke kami,” ucap Barata.

Apa Hubungan TSI dengan OCI?

Sebetulnya, ada sebuah kesamaan antara OCI dengan TSI, yakni berpusat pada keluarga Manansang. OCI mulanya merupakan perkembangan sebuah grup sirkus yang dibesut oleh Hadi Manansang di awal periode 60-an. Pada akhir 60-an, Tony Sumampau, anak Hadi, ikut mengembangkan grup sirkus yang bernama Oriental Show ini. Dan resmi bernama Oriental Circus Indonesia (OCI) pada 1972.

Seiring berjalannya bisnis sirkus yang dijalani oleh Tony, pada 1981, ia dan dua saudaranya, Jansen Manansang dan Frans Manansang terlibat dalam pendirian Taman Safari Indonesia (TSI). Kemudian, Taman Safari baru resmi dibuka di Cisarua, Bogor, pada April 1986 hingga menjadi wisata nasional pada 16 Maret 1990.

Saat ini, Tony Sumampau merupakan Komisaris Taman Safari Indonesia (TSI). Sementara Jansen Manansang menjabat sebagai direktur sekaligus pengelola Taman Safari Indonesia di Puncak, Bogor.

Dalam konferensi pers di Patio Platar, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025), Tony turut hadir sebagai salah satu pendiri OCI. Dalam kesempatan itu, Tony membantah penyiksaan dan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus besutannya. Tony mengaku bahwa OCI sudah berhenti beraktivitas sejak 1997 dan eks pemain OCI yang melayangkan tuduhan adanya pelanggaran HAM sebetulnya adalah anak-anak yang diasuh oleh keluarga Tony.

Mereka, kata Tony, memang diasuh ibunya dari panti asuhan yang setelah ditelusuri berada di kawasan Kalijodo. Maka itu, Tony merasa heran mengapa tiba-tiba eks pemain OCI yang sudah dianggapnya seperti keluarga itu justru menuding terjadi penyiksaan di OCI.

“Orang tua itu suka nampung anak. Jadi dari bayi, entah anaknya siapa itu, ternyata waktu saya tanya ini anak dari mana, katanya anak dari Panti Asuhan. Panti Asuhannya dimana ya, di daerah dekat Kalijodo,” ucap Tony kepada awak media.

Ketika anak-anak itu berusia 7 tahun, Tony mengaku mereka memang beraktivitas dalam kegiatan sirkus OCI. Namun, klaim Tony, tidak ada sama sekali penyiksaan atau eksploitasi seperti yang ditudingkan.

Tonya menyatakan sudah pasti pemain OCI mendapat gaji, sementara yang masih berusia anak-anak mendapatkan uang saku. Namun kesehatan dan pendidikan mereka tetap dijaga oleh keluarga Tony. OCI, kata dia, bahkan mendatangkan pengajar pribadi buat anak-anak.

Namun, ia mengakui memang sempat ada tudingan eksploitasi dan pelanggaran hak anak yang akhirnya diusut oleh Komnas HAM pada 1997. Kala itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi agar dijalankan oleh OCI. Tony mengeklaim sudah menjalankan anjuran dari Komnas HAM: seperti melacak identitas asal-usul para pekerja OCI yang diasuh keluarga Tony sejak kecil dan memasukkan mereka ke instansi pendidikan resmi.

Tony menyebut, tindakan pendisiplinan memang dilakukan saat para pemain sirkus tersebut bermalas-malasan selama latihan. Namun, kata dia, hal itu dilakukan sewajarnya di era saat itu – sekitar tahun 80-an – dan menggunakan rotan, bukan dengan patok besi sebagaimana kesaksian eks pemain OCI di Kementerian HAM.

“Saya harus akui [pendisiplinan] pasti ada. Cuma kalau dipukul pakai besi pakai apa nggak mungkin lah. Kalau nanti dia luka malah nggak bisa atraksi kan,” ucap Tony.

Tony juga menjelaskan, bahwa eks pemain sirkus OCI bukan bagian dari karyawan TSI. Hal ini untuk menjernihkan narasi yang beredar dan membawa instansi TSI. Tony menegaskan, tidak ada eks pemain OCI yang merupakan karyawan dan bahkan tampil pada Taman Safari Indonesia alias TSI.

Tony menduga ada pihak yang memprovokasi eks pemain sirkus OCI untuk membuat nama TSI ikut terseret perkara ini. Ia mengaku sudah mengantongi nama provokator itu, namun ia tak bersedia membukanya kepada awak media. Ia juga tengah mempertimbangkan tindakan hukum melawan tudingan yang beredar.

Namun, Tony menegaskan ia tidak akan menuntut para eks pemain sirkus OCI yang melapor ke Kementerian HAM. Langkah hukum tersebut juga tidak berkaitan dengan Taman Safari Indonesia. Ia juga mengaku siap jika sewaktu-waktu dipanggil oleh Kementerian HAM.

“Saya sih tahu kenapa yang dipikirkan [dibawa nama] Taman Safari. Pasti [dipikir] uangnya banyak gitu ya. Tapi mereka lupa Taman Safari itu kan berdiri tidak ada kaitan dengan OCI,” ucap Tony.

Usut Sampai Tuntas

Komnas HAM mengonfirmasi bahwa mereka memang sempat mengusut dan memberikan rekomendasi dalam kasus dugaan pelanggaran hak anak dalam aktivitas OCI di 1997. Hal ini disampaikan Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah. Ia menyatakan, kasus dugaan pelanggaran HAM dan hak anak dalam aktivitas OCI memang sudah lama bergulir dan saat itu Komnas HAM sudah memberikan sejumlah rekomendasi.

“Korban pernah melakukan pengaduan ke komnas HAM dan kemudian komnas melakukan penyelidikan dan ada temuan terkait dugaan eksploitasi, penghilangan asal-usul, dan kerja dalam kondisi tidak layak,” ujar Anis kepada wartawan Tirto, Kamis (17/4/2025).

Dalam cuplikan butir rekomendasi Komnas HAM pada 1997 yang diperoleh Tirto, tercantum bahwa Komnas HAM menyatakan adanya temuan pelanggaran HAM atas hak-hak anak di OCI. Meliputi hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan.

Selain itu, indikasi pelanggaran hak bebas dari eksploitasi ekonomi, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan dapat menjamin masa depan serta memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi untuk OCI yakni mengakhiri dan mencegah terjadi tindak yang menimbulkan pelanggaran HAM. Untuk menjernihkan asal-usul para pemain sirkus OCI yang belum jelas, Komnas HAM meminta OCI bekerja sama untuk melakukan publikasi.

Komnas HAM juga menyarankan praktik pelatihan anak-anak pemain sirkus tidak dilakukan dengan disiplin keras dan tidak boleh menjurus penyiksaan, baik fisik atau mental.

“Sengketa antara OCI dengan anak-anak atlet atau eks atlet OCI hendaknya diselesaikan secara kekeluargaan,” bunyi rekomendasi Komnas HAM lainnya.

Atraksi barongsai dan liong di Taman Safari BogorSejumlah pemain melakukan atraksi kesenian liong di Rain Forest, Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/2/2024). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Mafirion, mengecam keras segala bentuk dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan eksploitasi anak dan perempuan sebagaimana yang kesaksian para mantan pemain OCI. Kasus ini, kata dia, bukan hanya mencerminkan kegagalan perlindungan terhadap kelompok rentan, tetapi menunjukkan adanya kelengahan serius dalam pengawasan oleh pihak-pihak terkait.

Komisi XIII, kata Mafirion, seharusnya mendorong agar dilakukan investigasi menyeluruh dan pemulihan menyeluruh bagi para korban, termasuk aspek identitas, kesehatan mental, dan hak-hak sipil lainnya.

“Negara tidak boleh membiarkan praktik eksploitasi berlangsung dengan kedok hiburan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis.

Sementara itu, peneliti bidang hukum dari The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, memandang jika mengacu dari kesaksian eks pemain OCI di Kementerian HAM, dugaan pelanggaran HAM sudah memenuhi unsur. Aspeknya meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perbudakan, pemindahan penduduk secara paksa, dan penyiksaan. Unsur-unsur ini, kata dia, diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Menurutnya, pemindahan anak-anak dari orang tua dan tempat tinggalnya sejak usia sangat muda untuk dipekerjakan dalam aktivitas sirkus memenuhi unsur pemindahan penduduk secara paksa. Sementara apabila korban yang dipekerjakan tidak dibayar dan tanpa dibekali perlindungan hak tenaga kerja, unsur itu menunjukkan praktik perbudakan.

“Penggunaan tenaga anak untuk bekerja sejak usia dini juga merupakan bentuk eksploitasi anak,” ucap Intan kepada wartawan Tirto, Kamis.

Negara, kata Intan, memiliki kewajiban melindungi, memenuhi, dan menghormati hak asasi manusia seluruh warganya. Negara mesti hadir dan menjamin pemulihan hak para korban secara menyeluruh jika kejadian tersebut benar-benar terbukti secara hukum.

Ia mengingatkan agar penegak hukum tidak terus-menerus menunggu sampai ada laporan masuk atau sampai kasus viral terlebih dahulu sebelum bertindak. Kasus seperti yang terjadi pada eks pemain OCI, menjadi peringatan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak pekerja bisa terus berlangsung dalam senyap jika negara absen dari tugas pengawasannya.

Karena peristiwa terjadi sebelum lahir UU Nomor 26/2000, kata Intan, mekanisme hukum yang bisa ditempuh adalah melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, yang dibentuk atas usul DPR dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Terlebih, hasil rekomendasi Komnas HAM pada 1997 dapat menjadi bukti permulaan untuk menyimpulkan apakah terjadi dugaan pelanggaran HAM atau tidak dalam kasus ini. Jika terbukti, Jaksa Agung bisa mulai bergerak.

“Yang paling penting: negara harus menjamin perlindungan dan pemulihan korban. Jangan sampai para korban yang berani bersuara justru dibungkam atau bahkan dipidanakan,” kata Intan.


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |