Fakta di Balik Cuitan: Benarkan Indonesia Tempat Sampah Dunia?

2 days ago 19

tirto.id - Penyanyi Rap asal New York, Amerika Serikat, Azealia Banks, sempat memantik polemik di media sosial X usai menyebut Indonesia di cuitannya, sebagai “tempat sampah dunia”. Hal itu lantas mengundang beragam respons warganet Indonesia. Tidak sedikit warganet yang merasa tersinggung dengan ucapan pelantun lagu ‘Luxury’ itu.

"Indonesia adalah tempat sampah dunia. Benci untuk mengatakannya, tapi Indonesia adalah gurun yang tercemar seperti halnya India," tulisnya, via akun X @azealiaslacewig, pada Jumat (11/4/2025).

"Komplikasi kesehatan masyarakat Indonesia karena dunia mengirimkan sampahnya ke sana akan menyebabkan berkurangnya tenaga kerja dalam 200 tahun ke depan," lanjutnya.

Namun, untuk melengkapi konteksnya, Banks sebetulnya mengkritik proyek eksplorasi luar angkasa yang dilakukan Jeff Bezos dan Elon Musk. Dia menyarankan agar dua orang terkaya di dunia itu lebih fokus pada masalah limbah di Bumi. Salah satunya menangani persoalan sampah.

"Secara harfiah, Indonesia membutuhkan bantuan besar. Daripada mengirim Katy Perry ke luar angkasa, Bezos dan Musk harus mengambil sampah dari tanah air orang-orang itu dan meluncurkannya ke Mars. Gali semua sampah dari laut dan kirimkan sampah ke Mars," tulis Azealia Banks.

@officialtirtoid

Rapper asal Amerika Serikat (AS) Azealia Banks menyebut Indonesia sebagai "tempat sampah" dunia. Hal ini diungkapkan lewat cuitannya di media sosial X pada Sabtu (11/4/2025) lalu. “Indonesia adalah ‘tempat sampah’ dunia. Saya tak suka mengatakannya, tapi Indonesia adalah tanah terlantar yang tercemar seperti halnya India,” tulis Banks. Lebih lanjut, Banks mengaku khawatir dengan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini sebab menurutnya, ada banyak dampak buruk jika Indonesia menjadi ‘tempat sampah’ dunia. Setelah ditelusuri, nyatanya cuitan Banks tersebut merupakan kritikan terhadap sejumlah negara seperti Eropa dan AS yang gemar mengirimkan sampah ke negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. “Kesehatan masyarakat Indonesia akan menurun karena dunia mengirimkan sampahnya ke sana. Selain itu juga akan menyebabkan tenaga kerja berkurang selama 200 tahun ke depan. Secara harfiah, Indonesia membutuhkan bantuan besar,” kata Banks. Selain mengkritisi soal Indonesia sebagai ‘tempat sampah’ dunia, Banks juga menyinggung sejumlah tokoh hingga artis, seperti penyanyi Katy Perry, CEO SpaceX Elon Musk, hingga pendiri Amazon, Jeff Bezos terkait perjalanan ke luar angkasa di tengah krisis bumi. Banks menilai sejumlah figur publik tersebut seharusnya membantu menangani permasalahan sampah di negara-negara seperti Indonesia. Cuitannya pun dibanjiri berbagai respons dari netizen. Meski sempat ada sebagian pihak salah paham terhadap cuitan Banks tersebut, tapi tak sedikit pula yang justru mengapresiasi kesadaran Banks terkait permasalahan sampah di Indonesia. Penulis: Ayu Octavi Anjani Video Editor: Muhammad Rilo Produser: Indana Zulfa #TirtoDaily#azealiabanks#sampah#indonesia

♬ suara asli - TirtoID - TirtoID

Cuitan tersebut tersebut setidaknya mengumpulkan 3,6 juta views dan mendapat balasan 1,1 ribu balasan sampai dengan Kamis (17/4/2025). Melihat ada sejumlah tanggapan yang salah interpretasi, Banks sempat membuat klarifikasi. Dia menegaskan kalau pernyataannya adalah kritik untuk negara lain yang mengirimkan sampah ke Indonesia.

"Ini bukan untuk mengecam mereka (Indonesia), tapi untuk mengecam dunia karena menggunakan mereka sebagai tempat sampah," ujarnya, Minggu (13/4/2025).

Namun, di balik cuitan kontroversial Banks, sebetulnya tersimpan kenyataan pahit yang bisa menjadi renungan kita. Pasalnya, cuitan tersebut tak sepenuhnya salah. Masalah sampah dari negara maju yang diimpor ke Indonesia memang menjadi persoalan yang nyata dan sudah sejak lama disoroti para pemerhati lingkungan dan kesehatan.

Indonesia Impor Sampah untuk Industri Daur Ulang

Betul, Indonesia memang salah satu negara yang masih menerapkan kebijakan mengimpor sampah dari sejumlah negara maju. Istilah dalam nomenklatur regulasi yang berlaku adalah impor limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk keperluan bahan baku industri.

Regulasi yang memayunginya seperti Permendag Nomor 84/2019 Tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya Dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri, serta berbagai aturan perubahannya.

Dalam regulasi sampah impor, disebut bahwa limbah yang dapat diangkut masuk Indonesia hanya berupa sisa, reja, dan scrap atau remah-remah berkategori non-B3.

Dengan dalih memenuhi kebutuhan industri daur ulang, pemerintah selama bertahun-tahun membuka pintu bagi masuknya limbah plastik dari berbagai belahan dunia.

Sebagian besar limbah itu memang diklaim telah melalui proses pemilahan, namun kenyataannya, tak sedikit sampah yang masuk mengandung kandung B3 alias masih tercampur bahan berbahaya. Ini tentu mengancam kesehatan masyarakat dan mencemari kondisi lingkungan sekitar.

Berdasarkan investigasi Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton), kandungan limbah plastik dalam satu kontainer sampah impor dapat mencapai 35 persen. Australia dan Jepang menjadi negara yang sempat disoroti Ecoton sebagai pengirim besar impor sampah ke Indonesia.

Data yang dihimpun Ecoton dari Statistik Perdagangan Komoditas PBB (UN Comtrade), ada sekitar 22.333 ton sampah plastik asal Australia masuk ke Indonesia selama 2023-2024. Meningkat 27,9 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 16.100 ton. Jepang pada 2023, mengimpor sampah ke Indonesia sebanyak 12.460 ton.

Pengelolaan yang tak cakap dan adanya kandungan limbah berbahaya menyusup ke kontainer sampah impor justru meningkatkan pencemaran lingkungan. Seperti cemaran kadar dioksin di lingkungan yang dikenal sebagai salah satu polutan paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Senyawa ini dihasilkan dari pembakaran sampah plastik.

Pada 2022, UN Comtrade mencatat volume impor sampah plastik Indonesia mencapai lebih dari 194.000 ton. Sementara data BPS, total impor sampah Indonesia pada 2024 mencapai 262.903 ton atau naik 4 persen dari 2023 (252,3 ton).

Corporate Strategy Executive Waste4Change, Hana Nur A, menyatakan bila menengok data dari Eurostat, sampah plastik negara-negara Eropa di tahun 2023 paling banyak masuk ke Asia. Hana menyebut Indonesia menjadi negara ketiga terbanyak. Maka pernyataan bahwa Indonesia seperti tempat sampah dunia tidak sepenuhnya keliru.

Kebijakan ini, kata Hana, berdampak negatif bagi Indonesia. Sebab kita belum rampung dengan pekerjaan rumah mengelola sampah domestik.

Dengan adanya impor sampah, banyak pebisnis daur ulang dengan mudah mendapat material. Praktik ini lebih mudah dibandingkan ikut membangun atau memperbaiki supply chain dalam negeri.

Hal ini dikarenakan sampah dari negara maju biasanya sudah tersortir atau terpilah dengan baik dibandingkan bila harus mengambil sampah dari dalam negeri. Secara cost mengimpor sampah dianggap lebih menguntungkan.

“Terlebih lagi bila penegakan hukum terkait impor sampah ini tidak segera diperketat, maka praktiknya akan tetap terjadi,” ucap Hana kepada wartawan Tirto, Rabu (16/4/2025).

Dari sudut pandang negara maju, mengekspor sampah mereka ke negara berkembang lebih ekonomis ketimbang melakukan pengelolaan sendiri. Negara berkembang seperti Indonesia sering kali melihat ini sebagai peluang bisnis. Sebab negara berkembang biasanya mendapatkan keuntungan dengan mendapat biaya kelola dari pihak negara maju dan mengambil sebagian material yang masih bisa dijual atau didaur ulang.

“Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya sanksi atas pembuangan sampah ke lingkungan di Indonesia membuat praktik bisnis yang tidak ramah lingkungan ini masih marak terjadi,” ujar Hana.

PENGELOLAAN SAMPAH DI TPST SAMTAKU BALIPekerja memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku di kawasan Jimbaran, Badung, Bali, Senin (29/8/2022). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/hp.

Dia mendorong agar pembenahan pengelolaan sampah domestik perlu dipercepat agar lingkungan Indonesia tidak rusak karena sampah. Percepatannya bisa dimulai merancang strategi nasional yang disepakati oleh berbagai stakeholder baik dari pemerintah pusat dan daerah, industri swasta terkait, hingga masyarakat.

“Bersamaan dengan hal ini, penegakan hukum di semua lini sesuai pasal dan amanah UU, PP dan peraturan persampahan lainnya,” lanjut dia.

Sementara itu, Juru Kampanye Isu Plastik dan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar menilai Indonesia memang menerapkan kebijakan impor sampah, tetapi anggapan sebagai tempat sampah dunia perlu dikritisi. Pasalnya, ini menunjukkan brand multinasional dan negara-negara maju tidak mampu mengelola sampah mereka sendiri hingga membuang ke Indonesia.

Kebijakan impor juga awalnya untuk memenuhi kebutuhan bahan industri daur ulang, akan tetapi fakta di lapangan justru sering terjadi penyelundupan limbah B3 dan pencampuran limbah berbahaya dengan limbah untuk kebutuhan industri.

“Beberapa masih menyisipkan sampah plastik, seperti kemasan makanan saat impor sampah kertas ke Indonesia. Pada akhirnya, sampah campuran plastik dari hasil impor dikelola dengan cara dibuang atau dibakar, menjadi residu dan beban pengelolaan sampah di dalam negeri,” ucap Ibar kepada wartawan Tirto, Rabu (16/4/2025) .

Menurut Ibar, negara maju memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola sampah tetapi tidak bertanggung jawab sehingga mereka membuang sampah ke negara berkembang. Di sisi lain, impor sampah terus terjadi karena adanya permintaan industri daur ulang dalam negeri memenuhi kebutuhan sampah yang lebih bersih. Kebanyakan memandang sampah plastik dari dalam negeri masih kotor karena sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang belum melakukan pemilahan secara baik.

Ibar merasa pengelolaan sampah domestik di beberapa daerah/kota mengalami perubahan baik akan tetapi jika tidak ada support dari pemerintah pusat maka masih banyak tantangan ke depan. Pengelolaan sampah secara pemilahan dari sumber masih belum mendapatkan perhatian prioritas dan justru lebih fokus mendorong kebijakan teknologi membakar sampah.

“Kebijakan pengurangan sampah dari hulu artinya dari produksi juga masih belum mendapatkan prioritas,” kata Ibar.

Pengelolaan sampah di Sungai Watch BaliPetugas mengumpulkan sampah yang telah dipilah di Sungai Watch Ketewel, Gianyar, Bali, Senin (24/3/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz

Namun demikian, setidaknya ada kabar yang bisa memberikan secercah harapan. Sejak akhir tahun kemarin, Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan mulai tahun 2025, impor sampah alias limbah untuk kebutuhan industri akan dihentikan. Hal ini ditegaskan langsung Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq.

"Jadi saya ingatkan kita semua, tahun depan tidak ada lagi impor plastik. Cukup sudah, plastik kita cukup banyak dan tidak terkelola dengan baik," ujarnya mengutip Antara, Oktober 2024 lalu.

Hanif mengajak semua importir ikut berkontribusi dalam upaya menyelesaikan isu sampah plastik di Indonesia dengan terjun langsung ke hulu, bukan mendatangkan sampah dari luar negeri. Impor sampah, dipandang Hanif sebagai langkah tidak bijaksana, sehingga mereka yang mencari keuntungan dari sampah seharusnya bergerak bersama memecahkan masalah pengurangan dan pengelolaan sampah domestik.

Bentuk Kolonialisme Sampah

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat, timbulan sampah di Indonesia pada 2024 mencapai 27,74 juta ton atau sekitar 76 ribu ton per harinya. Sampah plastik menjadi penyumbang terbesar kedua (19,65%), di bawah sampah dari makanan sisa (39,05%).

Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar, menyatakan bahwa anggapan Indonesia sebagai tempat sampah dunia adalah pernyataan yang benar dan perlu ditelaah dari perspektif kolonialisme sampah. Kita tak cuma menjadi wilayah pembuangan sampah yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga mendapat kontribusi sampah cukup signifikan berasal dari sampah impor.

Belum lagi, sampah jenis tertentu yang dihasilkan perusahaan multinasional menggunakan kemasan sekali pakai, seperti saset. Kebijakan impor sampah yang berlangsung sejak lama ini memperburuk kondisi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, terutama di wilayah pembuangan sampah seperti di Serang, Karawang dan Sidoarjo.

“Impor sampah ke Indonesia untuk kebutuhan industri daur ulang selama ini dimanfaatkan juga untuk membuang sampah-sampah residu ke Indonesia,” kata Abdul kepada wartawan Tirto, Rabu (16/4/2025).

Bank Sampah Budi LuhurSampah plastik sebelum ditimbang di Bank Sampah Budi Luhur, Jakarta. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Menurut Ghofur, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Uni Eropa menjadi pihak paling banyak mengekspor sampah ke Indonesia. Negara-negara maju enggan melakukan proses pengolahan sampah di negaranya sendiri karena alasan biaya, tenaga kerja, dan adanya celah regulasi di negara berkembang. Sementara dari kacamata negara berkembang, impor sampah menjadi peluang ekonomi.

Ghofur menilai, pengiriman sampah dari negara maju ke negara berkembang merupakan bentuk kolonialisme sampah. Padahal, pengelolaan sampah domestik di Indonesia sendiri terbilang belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan sampah jenis tertentu seperti sampah plastik dan tekstil tidak bisa didaur ulang. Tantangan lain pengelolaan sampah di Indonesia adalah ketiadaan usaha pencegahan dan pengurangan sampah.

“Tantangan terbaru yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah daerah dalam tata kelola sampah adalah kebijakan penutupan 343 TPA yang menimbulkan situasi darurat. Sampah di ratusan kabupaten/kota dibiarkan tanpa penanganan,” ungkap Ghofur.


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |