Ironi RUU TNI: Soal Jabatan Dikebut, Kekerasan Tentara Luput

19 hours ago 6

tirto.id - Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali ditengarai melakukan aksi kriminalitas disertai tindak kekerasan. Teranyar, seorang prajurit TNI dari matra Angkatan Darat (AD) diduga menembak tiga polisi hingga tewas di Kabupaten Way Kanan, Lampung. Penembakan itu terjadi ketika tiga polisi itu menggerebek lokasi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Senin (17/3/2025) petang.

Korban yakni Kapolsek Negara Batin, Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus Apriyanto, dan Bripda M. Ghalib Surya Ganta.

Sehari setelah kejadian, Kodam II/Sriwijaya menahan dua prajurit yang diduga terlibat dalam penembakan tersebut. Mereka adalah Peltu Lubis selaku Dansubramil Negara Batin dan Kopka Basarsyah selaku anggota Subramil Negara Batin.

"Benar sudah ditahan," kata Kapendam II/Sriwijaya, Kolonel Inf. Eko Syah Putra Siregar, saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (18/3/2025).

Keduanya kini ditahan di Puspom TNI AD Mako Kodim 0427/WK. Mereka menyerahkan diri pada Senin pukul 23.30 WIB malam. Selain itu, turut dilakukan penangkapan terhadap terduga pelaku sabung ayam atas nama Zulkarnaen.

Eko juga menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan investigasi atas dugaan keterlibatan dua prajurit TNI dalam insiden tersebut. Investigasi gabungan juga dilakukan bersama Bareskrim Polri.

"Kita masih menunggu proses investigasi," ujar Eko.

Sementara itu, Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada tiga personel Polri yang gugur dalam tugas tersebut. Polri juga akan memberikan santunan kepada keluarga korban.

Dari hasil autopsi yang dilakukan selama 10 jam terhadap jenazah ketiga korban, polisi menemukan bekas tembakan di bagian kepala dan dada. Vice Commander DVI Polda Lampung, Ajun Komisaris Besar Legowo, menyampaikan bahwa pada jasad Ajun Komisaris Anumerta Lusiyanto ditemukan lubang bekas peluru dari arah depan di dada bagian kanan.

Pada jasad Aipda Anumerta Petrus Apriyanto, polisi mendapati lubang bekas peluru dari arah depan, tepatnya di mata sebelah kiri. Sementara itu, di jasad Briptu Anumerta Ghalib, terdapat lubang bekas peluru di sisi kiri bibir menembus rongga mulut. Proyektil peluru saat diautopsi bersarang di tempurung kepala dan tenggorokan.

“Hal tersebut menyebabkan kematian anggota terbaik kami yang gugur saat melaksanakan tugas,” kata Legowo dalam konpers di RS Bhayangkara Polda Lampung, Bandar Lampung, Selasa (18/3/2025), sebagaimana disiarkan Kompas TV.

Kriminalitas disertai kekerasan yang diduga dilakukan prajurit TNI juga terjadi di Aceh Utara. Seorang prajurit TNI dari matra Angkatan Laut (AL), Kelasi Dua berinisial DI, ditahan atas dugaan pembunuhan terhadap Hasfiani alias Imam.

Motif pembunuhan itu diduga hendak menguasai kendaraan milik korban. Jasad korban ditemukan dalam karung di kawasan Gunung Salak, Kecamatan Sawang, Aceh Utara.

Kejadian tersebut dikonfirmasi oleh Dandenpomal Lanal Lhokseumawe, Mayor Laut (PM) A. Napitupulu. Dia mengatakan bahwa DI masih menjalani proses pemeriksaan sehingga kronologi pembunuhan belum dapat dirinci.

Sejauh ini, proses penetapan tersangka hanya satu orang. Napitupulu memastikan tidak ada penculikan sebelum korban dibunuh. Dia juga tak menampik bahwa dalam peristiwa ini korban dibunuh dengan cara ditembak.

"Setelah ada visum et repertum baru bisa kami jelaskan [lebih rinci]," ungkap Napitupulu, Selasa (18/3/2025).

Dua kasus tersebut menegaskan bahwa tindak kekerasan aparat militer bukanlah insiden yang terisolasi. Ia agaknya merupakan gejala sistemik yang memerlukan perhatian serius. Kasus penembakan di Aceh Utara bahkan mengingatkan kita dengan penembakan bos rental mobil di Tangerang oleh prajurit TNI AL yang kasusnya kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Militer.

Revisi UU TNI Mengkhawatirkan

Ironi tersebut semakin berlapis mengingat kejahatan itu dilakukan saat proses revisi Undang-Undang TNI tengah dikebut oleh DPR dan pemerintah.

Draf revisi UU TNI itu sendiri menuai gelombang kritik dari masyarakat sipil karena masih memuat pasal-pasal bermasalah. Di tengah kondisi itu, wajarlah bila masyarakat sipil semakin khawatir bahwa perluasan kewenangan TNI justru akan mengancam supremasi sipil.

Selain dikebut, proses revisi UU TNI dilakukan dengan diam-diam. Bahkan, pada Jumat-Sabtu pekan lalu, Panja RUU TNI dan pemerintah melakukan rapat pembahasan secara tertutup di sebuah hotel mewah di Jakarta.

Lalu, pada Selasa (18/3/2025), seluruh fraksi di DPR RI menyetujui RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Jadwal Rapat Paripurna terdekat digelar bersamaan dengan penutupan masa reses, Kamis (20/3/2025) mendatang.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai bahwa kasus penembakan di Way Kanan dan Aceh Utara bukan hanya mencerminkan persoalan brutalitas prajurit TNI, tetapi juga menguak buruknya pengawasan terhadap aktivitas mereka di luar dinas.

Dalam kasus di Lampung, menurut Khairul, pelaku diduga terlibat aktivitas ilegal perjudian sabung ayam. Hal itu menunjukkan bahwa pengawasan terhadap perilaku prajurit di luar tugas dinas kurang optimal. Oleh karena itu, pimpinan TNI perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan disiplin prajurit di luar dinas.

“Penegakan disiplin dan hukum secara tegas untuk memastikan ada efek jera bagi prajurit yang melanggar aturan,” kata Khairul kepada wartawan Tirto, Selasa.

Khairul pun menyarankan agar kepemilikan dan penggunaan senjata api dibatasi untuk meminimalisasi penyalahgunaannya. TNI harus mewaspadai adanya fenomena psikologis weapon effect dan escalation of commitment yang memicu kecenderungan agresi dari anggotanya yang memegang senjata api.

Revisi UU TNI yang sedang dibahas di DPR pun seharusnya memasukkan ketentuan yang jelas dan tegas terkait pengawasan prajurit di luar dinas. Aturan pengendalian senjata api sekaligus konsekuensi hukum bagi yang melanggar aturan jelas harus ada.

Masalahnya, pasal-pasal yang direvisi di UU TNI malah terlalu fokus pada perluasan kewenangan dan jabatan anggota TNI di instansi sipil.

Di sisi lain, menurut Khairul, pemerintah dan DPR juga perlu mendorong revisi UU Peradilan Militer. Celah-celah impunitas yang bisa terjadi dalam peradilan militer harus ditutup jika tak ingin kepercayaan publik terhadap TNI semakin turun.

Tak bisa dimungkiri bahwa masyarakat melihat bahwa prajurit TNI pelanggar hukum kerap tidak mendapat hukuman yang setimpal. Hal itu pun akan meningkatnya potensi pelanggaran di masa depan karena efek jera yang dihasilkan tak maksimal.

Terlepas dari persoalan-persoalan itu, Khairul menilai bahwa komitmen TNI dalam penegakan hukum di internalnya belakangan sudah sangat meningkat. Kekhawatiran soal impunitas, misalnya, ditepis dengan penanganan pidana yang relatif cepat dan lebih terbuka dari masa-masa sebelumnya.

Dia berharap tren itu berlanjut seiring dengan wacana revisi UU Peradilan Militer yang perlu segera dilakukan.

“Impunitas membuat terganggunya hubungan antara TNI dan institusi lain, seperti Polri dan aparat penegak hukum lain, yang memperburuk koordinasi di lapangan dan melemahkan supremasi hukum,” ucap Khairul.

Urgensi Revisi UU Peradilan Militer

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai tragedi berdarah di Way Kanan menegaskan bahwa konflik TNI-Polri bersifat laten. Catatan SETARA Institute menunjukkan bahwa selama 2014-2024, telah terjadi 37 konflik dan ketegangan antara dua institusi tersebut.

SETARA Institute mendesak pelaku penembakan di Way Kanan diproses dengan mekanisme hukum pidana. Pasalnya, tindakan pelaku tidak ada hubungan sama sekali dengan tugas-tugas kemiliteran.

“Sebagaimana ketentuan UU TNI yang memandatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diproses dalam kerangka pidana umum,” kata Hendardi kepada wartawan Tirto, Selasa (18/3/2025).

Pemerintah pun seharusnya hadir menegakkan supremasi hukum sesuai perundang-undangan. Menurut Hendardi, anggota TNI yang sering kali tidak mau tunduk pada peradilan umum selama ini menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa.

Secara lebih substantif, pemerintah beserta TNI dan Polri perlu membangun karakter dan mentalitas dengan pendekatan yang sistemik, struktural, dan kultural. Penanganan konflik dan ketegangan antara TNI dan Polri harus dilakukan secara substantif dan fundamental dengan membangun kepatuhan anggota terhadap disiplin bernegara dan berdemokrasi.

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyatakan bahwa kasus penembakan di Aceh dan Lampung semakin menambah rapor merah dan daftar panjang kekerasan dan penggunaan senjata api secara ilegal yang dilakukan oleh anggota TNI.

Imparsial mencatat, terdapat 41 kasus kekerasan yang melibatkan dan dilakukan prajurit TNI di sepanjang 2024 hingga kuartal pertama 2025. Korban yang jatuh tercatat sebanyak 67 orang dengan rincian 17 korban di antaranya meninggal dunia.

Bentuk kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah pemukulan atau penganiayaan (25 kasus). Itu disusul kasus penembakan yang menyebabkan korban tewas (8 kasus), penganiayaan menyebabkan korban tewas (5 kasus), dan penembakan sewenang-wenang (3 kasus).

“Dalam catatan kami, setiap prajurit yang terlibat dalam tindak pidana umum selalu diproses dan diadili di peradilan militer,” kata Ardi kepada wartawan Tirto, Selasa.

Menurut Ardi, peradilan militer pun cenderung menjadi sarang impunitas bagi prajurit TNI karena vonis yang diberikan tidaklah menimbulkan efek jera. Maka prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum mestinya diproses pula dalam sistem peradilan umum.

Hal itu pun sebenarnya merupakan amanat UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI serta Polri sebagai Aparat Pertahanan dan Keamanan Negara.

Sayangnya, hingga saat ini, TNI dan pemerintah masih enggan melakukan revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemerintah justru berupaya melakukan perubahan terhadap Pasal 65 Ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.

Hal tersebut jelas bertentangan dengan semangat dan agenda Reformasi TNI.

Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda Reformasi yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 Ayat 4 TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam pelanggaran hukum pidana umum.

Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law, tetapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

“Termasuk, mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum,” tegas Ardi.


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |