tirto.id - Salah satu utas di saluran media sosial X pada akun bot @tanyakanrl mengupas sisi lain perihal hari raya lebaran. Tidak hanya mengenai perayaan bagi umat Islam, namun lebaran dinilai menyimpan sisi negatif berkaitan dengan interaksi antar keluarga yang kerap menanyakan hal-hal yang tabu dan menyinggung perasaan. Walaupun alasannya untuk membuka percakapan atau basa-basi karena lama tak berjumpa setelah berpisah lamanya.
"Dosa gak sih males bgt silaturahmi pas lebaran? Mana tahun ini ngumpulnya di rumah tante pula yang gudangnya orang2 toxic, setiap ketemu hal pertama yang keluar dari mulut mereka, kok kamu makin kurus banget?" demikian dikutip dari cuitan akun tersebut pada 15 Maret 2025.
Ternyata cuitan tersebut bukan sekedar 'omon-omon' di media sosial, namun juga banyak ditemukan di dunia nyata. Salah satunya dialami oleh Andi Febriansyah, salah seorang guru honorer yang sempat mengalami cleansing atau pemberhentian sepihak oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada 2024 lalu.
Kepada Tirto, dia sempat membagikan sejumlah daftar pertanyaan yang menurutnya merupakan hal toksik dan kerap dia temui saat momen lebaran tiba. Pertanyaan tersebut seperti 'kenapa belum menikah?', 'kapan menikah?', 'kerja dimana?', 'gajinya berapa?'.
Menurutnya, pertanyaan semacam itu bukanlah hal yang patut disampaikan walaupun kepada keluarga dan orang terdekat hanya demi mencairkan percakapan.
"Nggak suka dibanding-bandingkan, sama orang lain yang mungkin secara segi finansial atau capaian hidupnya lebih dulu mapan dibandingkan kita," kata Andi saat dihubungi Tirto, Minggu (16/3/2025).
Dia menyadari bahwa lingkungan keluarganya yang berasal dari suku Betawi memiliki karakter yang terbuka dan berbicara apa adanya tanpa tedeng aling-aling. Sehingga, dia hanya bisa menghadapi pertanyaan toksik tersebut dengan diam sambil berupaya memberikan penjelasan mengenai kondisinya saat ini.
"Saya diam saja sih, atau saya tinggal ngopi, apalagi lingkungan saya Betawi yang ceplas-ceplos, tapi beberapa saya coba jelaskan kondisinya seperti apa," kata Andi.
Sebenarnya, Andi tak bermaksud untuk menutup diri. Dia terbuka untuk bercerita sembari bertukar kabar terutama kondisinya yang sempat mengalami cleansing, lalu dipindahtugaskan dari semula mengajar di SMA, kini di SD. Namun, dia berharap adanya proses percakapan yang lebih santai tanpa harus membandingkan atau terkesan menghakimi.
"Percakapan yang lebih soft saja, seperti lebaran ini cukup ditemani dengan percakapan bagaimana kondisi kemarin yang sudah dilewati, hari ini cukup disyukuri, lalu percakapan mengenai liburan, tentang kabar saudara, masakan di rumah, dibandingkan harus percakapan yang penuh dengan ekspektasi terlalu tinggi di luar kendali diri kita," kata Andi.
Di sisi lain, masih terdapat masyarakat Indonesia yang cukup beruntung dan terhindar dari kultur pertanyaan toksik selama lebaran. Salah satunya, Karwi, eks pekerja Sritex yang saat ini belum memiliki penghasilan dan pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan dan lebaran.
Karwi mengaku sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan di masa depan setelah dirinya terkena PHK oleh Sritex. Dia juga bersiap bila harus ditanya oleh sanak keluarganya perihal kondisi hidupnya yang harus berubah setelah Sritex pailit.
"Itu pasti, apalagi keluarga yang jauh, pas mereka kumpul lebaran, mereka pasti menanyakan, bagaimana Sritex bisa bangkrut sampai PHK massal, terus dapat pesangon atau tidak dapat THR atau tidak, pasti itu yang mereka tanyakan," kata Karwi.
Dirinya mengungkapkan, tak akan tertutup dan siap terbuka kepada keluarganya apabila ditanya mengenai nasib karirnya, bekas perusahaannya hingga segala hal berkaitan dengan PHK Sritex saat lebaran nanti. Menurutnya, pertanyaan semacam itu bukan merupakan hal yang toksik. Dia berani terbuka karena memiliki keluarga yang saling terbuka dan rukun satu sama lain.
"Alhamdulillah dari dulu keluarga besar saya selalu terbuka, rukun dan kompak, biasanya kami saling bantu bila ada salah satu keluarga yang sedang kesusahan atau terkena musibah," kata dia.
Kembalikan Lebaran yang Fitri
Pertanyaan toksik selama lebaran ternyata telah menjadi fenomena tahunan. Hal itu terekam dari jejak rekam digital yang selalu menunjukkan kekhawatiran yang sama perihal pertanyaan toksik yang ternyata datang dari orang terdekat selama lebaran.
Psikolog Anak dan Remaja, Mutia Aprilia, mengungkapkan bahwa fenomena pertanyaan toksik nyaris menjadi sebuah tradisi di Indonesia, karena selalu berulang di setiap tahunnya. Meski demikian, hal itu tidak bisa dibenarkan karena besar kemungkinan lawan bicara yang mendapat pertanyaan tidak berkenan untuk menjawab karena berkaitan dengan ranah privasi atau hal yang sensitif.
"Dampaknya bisa membuat hubungan penanya-penjawab memburuk atau menambah stress atau kecemasan untuk si penjawab karena merasa belum bisa menjawab pertanyaan sesuai ekspektasi," kata Mutia.
Agar hal tersebut tak terus menerus berulang, maka momen lebaran dapat diisi dengan pertanyaan ringan yang berkaitan dengan hobi, topik lain yang dapat menjadi pemersatu. Daripada harus saling membandingkan pencapaian dan keunggulan satu sama lain.
"Sangat bisa kalau kita mau meninggalkan tradisi pertanyaan-pertanyaan yang kurang mengenakkan tersebut, misalnya dengan memberikan pertanyaan terkait hobi saat ini, resep masakan atau resep masakan, rekomendasi dokter atau ahli," kata Mutia.
Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, mengingatkan makna lebaran sebagai bentuk perayaan kebahagiaan terkhusus bagi umat Islam setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan lamanya.
"Kita berlebaran adalah untuk berbahagia karena kita telah berpuasa sebulan penuh sebelumnya," kata Anwar Abbas.
Menurutnya, pertanyaan yang dinilai toksik seperti menanyakan 'kapan kawin', 'kapan punya anak' dapat ditanyakan dengan sejumlah prasyarat, seperti kedekatan, dan pengetahuan akan psikologis masing-masing. Namun, jika kondisi sedang tidak baik hal tersebut tidak dapat ditanyakan karena justru akan melukai hati satu sama lain.
"Tapi kalau ada teman yang tidak punya anak jangan ditanya berapa anaknya atau perempuan yang belum punya suami jangan ditanya tentang suaminya karena hal demikian akan membuat mereka bersedih," kata Anwar Abbas.
Senada dengan pernyataan Anwar Abbas, Anggota Komisi VIII dari Fraksi PDIP, Selly Andriany Gantina, mendorong agar tradisi bertanya dalam silaturahmi sebaiknya bertransformasi menjadi obrolan yang lebih suportif dan membangun.
"Kita harus lebih peka terhadap kondisi seseorang, karena setiap individu memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Ada yang sedang berjuang dalam karir, ada yang sedang dalam proses membangun rumah tangga, dan ada yang masih berusaha mendapatkan keturunan," kata Selly.
Selly berharap pertanyaan seperti 'Kapan nikah?', 'Kapan punya anak?', atau 'Kapan dapat pekerjaan?'' dapat diubah dengan 'Bagaimana kabarmu? Semoga selalu sehat dan bahagia ya.' Atau 'Apa yang bisa saya bantu untuk mendukungmu?'
"Oleh karena itu, alangkah baiknya jika silaturahmi diisi dengan doa dan dukungan moral, bukan pertanyaan yang bisa memberi tekanan secara psikologis. Mari kita ubah tradisi ini dengan menanyakan hal-hal yang lebih positif," kata dia.
tirto.id - News
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang