Food Vlogger dan Industri Kuliner: Saling Dukung atau Merugikan?

4 hours ago 3

tirto.id - Polemik mengenai keberadaan food vlogger kembali menyeruak ke permukaan. Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyoroti maraknya berbagai konten review mengenai makanan dan kosmetik yang merugikan produsen dan konsumen.

“Hari ini yang menjadi keresahan masyarakat karena adanya kelengahan Kementerian Perdagangan dalam rangka memitigasi, dalam rangka melindungi, konsumen-konsumen kita. Panjenengan tahu, akhirnya celah itu dimanfaatkan oleh para influencer kita untuk melakukan review-review produk skincare dan juga makanan,” tuturnya dalam rapat dengan Menteri Perdagangan, Budi Santoso, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/3/2025).

Mengutip Antara, Mufti mengkritik Kementerian Perdagangan yang dinilai lambat dan kurang sigap dalam mengantisipasi dampak dari tren tersebut. Dia mengatakan, ada celah hukum yang dimanfaatkan influencer untuk mengambil kepentingan pribadi, sebagai tanda ketidakhadiran pemerintah dalam melindungi pengusaha sekaligus konsumen.

Dia menjabarkan dua contoh, salah satunya melibatkan pemerasan terhadap pengusaha skincare yang diperas, karena review produknya oleh influencer. “Kedua, kalau panjenengan tahu, dua hari lalu, ada namanya Codeblu. Dia melakukan review terhadap makanan, yang kemudian si pemilik makanan datang dan ternyata diperas Rp350 juta,” ujar Mufti lagi.

Kasus yang disebut belakangan oleh Mufti melibatkan food vlogger Codeblu alias William Anderson. Kasus yang melibatkan Codeblu sempat ramai karena ada dugaan pemerasan oleh pihaknya terhadap sebuah toko roti di Jakarta berinisial CT.

Kasus ini bermula ketika Codeblu mengunggah sebuah ulasan negatif pada 15 November 2024 soal salah satu toko kue yang diduga telah memberikan nastar berjamur ke sebuah panti asuhan. Dalam unggahan itu, Codeblu mengaku mendapat informasi dari seseorang yang diduga bekerja di toko kue tersebut.

Meskipun tak disebutkan nama brand pemilik toko kue itu, publik banyak yang berasumsi bahwa toko kue yang dimaksud Codeblu ini adalah Brand CT. Pada akhirnya, brand tersebut mendapat banyak kritikan dari warganet.

Namun, kemudian, beredar sebuah tangkapan layar percakapan yang tersebar di media sosial. Dalam tangkapan layar ini, Codeblu diduga meminta uang tebusan Rp350 juta untuk menghapus video review atas toko kue itu.

Pada 25 Februari 2025, Codeblu kemudian membuat sebuah unggahan dengan narasi permintaan maaf karena emosi dalam menyampaikan pesannya.

"Tidak ada maksud pemerasan atau maksud negatif, saya hanya memberi edukasi kepada pengusaha dan kepada masyarakat," begitu ujarnya.

Unggahan lain dari akun Codeblu juga menunjukkan Rosa, istri William, yang memberi penjelasan. Rosa menyebut angka Rp350 juta yang disebut sebagai pemerasan, disalahartikan. Percakapan yang viral di media sosial konteksnya adalah negosiasi untuk pembuatan konten kerjasama.

Pengusaha Kuliner Mendukung Food Vlogger

Terlepas dari narasi pemerasan yang ada, simbiosis mutualisme sebenarnya dirasakan oleh food vlogger, pelaku usaha kuliner, dan konsumen.

Dewi (27) adalah seorang penikmat konten kuliner di media sosial. Dia mengaku, konten-konten food vlogger membantunya ketika ia mencari makanan yang sesuai dengan seleranya di tempat baru.

“Karena kadang kalo kita ke daerah baru, kita gak tau harus makan apa. Takutnya malah kena scam, sudah mahal gak enak pula,” terangnya ketika berbicara dengan Tirto, Selasa (4/3/2025).

Dia juga menyebut keberadaan food vlogger mengubah caranya dalam memilih makanan. Dewi akan cenderung memilih makanan yang direkomendasikan oleh para influencer, terutama di media sosial seperti TikTok.

“(Misal) tadinya mau menunya yang kita gak pernah makan, karena takut zonk, bisa lihat ke media sosial dulu. Food vlogger to the rescue, gitu sih,” tuturnya diselingi tawa.

Dewi juga menyebut ada kecenderungan tempat makan yang mendapat review dan kemudian viral menjadi sangat ramai. “Paling itu negatifnya, jadi gak bisa nikmatin makanan yang kita mau,” tambah dia lagi.

Para pelaku usaha juga sebenarnya banyak yang memandang positif keberadaan food vlogger. Ari Nikolas, Pemilik Se’i Sapi Lamalera, mengatakan, kebanyakan dari food vlogger yang datang ke tempatnya juga bertindak layaknya konsumen pada umumnya saja. Mereka mencoba makanan di tempatnya untuk kemudian diunggah ke media sosial untuk berbagi dengan kerabatnya.

Dia juga sempat mengakui di awal berdirinya Lamalera pada tahun 2018, dia sempat menerima kritik dari unggahan review sosial media. Tapi, ia menjadikan kritik tersebut sebagai bahan pembelajaran untuk evaluasi usahanya ke depan. “Dia gak minta apa-apa, dia share aja, dia gak sampe meres, gak sampe lebih jauh lah, cuman nge-share aja pengalamannya,” tegas Ari dalam percakapan via telepon dengan Tirto, Selasa (4/3/2025).

Dia juga mengaku sempat mendapat tawaran kerja sama dengan food vlogger dengan konsep barter, yakni unggahan media sosial ditukar dengan makan gratis. Sejauh pengalamannya, mereka yang menawarkan skema ini juga bisa meminta dengan sopan dan memberi sama-sama keuntungan. “Gue belum pernah bertemu yang sampai merepotkan sih,” tambah Ari lagi.

Lebih lanjut, menurut Ari, keberadaan food vlogger serta aplikasi seperti Google Review membantunya dalam mengolah penerimaan konsumen terhadap produk yang dia tawarkan. “Menurut gue positif, menurut gue gak ada masalah karena memang ini sebenernya salah satu konsekuensi jaman sekarang ya. Pada akhirnya memang ini akan membuat kita tau lebih cepat ini produk ini bisa diterima sama market atau enggak. Lebih cepat kita taunya gitu,” tutur Ari lagi.

Senada, Cella dan Wulang, pasangan di balik restoran Parot Siramami, juga merasa keberadaan food vlogger sejauh ini banyak memberi dampak positif bagi usaha mereka. “Bagi kami sih aman-aman saja. Selama dia gak bermaksud negatif, maksudnya nge-review untuk menjatuhkan, dia tuh sangat ngebantu exposure dan awareness orang-orang,” kata Cella kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Dia juga menjelaskan kalau dari pengalamannya selama sekitar setahun belakangan, terkait membuka tempat makan di Yogyakarta, kedatangan satu orang food vlogger bisa menarik kedatangan teman-temannya yang lain. “Ada yang ikut kayak FOMO sama tempat baru inilah misalnya gitu,” tambah Cella lagi.

Dalam menjalankan warung makan ini, mereka justru kerap merangkul food vlogger yang secara sukarela datang dan menyebarluaskan tentang usaha mereka tersebut. Dalam rangka menjaga relasi, mereka pernah menjadikan food vlogger ini menjadi orang yang pertama mencoba menu baru yang mereka buat.

Lebih lanjut, Cella juga mengatakan, serupa dengan Ari dengan restoran Lamalera, dia juga kerap mendapat tawaran untuk barter. Dalam hal ini dia cenderung selektif. “Karena masing-masing influencer itu punya massa yang berbeda juga kan,” tuturnya.

Menurut dia, alangkah baiknya jika food vlogger punya pengetahuan ataupun ciri khas yang bisa membuat kontennya menonjol. Sebab, berdasar pengalamannya, ada saja pembuat konten yang bahkan tidak melakukan riset saat akan datang tempatnya. “Menurut saya gak semua orang bisa nge-review kan. Jadi bisa saja food content creator benar-benar modal kamera aja gitu kan,” tambah dia.

Perlu Ada Aturan Main yang Jelas

Menanggapi kisruh soal keberadaan food vlogger, Pengamat Marketing Yuswohady setuju kalau keberadaan mereka memberi dampak positif. “Tapi kuncinya harus objektif,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).

Dia juga menyebut, idealnya, ada basis kompetensi yang dimiliki food vlogger. Sebab, ada potensi merugikan industri kuliner, jika ada komentar dari food vlogger yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Di media sosial ini kan dunia rimba raya, nggak ada aturannya, semua orang bisa ngomong dan berkomentar. Kalau dia me-review makanan, kan idealnya ada dasar kompetensi untuk itu.” ujarnya.

Meski dia juga sadar betul, kalau meregulasi konten di sosial media adalah sesuatu hal yang sangat sulit. Menurut Yuswohady, yang bisa diupayakan adalah meregulasi influencer. “Artinya kalau dia kalau mengomentari atau expert di satu bidang tertentu, dia harus pernah bekerja di bidang itu atau punya ijazah atau sertifikasi atau semacamnya terkait hal itu,” tambahnya.

Sebab, menurut dia, fenomena yang ada di masyarakat saat ini adalah melihat influencer dengan pengikut (followers) yang banyak. Padahal, bisa saja followers tersebut didapat dengan cara menciptakan kontroversi. Hal ini menimbulkan anggapan di masyarakat, orang yang punya banyak followers kemudian ahli di bidang tertentu.

“Kalau semua orang bisa dan semua orang itu merasa dirinya pakar ya akan merugikan brand,” tambahnya.

Dia juga menekankan pentingnya influencer untuk melakukan pembedaan konten endorse atau berbayar dengan konten penilaian produk yang objektif. Sehingga tidak ada konflik kepentingan dalam akun yang dia bangun.

Conflict of interest artinya, demi karena dia dia bayar, harus ngomong bagus padahal itu nggak bagus gitu,” ujar Yuswohady.

Selain dengan menertibkan influencer, alternatif lain yang bisa menjadi solusi adalah dengan pembentukan asosiasi, misalnya asosiasi food vlogger. Menurut Yuswohady, dalam asosiasi, ada kode etik yang mengikat. Di sisi lain, keberadaan asosiasi ini lebih luwes ketimbang pemerintah membuat aturan yang cenderung kaku.

Kode etik ini juga yang akan mengikat secara moral, sementara asosiasi bertindak jadi pengawasnya. "Kode etik itu yang mengikat. Jadi kalau misalnya ada pemerasan, mereka kena sanksi, misalnya,” usulnya.


tirto.id - News

Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |