tirto.id - Pemerintah bakal membentuk Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di 70-80 ribu desa di seluruh Indonesia. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa nantinya koperasi ini akan menjadi pusat kegiatan ekonomi desa, termasuk sebagai tempat penyimpanan dan penyaluran hasil pertanian masyarakat. Dus, keberadaan Kopdes Merah Putih ini diharapkan dapat memperkuat ekonomi desa.
“Satu yang diputuskan, yaitu dibentuknya Koperasi Desa Merah Putih. Jadi, disingkat Kopdes Merah Putih. Nah, itu akan dibangun di 70-80 ribu desa,” kata dia, usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2025).
Zulhas, sapaan Zulkifli Hasan, menambahkan pembangunan puluhan ribu Kopdes Merah Putih ini akan dilakukan dengan menggunakan dana desa yang sudah dianggarkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025, yakni sebesar Rp71 triliun untuk 75.259 desa. Kemudian, untuk operasional tahap awal Kopdes Merah Putih, Himpunan Bank Negara (Himbara) juga akan membantu pendanaan melalui skema cicilan selama 3-5 tahun.
“Anggarannya dari mana? Nanti anggarannya itu dari dana desa yang sekarang ada. Satu desa tadi diperkirakan akan menelan anggaran Rp3 miliar-Rp5 miliar. Kan kita ada dana desa Rp1 miliar per tahun. Kalau lima tahun, kan Rp1 miliar (per tahun), Rp1 miliar berarti lima tahun (habis) Rp5 miliar,” jelas dia.
Pembangunan Kopdes Merah Putih akan dilakukan dalam tiga model: membangun koperasi baru, merevitalisasi koperasi yang sudah ada serta membangun dan mengembangkan koperasi. Dalam hal ini, sudah ada sekitar 64 ribu kelompok tani (poktan) yang siap bermigrasi menjadi Kopdes Merah Putih yang berfokus untuk menyerap hasil pertanian masyarakat serta pendistribusian pupuk bersubsidi. Dus, Kopdes Merah Putih juga diharapkan dapat membantu petani untuk memasarkan hasil panennya dan juga mengakses pupuk bersubsidi lebih mudah.
"Dengan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih ini, ini akan memutus mata rantai distribusi barang yang efeknya merugikan ke konsumen maupun ke produsen, supaya bisa lebih murah harga-harga di masyarakat," ujar Menteri Koperasi, Budi Arie.
Pun, Kopdes Merah Putih juga diharapkan dapat mengelola outlet atau gerai sembako, gerai obat murah atau apotek desa, kantor koperasi, unit usaha simpan pinjam koperasi, klinik desa, fasilitas penyimpanan berpendingin (cold storage), hingga distribusi logistik. Melalui upaya ini, Kopdes Merah putih dinilai akan menjadi aggregator bagi upaya pemerintah untuk mendorong stabilitas harga komoditas pertanian dan pengendali inflasi.
“Diharapkan Koperasi menjadi konsolidator penggerak motor ekonomi dan pusat pertumbuhan perekonomian di desa. Koperasi adalah instrumen pemerataan pembangunan nasional,” imbuh Budi Arie.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Sementara itu, pembangunan Kopdes Merah Putih ini ditarget rampung pada Juli 2025. Dengan pembangunan dilakukan secara bertahap serta melibatkan pula generasi anak-anak muda dari seluruh pelosok Indonesia.
“Dalam pelaksanaannya, tidak lupa kami akan melibatkan para generasi muda untuk berkoperasi,” tegas dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menilai tak masalah jika pemerintah ingin membentuk Kopdes Merah Putih untuk mendongkrak ekonomi desa. Sebab, semangat dari dibentuknya Kopdes Merah Putih yang lainnya adalah untuk mendukung keberlangsungan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kalau ada koperasi yang menyerap dan mengolah hasil pertanian, ini dampaknya adalah ada kepastian pasar dan harga bagi para petani. Stabilitas harga pangan dan dapur MBG bisa dapat harga bahan makanan lebih murah, karena langsung dari petani, tidak melalui middleman (tengkulak),” katanya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Selasa (4/3/2025).
Namun, dia menggarisbawahi penggunaan dana desa sebagai sumber pendanaan pembangunan koperasi. Apalagi, Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum mengatur penggunaan dana desa untuk koperasi.
“Sehingga, jika ingin dana desa digunakan untuk pengembangan Koperasi Merah Putih, itu harus direvisi dulu,” imbuh Eliza.
Tak kalah penting, sumber pendanaan Kopdes juga jangan sampai berebut dengan dana pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pasalnya, pengembangan BUMDes pun berasal dari alokasi 20 persen dana desa yang tak lain bersumber dari APBN.
Soal pendanaan, Eliza menyarankan jika pemerintah dapat merealokasikan dana ketahanan pangan desa untuk pembangunan Kopdes Merah Putih. Kendati, ekstra kehati-hatian perlu diterapkan jika realokasi yang dipilih sebagai opsi pendanaan.
“Ini perlu ada semacam pendampingan kepada perangkat desa dalam merealokasi dana desa, karena dikhawatirkan malah menimbulkan konflik di desa,” tegasnya.
Pendampingan pun diperlukan agar tak ada kerancuan dalam pengelolaan Kopdes Merah Putih dengan BUMDes, karena kemiripan antara keduanya dan hanya berbeda pada kepemilikan serta skema bagi hasilnya saja. Untuk BUMDes, sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah desa dan keuntungan masuk ke Pendapatan Asli Desa (PAD), sedangkan koperasi dimiliki oleh anggota koperasi yang merupakan petani atau masyarakat dan keuntungan berupa sisa hasil usaha (SHU).
Dengan penggunaan dana desa sebagai sumber pembangunan Kopdes Merah Putih, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, mengatakan bahwa pihaknya akan segera merevisi revisi regulasi terkait penggunaan dana desa pada Tahun Anggaran 2025, Permendes PDTT 2/2024. Dus, penggunaan dana desa untuk pembangunan Kopdes Merah Putih pun akan mempunyai payung hukum yang jelas.
“Fokusnya (penggunaan dana desa 2025 menjadi) kepada Koperasi Desa Merah Putih,” ujar dia, kepada awak media, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2025).
Meski fokus penggunaan dana desa dialihkan untuk pembangunan Kopdes Merah Putih, namun Yandri menegaskan bahwa pada akhirnya koperasi tersebut diciptakan juga untuk mewujudkan mimpi swasembada pangan.
“Ujungnya sama semangatnya, bagaimana swasembada pangan. Inti pokoknya, desa semua maju. Desa semua berkembang dengan baik,” tambah politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Harusnya Belajar dari Kegagalan KUD
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, tak habis pikir dengan ide pemerintah yang berencana membangun 70-80 ribu Kopdes Merah Putih. Sebab, meski banyak yang kurang optimal, Indonesia telah memiliki setidaknya 70 ribu BUMDes yang tersebar di seluruh Tanah Air. BUMDes pun dapat membentuk koperasi atau unit usaha desa lainnya, yang bergerak di bidang apapun, termasuk pangan.
“Saya berpikir keras apa landasan pemerintah ingin membentuk Koperasi Merah Putih di 70 ribu desa hanya untuk menyerap hasil pertanian. Bagaimana nasib usaha yang eksis terlebih dahulu?” kata dia, saat dihubungi Selasa (4/3/2025).
Alih-alih membangun Kopdes Merah Putih, pemerintah seharusnya belajar dari kegagalan pengimplementasian Koperasi Unit Desa (KUD) yang mempunyai bentuk bisnis dan tujuan sama. Mengutip laman Induk KUD, Badan Usaha Unit Desa yang merupakan embrio KUD bertugas melakukan pembelian gabah, menggiling dan menyetor beras ke Dolog (Depot Logistik), serta menjadi penyalur pupuk.
“Hasilnya? Gagal total. Sampai sekarang program itu nggak berjalan lagi. Sekarang pola yang sama ingin diterapkan melalui Koperasi Merah Putih. Tidak masuk akal dan berisiko ada fraud,” ujar Huda.
Menukil laman UMKM Indonesia, KUD yang masif berdiri sebagai instrumen swasembada pangan era Orde Baru sejak 1978 berguguran lantaran adanya deregulasi pasar. Bahkan, Kredit Usaha Tani (KUT) yang merupakan bisnis inti (core business) KUD sempat mengalami gagal bayar hingga Rp8 triliun.
Selain potensi gagal bayar, Huda juga khawatir pembangunan Kopdes Merah Putih justru akan menjadi ladang korupsi. “Karena banyak di luar sana, Koperasi penerima bantuan, tapi nyatanya tidak ada bentuk fisiknya. Rawan korupsinya tinggi,” imbuh dia.
Penggunaan dana desa sebagai sumber pendanaan pembangunan Kopdes Merah Putih pun dinilai tak tepat. Sebab, pada dasarnya dana desa merupakan hak tiap desa yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan desa, untuk mengembangkan BUMDes salah satunya.
Pekerja menuangkan susu sapi dari peternak ke dalam wadah saat tiba di Koperasi Unit Desa (KUD) Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2024). Kementerian Koperasi mendorong koperasi peternak sapi perah Gabungan Koperasi Susu Indonesia memiliki pabrik pengelolaan susu sendiri yang melibatkan Koperasi Unit Desa di daerah untuk meningkatkan volume produksi susu nasional. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/tom.
Jika dana desa juga diperuntukkan bagi pembangunan Kopdes Merah Putih sekaligus juga mengembangkan BUMDes, Huda khawatir, fiskal desa akan semakin cekak. Saat ini terjadi, ruang gerak pemerintah desa akan terbatas.
“Dampaknya bisa ke pertumbuhan ekonomi di desa tersebut tidak optimal. Misalkan, di desa tersebut sudah ada CV yang menyerap hasil pertanian. Kemudian pemerintah buka Koperasi Merah Putih dengan model bisnis yang sama. Ya, akhirnya terjadi kanibalisme yang berujung pada ekonomi yang stagnan,” jelasnya.
Terlepas dari itu, koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional memang memiliki peran penting untuk menumbuhkan ekonomi Indonesia, mulai dari desa. Berkaca dari 1998, koperasi dan UMKM lah yang pada saat itu menjaga ekonomi Indonesia tak ambruk karena krisis ekonomi dunia. Bahkan, pada awal pengembangannya KUD juga mampu berjalan dengan cukup baik, meski usai reformasi menjadi sarang korupsi dan bancakan elit desa karena salah tata kelola.
Karenanya, agar Kopdes Merah Putih tak berakhir seperti KUD, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal krusial dari pengembangannya. Pertama, jangan sampai Kopdes Merah Putih menjadi pesaing usaha eksisting yang sudah ada di desa. Jika pemerintah ingin tetap memfokuskan Kopdes Merah Putih sebagai salah satu instrumen untuk mencapai swasembada pangan, usaha Kopdes dapat difokuskan pada hilirisasi atau pengolahan hasil pertanian yang selama ini masih sangat minim.
“Misalnya untuk petani padi, limbah padi berupa jerami, sekam dan bekatul yang bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi dan bisa jadi sumber pendapatan koperasi. Atau komoditas sayuran seperti cabai yang harganya selalu fluktuatif, itu diolah jadi cabai pasta atau cabai kering. Karena selama ini kita masih impor cabai pasta dan kering,” saran Peneliti Core Indonesia, Eliza Mardian.
Tak kalah penting, perlu pula menyusun rencana bisnis Kopdes Merah Putih yang baik dengan melibatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni di bidang perkoperasian. Dalam hal ini, petani akan lebih baik menjadi anggota Kopdes saja, alih-alih pengurus. Sebab, beberapa petani lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus lahan.
“Petani difokuskan untuk mengembangkan budidaya usaha taninya. SDM desa yang memiliki kemampuan manajerial dan pengembangan bisnis yang baik, yang sebaiknya jadi pengelola koperasi,” tambahnya.
Sementara itu, kegagalan KUD tak lain disebabkan oleh pengelolaan koperasi yang menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down), di mana pemerintah punya kontrol sangat kuat terhadap KUD. Padahal, ini membuat transparansi dalam pengelolaan keuangan dan operasional KUD amat kurang. Ditambah lagi, partisipasi dan pengawasan dari anggota koperasi (petani) juga kurang.
Dari sisi pengurus KUD, pemilihan pun dilakukan berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi. Jadi, orang-orang yang memegang kepengurusan KUD tidak capable. “Jadi, perlu hati-hati. Jangan sampai juga ada memonopoli distribusi pupuk, benih, dan kredit yang membuka celah penyalahgunaan,” tukas Eliza.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang