Kasus Salah Tangkap Terus Berulang, Sudah Saatnya KUHAP Direvisi

1 month ago 56

tirto.id - Trauma masih belum hilang dari benak Kusyanto (38), seorang pencari bekicot asal Desa Dimoro, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang menjadi korban salah tangkap polisi.

Peristiwa salah tangkap yang melibatkan dirinya itu terjadi Minggu (2/3/2025) malam. Mungkin, itu bakal menjadi peristiwa pahit yang tak bisa dia lupakan seumur hidup.

Kusyanto sedang duduk santai di persawahan Desa Suru, Kecamatan Geyer, ketika tiba-tiba dibekuk oleh polisi berinisial Aipda IR dan sejumlah warga. Mereka menuduhnya mencuri sebuah pompa air bermesin diesel.

Meski tak bersalah, Kusyanto hanya bisa pasrah saat digelandang menggunakan sepeda motor menuju rumah mertua Aipda IR di Desa Ngleses, Kecamatan Boyolali. Kedua tangan Kusyanto diikat, kepalanya berkali-kali dipukul, dan dipaksa mengaku mencuri.

Kejadian itu terekam dalam video yang kini ramai tersebar di media sosial. Kusyanto yang duduk di kursi dengan kedua tangan terikat di belakang itu diinterogasi oleh Aipda IR yang tepat berada di hadapannya.

Dalam video yang viral itu, Kusyanto tampak dicekik sambil dibentak oleh Aipda IR. Selesai diinterogasi, Kusyanto langsung digelandang Aipda IR ke Mapolsek Geyer untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.

Namun, hasil penyidikan Satreskrim Polsek Geyer ternyata menyebutkan Kusyanto tidak terbukti melakukan pencurian pompa air seperti yang dituduhkan Aipda IR.

Kejadian Berulang

Kasus salah tangkap yang dilakukan anggota kepolisian masih sering terjadi dan terus berulang. Hal ini sangat kontradiktif dengan jargon Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan) yang selama ini digaungkan oleh instansi tersebut.

Tahun lalu, seorang warga Bali bernama I Wayan Suparta (47) menjadi korban salah tangkap polisi. Dia bahkan mengalami cacat gendang telinga sebelah kiri gara-gara disiksa oleh aparat.

Peristiwa salah tangkap itu berawal saat Suparta dibekuk karena dituding melakukan penggelapan sebuah mobil Mitsubishi Pajero pada 26 Mei 2024 pukul 20.00 WITA.

Saat melakukan penangkapan, polisi dari Polres Klungkung tidak memiliki surat perintah penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, bahkan surat tugas. Suparta pun ditahan di tempat penyekapan selama tiga hari sejak tanggal 26-28 Mei 2024.

Selama disekap, Suparta dipaksa mengaku sebagai pelaku penggelapan mobil, meski dirinya tidak melakukan hal tersebut. Dalam proses interogasi, polisi melakukan penyiksaan dengan tangan kosong, botol air mineral berukuran 1 liter yang berisi air, dan botol bir.

Mereka memukul Suparta berulang kali di wajah, kepala, dan dua telinga. Selama proses penyiksaan, tangan Suparta pun diborgol, pakaiannya dilucuti, dan matanya ditutup dengan plester putih berlapis-lapis.

Suparta juga sempat diancam akan ditembak. Gara-gara penyiksaan itu, dia mengalami luka fisik, psikis, termasuk luka permanen pada salah satu gendang telinganya. Suparta lantas dilepaskan pada 28 Mei 2024 sekira pukul 20.00 WITA.

Peristiwa salah tangkap juga menjadi salah satu peristiwa yang secara khusus disoroti oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). KontraS mencatat bahwa sepanjang Juli 2023-Juni 2024, ada 15 peristiwa salah tangkap dengan setidaknya 23 korban dan 9 orang di antaranya mengalami luka-luka.

KontraS dalam Laporan Hari Bhayangkara 2024 mencatat bahwa angka peristiwa kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh Polri mengalami peningkatan. Sepanjang Juli 2023-Juli 2024, tercatat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri yang mengakibatkan adanya 759 korban luka dan 38 korban tewas.

Tindakan intimidasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian juga terjadi baru-baru ini. Sebanyak sembilan personel Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Kepulauan Riau (Kepri) terbukti melakukan intimidasi dan pemerasan terhadap seorang pengguna narkoba di Batam, Kepri.

Dalam kasus itu, para pelaku melakukan tekanan psikologis sekaligus pemerasan terhadap korban dengan memaksanya mengajukan pinjaman online (pinjol) sebesar Rp20 juta menggunakan KTP pribadi agar kasusnya tidak diproses lebih lanjut.

Masalah Serius

Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, menyebut bahwa kasus-kasus salah tangkap seperti itu harus menjadi pembelajaran bagi Polri. Menurutnya, anggota Polri masih menggunakan paradigma lama dalam mengungkap suatu peristiwa hukum, yakni menganggap pengakuan adalah bukti.

Hal itulah yang terjadi dalam kasus salah tangkap di Grobogan, bahwa polisi masih memaksakan diri mengungkap sebuah kasus dengan memaksa orang untuk mengakui suatu perbuatan. Menurut Choirul, hal itu merupakan tindakan yang salah.

“Paradigma hukum sudah berubah, apalagi sekarang pakai dinamika teknologi. Jadi, pengakuan itu bukan bukti,” ujar Choirul saat dihubungi Tirto, Selasa (11/3/2025).

Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) bahkan menyebut kejadian salah tangkap yang dilakukan polisi berinisial Aipda IR terhadap Kusyanto itu sebagai permasalahan serius.

ICJR menilai kejadian tersebut melanggar prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

“Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur secara tegas, Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan/atau dalam bentuk apa pun,” tulis ICJR dalam keterangan resminya, dikutip Senin (10/3/2025).

Menanggapi kasus salah tangkap di Grobogan, ICJR mendesak kepolisian memproses Aipda IR dengan instrumen pidana.

Aipda IR dinilai dapat dijerat menggunakan dugaan tindak pidana Pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan atas tindakan setiap pegawai negeri (termasuk polisi di dalamnya) yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk melakukan, tidak melakukan sesuatu, ataupun membiarkan sesuatu.

Aipda IR juga dapat dijerat Pasal 422 KUHP yang memuat ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun bagi seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan.

Dorong Revisi KUHAP

Staf Divisi Hukum KontraS, Azlia Amira Putri, menyoroti sejumlah kejanggalan prosedural dalam kasus salah tangkap yang menimpa Kusyanto di Grobogan tersebut.

Hal pertama yang dia sorot adalah tidak adanya salinan surat perintah penangkapan dan penahanan yang diterima korban saat penangkapan. Ini merupakan bentuk pelanggaran dari Pasal 18 Ayat 1 KUHAP.

“Korban juga mengungkapkan bahwa mendapatkan kerugian karena kesulitan mencari nafkah dan rasa malu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (11/3/2025).

Meski begitu, Azlia juga menyoroti adanya sejumlah celah dalam aturan hukum KUHAP yang mengatur soal proses penangkapan dan ganti rugi korban salah tangkap saat ini.

Pasal 18 Ayat 2 dan 3 KUHAP, misalnya, memberikan kelonggaran untuk memberikan surat perintah penangkapan setelah penangkapan dilakukan sehingga rawan disalahgunakan dan dapat menyebabkan terjadi salah tangkap seperti dalam kasus Kusyanto.

Selain itu, tidak diaturnya batasan waktu kapan surat perintah penangkapan diberikan juga dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Surat perintah yang disusul ini juga terdapat kemungkinan baru disusun setelah melakukan interogasi pasca melakukan penangkapan dengan dasar yang dangkal atau bahkan tidak ada. Sehingga, perlu ada perbaikan dalam prosedur ini,” kata Azlia.

Azlia juga menyoroti Pasal 1 Ayat 23 KUHAP mengenai rehabilitasi sebagai hak pemulihan yang diberikan karena beberapa alasan, termasuk penangkapan tanpa alasan atau kekeliruan.

Namun, Pasal 97 KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi baru dapat diperoleh apabila pengadilan memutus korban bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal ini akan menyulitkan apabila korban ingin mendapatkan ganti rugi. Padahal, sudah terdapat kerugian yang dirasakan oleh korban. Ini menjadi salah satu faktor mengapa korban salah tangkap di Indonesia jarang menuntut hak rehabilitasi dan ganti rugi.

“Sedangkan, apabila ingin menggunakan mekanisme dari LPSK, maka korban harus memiliki LP terlebih dahulu. Pemahaman korban yang merupakan publik awam minim pemahaman hukum sehingga akan berimplikasi untuk kesulitan mendapatkan keadilan,” katanya.

Oleh karena itulah, ICJR mendorong adanya revisi KUHAP. ICJR menilai bahwa praktik penangkapan sewenang-wenang yang disertai dengan penyiksaan sukar dihilangkan tanpa adanya perubahan dalam prosedur acara pidana.

Revisi KUHAP nantinya harus mengadopsi konsep pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan tindakan paksa lainnya.

Revisi KUHAP dianggap penting sebagai salah satu upaya untuk mengatasi akar masalah praktik buruk penegakan hukum yang terletak pada besarnya kewenangan penyidik dalam melakukan penangkapan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat.

“Selain itu, KUHAP perlu mengatur terkait kompensasi korban kekerasan yang dilakukan oleh penyidik,” katanya.


tirto.id - News

Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |