tirto.id - Tidak heran elemen masyarakat sipil terus menggaungkan api penolakan terhadap revisi UU TNI yang sudah resmi disahkan DPR. Kekhawatiran akan militerisme negara yang menguat, dwifungsi TNI, hingga melemahnya supremasi sipil bukan sekadar isapan jempol. Situasi ini diperparah sebab kekerasan dan bahkan tindakan kriminal anggota TNI yang terus terulang.
Komandan Detasemen Polisi Militer (Dandenpom) Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Balikpapan, Mayor Laut (PM) Ronald Ganap, Rabu (22/3/2025) mengonfirmasi salah satu anggotanya diduga membunuh jurnalis perempuan asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ronald mengaku pelaku yang berinisial J itu, bertugas di Lanal Balikpapan baru sekitar satu bulan dan sebelumnya pernah bertugas di Lanal Banjarmasin. J berpangkat kelasi satu.
Terduga pelaku, kata dia, sudah diamankan Pom Lanal Balikpapan dan proses penyidikan masih terus dilakukan secara intensif. Sesuai dengan arahan pimpinan TNI AL, Denpom Lanal Balikpapan menyampaikan proses hukum terhadap pelaku akan disampaikan secara terbuka. Ronald menegaskan pelaku akan diberikan sanksi dan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan perbuatan dilakukan.
"Untuk penyebab [motif] masih didalami dan akan disampaikan hasilnya," ujar Ronald.
Korban dalam kasus pembunuhan adalah perempuan jurnalis bernama Juwita. Perempuan berusia 23 tahun itu merupakan jurnalis media daring Newsway.co.id, dan tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Selatan dan sudah mengantongi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dengan kualifikasi wartawan muda.
Korban ditemukan meninggal di daerah Gunung Kupang, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Sabtu (22/3/2025) sore. Juwita ditemukan warga tergeletak di pinggir jalan. Posisi jenazah cuma beberapa meter dari sepeda motor korban. Motor matik korban tampak tersungkur di semak-semak. Warga menemukan korban dan sepeda motornya sekitar pukul 16.00 Wita.
Saat ditemukan warga, korban masih mengenakan helm. Korban mengenakan baju lengan panjang dan celana jins. Namun, sejumlah warga yang menemukan pertama kali justru tidak melihat tanda bahwa korban habis mengalami kecelakaan lalu lintas. Kerabat korban turut menyatakan ponsel milik Juwita tidak ditemukan dan terdapat sejumlah luka lebam di bagian leher dan memar di telinga.
Kasus dugaan pembunuhan Juwita menambah panjang kasus tindakan kriminal baru-baru ini yang disebabkan anggota TNI. Belum lama ini, terdapat kasus tiga polisi di Kabupaten Way Kanan, Lampung yang tewas sebab ditembak saat menggerebek lokasi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin. Pelakunya adalah prajurit TNI, Kopral Dua Basarsyah atau Kopda Basar dan sudah ditetapkan sebagai tersangka utama.
Petugas menurunkan jenazah anggota Polri yang tewas tertembak saat melakukan penggerebekan judi sabung ayam setibanya di RS Bhayangkara Polda Lampung, Lampung, Selasa (18/3/2025). ANTARA FOTO/Dian Hadiyatna/Lmo/Spt.
Hasil penyelidikan tim investigasi gabungan TNI-Polri dan dari keterangan para saksi, Kopda Basar mengakui telah menembak ketiga korban. Sementara tersangka lain, yakni Pembantu Letnan Satu (Peltu) Lubis, ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Way Kanan. Selain dua prajurit TNI, tim juga menetapkan anggota Brimob Polda Sumsel, Aiptu Kapri, sebagai tersangka kasus judi sabung ayam. Sebelumnya, Polda Lampung sudah menetapkan satu warga sipil bernama Zulkarnain sebagai tersangka perjudian.
Atas perbuatannya, Basar dijerat KUHP Pasal 340 juncto KUHP Pasal 338 dan UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 1 Ayat (1) dengan ancaman hukuman seumur hidup. Lubis dijerat dengan KUHP Pasal 303 dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara. Lubis diduga kuat mengelola bisnis ilegal sabung ayam yang digerebek ketiga korban.
Rentetan tindakan kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan anggota TNI kontras dengan revisi UU TNI yang dinilai elemen masyarakat sipil sarat dengan pasal-pasal bermasalah. Ini menjadi sebuah ironi di atas ironi, di mana kesempatan untuk mereformasi TNI agar semakin baik sebagaimana mandat reformasi justru tertutup rapat. Kekerasan dan brutalitas anggota TNI yang melanggar hukum dikhawatirkan terus terjadi dan mendapatkan impunitas.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa akar kekerasan, kriminalitas, hingga pelanggaran HAM oleh anggota TNI berulang terjadi karena otoritas sipil negara gagal memastikan tegaknya kesetaraan di hadapan hukum. Impunitas itu membuat kalangan militer masih merasa di atas hukum.
UU TNI Nomor 34/2004, kata Usman, tak terbukti berhasil mereformasi TNI karena dari segi pembuatan legislasi itu pada 2004 terjadi kompromi dan para elite sipilnya masih terus ambil sikap pragmatis. Bukannya diperbaiki, agenda revisi UU TNI tahun ini justru semakin kental nuansa kompromi politik yang berakibat melemahnya elite sipil, sadar atau tidak sadar.
Dalam kasus pembunuhan Juwita, Usman menilai hal tersebut merupakan bentuk femisida. Ia mendesak adanya investigasi dari pihak berwenang karena seolah ada upaya membingkai korban meninggal akibat kecelakaan tunggal.
Padahal, dari informasi yang diperoleh Usman, terdapat luka lebam di bagian tubuh korban yang menunjukkan adanya penganiayaan. Ia mendesak agar otoritas berwenang agar tak segan-segan mengusut tuntas kasus ini agar korban dan keluarga mendapatkan keadilan.
“Jika benar berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik almarhumah, maka penempatan korban di jalanan menjadi teror bagi jurnalis mana pun yang bekerja di sana dan di semua tempat,” ujar Usman kepada wartawan Tirto, Kamis (27/3/2025).
Faktor Penyebab Kekerasan Berulang
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Hans Giovanny Yosua, menilai ada dua faktor utama penyebab kekerasan yang dilakukan prajurit TNI terus menimpa korban warga sipil. Pertama, perilaku ugal-ugalan prajurit terjadi karena minimnya pengawasan dari atasan atau komandan di Kompi/Batalion. Hal itu, kata Hans, tercermin di kasus-kasus kekerasan anggota TNI yang dilakukan oleh prajurit tingkat bawah.
Kedua, kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan anggota TNI terus berulang karena pada tingkat Peradilan Militer upaya penetapan hukuman berat tidak selalu mulus. Hukuman di Peradilan Militer justru menjadi oase bagi anggota yang berurusan dengan hukum agar mendapatkan hukuman ringan. Meskipun, belakangan Hans melihat Peradilan Militer mulai berbenah dengan memvonis berat anggota TNI pelaku penembakan bos rental mobil di Tangerang.
“Tapi tak semua kasus mendapatkan perhatian publik dan pelaku divonis dengan berat oleh peradilan militer,” ucap Hans kepada wartawan Tirto, Kamis.
Hans menilai, revisi UU TNI tidak akan membawa angin reformasi ke tubuh TNI. Karena jika mengacu pada mandat reformasi militer sebagaimana di TAP MPR Nomor 8/2000 dan UU TNI Nomor 34/2004, yang seharusnya direvisi justru UU Peradilan Militer Nomor 31/1997.
Mandatnya, agar prajurit TNI yang melakukan tindakan pidana diadili pada peradilan umum secara terbuka. Alih-alih membenahi itu, pemerintah dan DPR justru merevisi UU TNI yang membuka peluang terkikisnya supremasi sipil dan kebebasan berekspresi dan pers.
Dari konteks kebebasan pers, Hans menilai ancaman itu kemungkinan besar bisa terjadi. UU TNI yang baru di Pasal 7 (2), menambahkan tugas pokok operasi militer selain perang yakni pengamanan ruang siber. Tugas baru itu langsung didukung lewat penegasan Kementerian Pertahanan untuk melakukan penindakan terhadap akun-akun yang mengancam keutuhan bangsa.
“Ini tentu alarm bagi kebebasan pers dan kawan-kawan jurnalis. Ketika pemberitaan yang dimuat dituduh mengancam keutuhan bangsa atau mengkritik program pemerintah,” terang Hans.
Peneliti Reformasi Sektor Keamanan dan Human Security SETARA Institute, Ikhsan Yosari, sepakat dengan Hans bahwa perluasan peran militer di ranah sipil, melalui OMSP ataupun dengan jabatan sipil, tidak kontributif terhadap penguatan demokrasi. Terlebih aspek kultural yang masih menjadi persoalan di tubuh TNI yakni arogansi anggota.
Terdakwa kasus pembunuhan bos rental mobil dan penadahan mobil, Sertu Rafsin Hermawan (kiri), Sertu Akbar Adli (tengah), dan Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo (kanan) saat sidang pembacaan putusan di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Selasa (25/3/2025).ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.
Reformasi militer yang telah dibangun lewat UU TNI 2004, kata Ikhsan, semestinya dijaga dan terus diperkuat. Bukan justru diubah dengan muatan pasal-pasal yang tak dibutuhkan untuk mereformasi militer. Praktik kekerasan hingga pembunuhan, yang diduga melibatkan prajurit TNI merupakan masalah usang yang telah menjadi duri dalam daging reformasi TNI.
Terutama agenda reformasi dalam aspek kultural kelembagaan TNI. Macetnya transformasi kultural memperlihatkan urgensi evaluasi mendasar terhadap pengawasan ketat prajurit di tingkat bawah (Babinsa, Koramil, hingga Kodam). Evaluasi hukuman yang diberikan bagi anggota yang melanggar hukum selama ini.
“Isu reformasi kultural yang masih tertinggal, memperlihatkan muatan revisi UU TNI yang sudah disahkan belum relevan dan tidak menjawab kebutuhan untuk menguatkan reformasi militer,” kata Ikhsan kepada wartawan Tirto, Kamis.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Erick Tanjung, mendesak TNI AL untuk menindak tegas anggotanya yang diduga melakukan pembunuhan terhadap Juwita. Erick mengatakan jika terduga pelaku terbukti melakukan pembunuhan, maka persidangan harus dilakukan di peradilan umum, bukan peradilan militer.
Selain mendesak TNI AL, Erick juga mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini guna mengetahui motif terduga pelaku dalam melakukan tindakan kejinya. Untuk membantu proses pengusutan kasus ini, Erick menyebut AJI telah membentuk tim pencari fakta untuk mencari apakah ada kemungkinan kasus pembunuhan ini terjadi akibat kerja-kerja korban sebagai seorang perempuan jurnalis.
“Kasus ini harus diproses secara hukum pidana, ya. Hukum pidana, dan harus diadili di peradilan umum, di peradilan sipil. Di peradilan umum, bukan di peradilan militer. Karena ini tindakan kriminal, ya,” tegas Erick kepada Tirto, Kamis.
Di sisi lain, Markas Besar (Mabes) TNI memastikan menghukum berat anggota TNI AL yang diduga membunuh jurnalis bernama Juwita. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI, Brigjen TNI Kristomei Sianturi, menegaskan tidak ada ampun untuk prajurit TNI yang melanggar hukum. Kristomei menjelaskan sampai saat pihaknya masih menunggu proses penyelidikan yang sedang dilakukan pihak Polisi Militer Angkatan Laut.
"Kalau memang terbukti dia, memang dia pelakunya, ya, enggak (tak) ada ampun. Hukum seberat-beratnya," kata Kristomei di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, mengutip Antara, Kamis (27/3/2025).
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang