tirto.id - Pekan lalu, deretan kendaraan mengular panjang di area akses masuk Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kendaraan-kendaraan itu terjebak macet yang berlangsung tak hanya sehari, melainkan terjadi sejak Rabu (16/4/2025) sampai Jumat (18/4/2025). Meski kemacetan bukan hal asing bagi sopir truk di kawasan ini, peristiwa saat itu diperkirakan menjadi yang paling parah.
Kejadian ini bahkan memicu unjuk rasa dari beberapa serikat buruh. Pada Minggu (20/4/2025), Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) bersama Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) melakukan aksi jalan serempak, berangkat dari Sekretariat FBTPI di Jl. Jampea Raya Lorong 20, Tanjung Priok, menuju Pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok.
Aksi ini dilakukan untuk memrotes kemacetan parah yang selama ini menghambat kerja dan kehidupan buruh pelabuhan. Mereka juga mendesak Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, untuk memecat Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).
"Tuntutan kami, pecat Dirut PT Pelindo, Dirut PT Multi Terminal Indonesia (MTI), dan Dirut PT New Priok Container Terminal One (NPCT1) dan bongkar gerbang utama (common gate MTI) serta hapuskan kebijakan melewati gerbang (gate pass) berbayar," kata Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (21/4/2025).
Pelindo tak tinggal diam. Executive General Manager Pelindo Regional 2 Tanjung Priok, Adi Sugiri, menjelaskan bahwa kepadatan aktivitas disebabkan oleh ritme penerimaan dan pengiriman barang yang berlangsung secara bersamaan setelah adanya pembatasan lalu lintas barang selama periode Lebaran.
"Kami mohon maaf kepada seluruh masyarakat, mitra, dan pemangku kepentingan yang terdampak akibat kemacetan yang terjadi," ujar Adi, Jumat (18/4/2025).
Adi bilang, padatnya aktivitas juga dipicu oleh momentum libur panjang pada Jumat (18/4/2025) hingga Minggu (20/4/2025). Ia mengatakan kalau Pelindo terus berupaya menjaga kelancaran operasional dan memastikan layanan kepada pelanggan tetap berjalan optimal.
Meskipun terjadi lonjakan volume logistik, Pelindo menyatakan tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mengurai kemacetan di sejumlah titik di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain memaksimalkan penggunaan area kosong dan lapangan sebagai kantong parkir, serta mengalihkan lalu lintas truk ke pintu (gate) Pos 9.
Selain itu, Pelindo mengaku telah menyediakan makanan dan minuman bagi para sopir truk guna mencegah kelelahan, kehausan, dan kelaparan.
Petugas melakukan pengalihan arus lalu lintas saat terjadi kemacetan menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (17/4/2025). ANTARA/HO-Suku Dinas Perhubungan Jakarta Utara/aa.
Masalahnya bukan hanya kenaikan volume logistik, lalu cukup dengan menyediakan makanan atau minuman bagi para pengemudi. Gubernur Daerah Khusus Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan pihaknya mendapatkan laporan Tanjung Priok saat itu menerima bongkar muat hingga 7.000 truk. Padahal kapasitas di pelabuhan tersebut hanya 2.500 truk setiap harinya.
Pramono menyebut kemacetan yang berlarut tersebut menunjukkan ketidakprofesionalan Pelindo dan operator pengelola di Tanjung Priok. Ia mengaku telah meminta kepada Dinas Perhubungan untuk menegur mereka.
"Ini menunjukkan bahwa ketidakprofesionalan pengelola yang sudah di Tanjung Priok," kata Pramono, Sabtu (19/4/2025).
Kapasitas Sisi Darat Kurang Dikembangkan
Pengamat menyingkap beberapa faktor lain dalam melihat persoalan kemacetan di Tanjung Priok. Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan salah satunya yakni akses menuju pelabuhan yang hanya mengandalkan jalan raya.
Menurut Djoko, akses jalan rel dinilai tidak begitu diminati lantaran mahal dan tidak praktis. Tidak terjangkaunya akses lewat jalan rel tersebut karena menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi, dikenakan PPN 11 persen dan dikenakan Track Access Charge (TAC) atau biaya sewa yang harus dibayar oleh operator perkeretaapian atas penggunaan prasarana perkeretaapian yang dimiliki negara.
“Moda transportasi jalan umumnya lebih murah jika digunakan untuk angkutan yang jaraknya relatif pendek, yakni kurang dari 500 km, untuk kereta api lebih kompetitif pada jarak menengah antara 500–1.500 km dan untuk jarak lebih dari 1.500 km moda transportasi laut akan lebih murah,” kata Djoko, lewat keterangan tertulis, Senin (21/4/2025).
Selain itu, Djoko juga menyoroti soal pembangunan di Pelabuhan Tanjung Priok yang terus memperbesar kapasitas sisi laut, sementara kapasitas sisi darat tidak dikembangkan. Padahal, dalam perhitungan kapasitas harus dimasukkan juga ketersediaan tempat parkir truk, toilet, dan lain-lain. Kapasitas yang paling kecil atau minimal itulah yang harus dipakai sebagai patokan.
“Jika hal yang sangat mendasar itu tidak menjadi perhatian, maka kemacetan lalu lintas ini akan terus terjadi. Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok harus ditata ulang termasuk area penyangga (buffer zone) antara pelabuhan dengan lingkungan pertokoan dan pemukiman harus ada jarak minimal 1 km daerah buffer zone harus bebas dari bangunan. Kita harus ikuti layout asli kawasan pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan itu Cempaka Mas dan sampai ke timur,” ungkap Djoko.
"(Kemacetan) Ini menunjukkan bahwa ketidakprofesionalan pengelola yang sudah di Tanjung Priok."
- Gubernur Jakarta, Pramono Anung
Kegiatan Bongkar Muat di Terminal Petikemas Tanjung Priok, Jakarta. (FOTO/Dok. Pelindo)
Lebih jauh, uang taping untuk parkir sebesar Rp17.500 sekali masuk Pelabuhan Tanjung Priok juga dikatakan Djoko sangat memberatkan pengemudi truk. Hal ini dibayar dengan uang jalan para pengemudi truk.
“Perparkiran adalah konsesi dari pemerintah. Biaya-biaya semacam ini selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi, hal ini juga tidak jelas maksud dan manfaatnya. Penarikan biaya pada ranah publik harus jelas peruntukan dan manfaatnya. Ruang publik bukan untuk sebagai ladang penghasil uang, tapi sudah ada aturannya,” katanya.
Kebijakan di setiap usaha di ruang publik utamanya yang bergerak di pelayanan umum seperti pelabuhan, jalan tol, dan lain-lain, mestinya tidak boleh untuk mencari keuntungan perusahaan, akan tetapi hanya bersifat cost recovery saja.
Meski ramai soal tarif impor yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dan adanya asumsi eksportir mengirim barang-barang lebih awal ke AS sebelum tarif itu berlaku, Ekonom dari Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, berpendapat hal itu tak berkaitan.
“Kejadian tersebut tidak terpengaruh dari adanya tarif Trump, tapi memang murni akibat terlalu lama pelarangan aktivitas angkutan berat, dan menyebabkan penumpukan kontainer untuk bongkar muat,” ungkap Huda kepada Tirto, Senin (21/4/2025).
Menurutnya, kemacetan Tanjung Priok tidak akan terjadi jika manajemen Pelindo sudah memperkirakan akan terjadi lonjakan permintaan pasca libur lebaran yang memang meliburkan aktivitas kendaraan berat. Pembatasan ini juga terjadi tiap tahun dan harusnya sudah langkah antisipasi yang dilakukan manajemen Pelindo.
“Terkait kapasitas yang terbatas, saya rasa bisa diatasi dengan penambahan alat bongkar muat sehingga aktivitas bongkar muat bisa jauh lebih cepat. Kan kapasitas terkait aktivitas pelabuhan terkait dengan flow,” kata Huda.
Setelah mereka bongkar muat, maka mereka akan keluar. Tidak mereka seharian di kawasan pelabuhan. Maka yang diatur, kata Huda, yakni frekuensi bongkar muat yang harus dipercepat.
Angkutan Barang Berbasis Rel Bisa Jadi Opsi
Proses bongkar muat peti kemas berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (16/10/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.
Djoko sebagai pengamat transportasi juga menggarisbawahi terkait kebijakan yang diterapkan pemerintah. Kata Djoko, pada angkutan Lebaran 2025, pemerintah terlalu lama membatasi aktivitas operasional logistik, bahkan sampai 16 hari. Pembatasan operasional angkutan logistik disebut semestinya tidak boleh lebih dari lima hari.
Pemerintah memang melarang mobilitas angkutan barang selama 16 hari pada Lebaran, dari mulai 24 Maret-8 April 2025. Pembatasan itu durasinya lebih panjang ketimbang Lebaran 2024 yang hanya disetop 12 hari.
“Kondisi itu menyebabkan bongkar muat di pelabuhan menumpuk, bahkan tersendat. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi mengingat kelancaran distribusi logistik menjadi salah satu indikator perputaran ekonomi,” ungkap Djoko.
Djoko menekankan kemacetan parah yang terjadi harus jadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan angkutan barang berbasis rel dibanding jalan raya.
“Sebenarnya, di zaman Belanda, jalur rel sudah terhubung dengan dermaga. Tujuannya, agar alur angkutan barang bisa lebih lancar. Namun, kini hampir semua jalur itu diputus. Tersisa hanya di Pelabuhan Tanjung Intan (Cilacap),” imbuh Djoko.
Sejumlah akses pelabuhan di jaman Belanda sudah lengkapi dengan jalan rel dan area penyangga, seperti di Pelabuhan Belawan (Medan), Pelabuhan Teluk Bayur (Padang), Pelabuhan Panjang (Lampung), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Pelabuhan Juwana (Pati), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Sekarang area penyangga itu telah berubah fungsi menjadi pemukiman dan perumahan.
“Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan itu agar tidak terulang. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan lagi akibat kesalahan kebijakan dan pada akhirnya juga negara merugi, karena pertumbuhan ekonominya tidak tercapai,” kata Djoko.
"Di zaman Belanda, jalur rel sudah terhubung dengan dermaga. Tujuannya, agar alur angkutan barang bisa lebih lancar. Namun, kini hampir semua jalur itu diputus."
Djoko Setijowarno
tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Rina Nurjanah