tirto.id - Satu malam di tahun 238 Hijriah, Utbah bin Ishaq, salah satu gubernur di Mesir yang saleh dan bijaksana, memulai kisahnya ketika Ramadhan pertama tiba. Ia mengenakan jubah, memegang tongkat di tangan, lantas berjalan kaki menyusuri lorong-lorong sempit kota Fustat, melewati rumah-rumah yang masih gelap.
“Ibadallah, tasahharu fainna fissahuri barokah (Wahai hamba-hamba Allah, sudah waktunya untuk mengambil sahur. Ada berkat Tuhan dalam sahur),” seru Utbah penuh kehangatan. Suaranya bergema di antara dinding-dinding rumah, membangunkan orang-orang dari tidur mereka.
Beberapa orang mulai membuka pintu rumah mereka, menyambut Utbah dengan senyum dan ucapan terima kasih. Anak-anak kecil yang masih mengantuk mengintip dari balik pintu, penasaran melihat sosok gubernur yang berkeliling membangunkan orang untuk sahur.
Utbah bin Ishaq tidak hanya membangunkan orang-orang untuk sahur, tetapi juga menyebarkan semangat kebersamaan dan kepedulian di bulan Ramadhan.
Tradisi membangunkan orang untuk sahur terus berlanjut hingga berabad-abad kemudian. Selain mencerminkan nilai-nilai keagamaan, patrol menunjukkan bahwa budaya dan agama bisa saling berinteraksi dalam membentuk tradisi yang unik.
Bermula dari kebiasaan Utbah bin Ishaq di era Dinasti Abbasiyah, tradisi itu berkembang pesat hingga Timur Tengah, mulai dari Arab Saudi, Yaman, sampai Bahrain. Setelah merambah ke daratan Persia hingga tanah India, tradisi tersebut diterima di bumi Nusantara dan berbagai pelosok persada.
Patrol sahur tidak hanya berfungsi sebagai pengingat waktu sahur, tetapi juga sarana mempererat tali persaudaraan dan menjaga semangat keagamaan.
Dari Andalusia Hingga Timur Tengah
Di zaman Nabi Muhammad, membangunkan sahur dilakukan dengan cara sederhana, yakni mengumandangkan azan sebagai penanda menyegerakan makan sahur. Begitu pula untuk mengakhirinya, azan kembali menjadi simbol bahwa waktu sahur sudah habis dan subuh akan segera tiba.
“Jika datang waktu sahur, muazin mengumumkan datangnya waktu sahur dari atas shauma'ah yang berada di sudut timur Masjidil Haram. Ia berdiri sembari mengingatkan penduduk Mekkah akan datangnya waktu sahur,” tutur Hayatul Islam, Ketua Forum Humas (Forhumas) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), mengutip petualang Muslim, Ibnu Bathutah.
Patrol sahur yang lebih semarak dapat ditelusuri pada masa kejayaan Islam, tepatnya saat Dinasti Abbasiyah berkuasa. Tradisi ini dikenal sebagai al-musaharati atau al-masharati, yang berasal dari kata dasar sahur, artinya'makan sebelum fajar selama bulan Ramadhan'.
Awalnya, berkeliling melakukan patrol sahur merupakan tugas militer. Seiring waktu, mesaharati berkembang menjadi sosok komunitas yang bertanggung jawab untuk mengumumkan waktu sahur.
Al-musaharati adalah seorang individu atau kelompok yang bertugas membangunkan masyarakat untuk sahur dengan berkeliling di jalan-jalan sambil memukul drum atau alat musik tradisional lainnya.
Praktik ini tidak hanya bertujuan memastikan umat muslim bangun untuk sahur, tetapi juga sarana memupuk semangat kebersamaan dan solidaritas selama bulan suci.
Di Timur Tengah, tradisi patrol sahur berkembang dengan berbagai variasi. Di Mesir, misalnya, dikenal sebagai mesaharati atau tabbal, yang secara harfiah berarti 'pemukul drum'.
Mesaharati biasanya seorang pria. Ia akan berkeliling di lingkungan tempat tinggalnya sambil memukul drum dan melantunkan pujian kepada Nabi Muhammad saw. serta mengingatkan warga untuk bangun sahur.
Ilustrasi membangunkan orang untuk sahu. FOTO/iStockphoto
Hasan Al-Rashi dan Sharif Resho, misalnya, merasa peran sebagai mesaharati merupakan tugas dan warisan yang tidak akan mereka tinggalkan. Keduanya meyakini hal itu sebagai bentuk ibadah tanpa mengharapkan imbalan finansial.
“Peralatan saya sederhana, itu suara saya, drum saya dan tongkat saya,” tukas Sharif Resho yang mewarisi kebiasaan dari ayahnya.
Tradisi patrol sahur pun berkembang di negara-negara Arab lainnya, seperti Suriah, Lebanon, Kuwait, Palestina, dan Yaman, dengan sedikit perbedaan dan inovasi dalam pelaksanaannya.
Di Yerusalem, untuk membangunkan warga di waktu sahur, sekelompok pemuda akan berkeliling sambil menyanyikan pujian dan suara tabuh drum. Meski kerap bersitegang dengan Polisi Israel yang berpatroli, tradisi ini masih berlangsung hingga kini.
Seiring waktu, tradisi patrol menyebar hingga ke Persia, India, dan Bangladesh.
“Seperti halnya di Indonesia, terdengar aneka macam bunyian untuk membangunkan sahur. Di Bangladesh setiap lelaki berbagai usia turun ke jalan dengan membawa alat musik yang akan ditabuh mengiringi nyanyian,” terang Nurul Asmayani dkk dalam Jejak Ramadhan di Berbagai Negara (2013:51).
Adaptasi Patrol Sahur di Nusantara
Ketika ajaran Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-15, tradisi patrol sahur pun ikut dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Timur Tengah dan India. Namun, seperti halnya banyak tradisi lainnya, patrol sahur mengalami adaptasi dan modifikasi sesuai konteks budaya lokal di Nusantara. Proses akulturasi ini menghasilkan variasi yang unik di berbagai daerah di Indonesia.
Di Jawa, misalnya, istilah untuk menyebut patrol sahur berbeda-beda. Di Semarang, tradisi ini dikenal sebagai dekdukan di Semarang, sedangkan di masyarakat Cirebon menyebutnya obrok-burok. Warga biasanya menggunakan kentungan, alat musik tradisional yang terbuat dari bambu, untuk membangunkan warga. Kentungan dipukul dengan ritme tertentu yang sudah dikenal oleh masyarakat setempat.
Adapun masyarakat Betawi menyebut tradisi patrol sahur dengan istilah ngarak beduk atau beduk saur. Begitu juga di Kuningan, Jawa Barat, ada kebiasaan ubrug-ubrug yang melibatkan alat musik tradisional, seperti genjring, beduk, dan kohkol.
Sementara itu, di Aceh, patrol sahur sering kali diiringi dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an atau nasihat keagamaan yang disampaikan melalui pengeras suara di masjid-masjid. Belakangan, para remaja membangunkan sahur warga dengan berkeliling sembari meneriakkan nyanyian seperti “Wate Ka Sahoe” yang berarti “Waktu Sudah Sahur”.
Di Sulawesi, khususnya di daerah Morowali, terdapat tradisi Dengo-Dengo yang sudah berlangsung sejak abad ke-17. Dalam bahasa setempat, dengo-dengo merupakan bangunan sementara yang dibuat secara gotong royong setiap jelang 1 Ramadhan dengan ketinggian sekitar 15 meter.
Akan ada beberapa orang yang berjaga di dengo-dengo. Memasuki waktu sahur, mereka akan menggunakan alat musik tradisional, seperti gendang dan gong, untuk membangunkan warga.
Di Kalimantan, patrol sahur sering kali memanfaatkan beduk, alat musik tradisional terbuat dari kayu dan kulit hewan, yang dikenal dengan bagarakan sahur. Beduk itu lantas dipukul dengan ritme tertentu yang sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Bahkan, kini tradisi itu dilestarikan oleh pemerintah setempat dengan menggelar festival setiap tahun.
Selain itu, di beberapa daerah, patrol sahur juga diiringi dengan lantunan puji-pujian atau selawat nabi. Kiwari, bahkan banyak kalangan yang memasukkan teknologi ke dalam patroli mereka, misalnya menggunakan pengeras suara yang dipasang di ponsel untuk membangunkan penduduk.
Peran Budaya dan Agama dalam Tradisi Patrol Sahur
Peran budaya dan agama dalam membentuk tradisi patrol sahur sangatlah penting. Secara agama, patrol sahur merupakan bentuk pengingat akan pentingnya ibadah sahur, yang merupakan salah satu sunah Nabi Muhammad saw.
Sahur tidak hanya memberikan energi untuk berpuasa sepanjang hari, tetapi juga diyakini sebagai waktu yang mustajab untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Secara budaya, patrol sahur mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas dalam masyarakat muslim. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga seluruh masyarakat, utamanya untuk memastikan setiap orang bangun untuk sahur.
“Dalam patrol sahur, tentu dilaksanakan secara berkelompok. Maka terdapat interaksi sosial di dalamnya. Nilai solidaritas sebagai umat muslim untuk mengingatkan sahur dan menjalankan puasa sebagai umat yang taat dalam beragama,” ujar antropolog Universitas Airlangga, Djoko Adi Prasetyo.
Selain itu, patrol sahur menjadi ajang untuk melestarikan alat musik tradisional dan seni budaya lokal, yang kemudian diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam.
Dari akar historisnya, patrol sahur telah mengalami evolusi yang mencerminkan konteks sosial, budaya, dan agama. Lewatnya, nilai-nilai keagamaan dan kebersamaan terus dipupuk, memperkuat ikatan sosial, dan meningkatkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjalankan ibadah selama Ramadhan.
tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin