Kunci Mengatasi Masalah Darurat Sampah di Bali: Pilah di Sumber

16 hours ago 9

tirto.id - Keindahan alam Pulau Dewata menghadapi satu permasalahan yang perlu atensi khusus, yaitu timbunan sampah yang belum terkelola. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1.167.451,75 ton. Komposisi dominannya berupa sampah kayu dan ranting (38,2 persen), sisa makanan (27,66 persen), plastik (16,91 persen), kertas dan karton (8,22 persen), dan sampah lainnya (9,01 persen).

Besarnya angka timbulan sampah tersebut menjadi tantangan bagi Provinsi Bali. Sebab, ia dapat memengaruhi citra pariwisata Bali dalam jangka panjang.

Gubernur Bali, Wayan Koster, sebenarnya telah menyadari alarm tersebut. Penanganan masalah sampah merupakan salah satu dari lima program super prioritas mendesak (PSPM) yang dia inisiasi. Tim Percepatan Pelaksanaan Program Penanganan Sampah pun telah dibentuk pada Maret ini untuk bekerja dalam skema lima tahun.

“Langkah sudah dimulai dengan surat edaran Bapak Sekda Provinsi, mulai menggunakan tumbler dan tidak menggunakan minuman kemasan plastik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota se-Bali. Ini akan kami perluas sampai ke tingkat desa dan desa adat, maupun juga sekolah-sekolah di seluruh Bali agar Bali ini betul-betul bisa bebas dari sampah plastik,” terang Koster dalam Rapat Koordinasi Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten se-Bali di Balai Budaya Giri Nata Mandala, Badung, Rabu (12/03/2025).

Kebijakan itu ditetapkan dengan mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Percepatan pembatasan timbulan sampah sekali pakai hendak merambah hingga ke tingkat desa melalui pararem (peraturan desa adat) yang dikeluarkan oleh perbekel atau bendesa adat.

Gubernur Koster juga hendak memanggil seluruh pelaku industri yang memproduksi minuman kemasan plastik. Mereka akan diminta tidak lagi mengeluarkan produk-produk kemasan plastik dan melarang penggunaannya di seluruh wilayah Provinsi Bali.

Selain itu, Pemprov Bali menerbitkan kebijakan bahwa hotel, restoran, mal, tempat ibadah, lembaga pendidikan, pasar tradisional, perkantoran, dan tempat wisata wajib memiliki unit pengelolaan sampah. Kebijakan itu dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan penanganan sampah berbasis sumber.

“Kami akan lakukan ini dengan sistem yang tertata dan terorganisir dengan baik,” jelas Koster.

Di tingkat yang lebih tinggi, Koster hendak menuntaskan pembangunan tempat pengelolaan sampah reuse, reduce, dan recycle (TPS3R) yang dilengkapi dengan teknologi insinerator. TPS3R itu bakal dibangun di Denpasar, Badung, dan Gianyar yang volume sampahnya sangat tinggi.

Gubernur Koster telah menyiapkan sejumlah sanksi bagi hotel, restoran, mal, dan tempat-tempat wisata di Bali yang tidak melaksanakan penanganan timbulan sampah plastik sekali pakai atau pengelolaan sampah berbasis sumber.

Koster pun akan mengumumkan kepada publik para pelaku usaha yang lalai dalam melakukan penanganan sampah.

“Sanksi administratif berkaitan dengan izin operasional dan sanksi sosial berupa pengumuman kepada publik terkait hotel hingga mal yang tidak ramah lingkungan dan dinyatakan tidak layak dikunjungi. Kita harus keras dan tegas,” ucap Koster.

Tidak hanya itu, Koster juga akan menggelar lomba mengelola sampah berbasis sumber di tingkat desa se-Bali. Pemprov Bali akan memberikan insentif (besarannya berkisar antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar) bagi desa dan desa adat yang mampu mengelola sampah berbasis sumber dengan baik.

Pelaku usaha hotel, restoran, mal, dan tempat wisata yang berhasil menangani sampah di tempat usahanya masing-masing juga akan diberi penghargaan.

“Jangan kita yang bikin sampah, orang lain yang disuruh urus. Ini tidak benar. Siapa yang bikin sampah, dia yang harus selesaikan. Pengelolaan sampah harus berbasis sumber. Mengapa Jepang bisa, kita enggak bisa? Kita harus bisa,” tegas Koster.

Akar Masalah Sampah di Bali

Kedaruratan permasalahan sampah di Bali terlihat dari kurangnya kesadaran pengelolaan sampah dan ketersediaan infrastruktur persampahan di Bali. Hal tersebut diperparah dengan kenaikan angka wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata setiap momennya. Akibatnya, fasilitas pengelolaan sampah yang ada tidak lagi mampu menampung volume sampah yang terus meningkat.

Peneliti dari Centre for Remote Sensing and Ocean Sciences (CReSOS) sekaligus akademisi dari Universitas Udayana (Unud), I Gede Hendrawan, mengatakan bahwa tempat pemrosesan akhir (TPA) selama ini masih difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir.

Padahal, TPA seharusnya menjadi tempat untuk memroses sampah yang tidak dapat diproses di TPS3R atau tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).

“Sampah-sampah botol minuman, dan plastik, dan lain sebagainya bisa diolah kembali [recycling] atau digunakan kembali [reuse], dan sebagainya. Kenapa keduanya tidak berfungsi dengan baik? Karena, TPS3R dan TPST menerima sampah yang masih bergabung sehingga infrastruktur yang dimiliki dan sumber dayanya juga sangat kekurangan di sana. Pada akhirnya, TP3R dan TPST sifatnya seperti TPA juga,” ucap Hendrawan ketika dihubungi kontributor Tirto, Jumat (14/03/2025).

Kondisi sampah di hilir, menurut Hendrawan, saat ini memang mengkhawatirkan. Sampah menumpuk di TPA, bahkan ada yang dibuang ke lingkungan dalam rupa pembakaran atau tempat pembuangan liar di pinggir sungai.

Selain itu, kemampuan tempat pemprosesan sampah yang ada saat ini belum memadai untuk memproses sampah dari masyarakat, industri, restoran, dan lainnya.

“Kondisi di hulu juga tidak bagus. Pemilahan dari sumber itu tidak berjalan dengan baik, walaupun sudah ada peraturan yang mengatur hal itu. Proses itu tidak berjalan, tidak ada pengawasan, tidak ada evaluasi, dan tidak ada perbaikan,” terang Hendrawan.

Menurutnya, Pemprov Bali semestinya mengevaluasi hal-hal tersebut dan mempersiapkan infrastruktur pengelolaan sampah dengan baik.

Idealnya, kata Hendrawan, masyarakat di tingkat rumah tangga melakukan pemilahan sampah. Lalu, pemerintah mengambil sampah tersebut dan memprosesnya lebih lanjut di TPS3R. Namun, pada kenyataannya, sistem pengelolaan sampah di Bali masih bermasalah dari hulu hingga hilir.

Untuk membangun TPS3R dan TPST tambahan di Bali pun diperlukan kajian yang baik. Hal yang harus ditelaah meliputi seberapa besar volume sampah yang akan dikelola dalam satu TPS3R dan TPST, serta apakah efisien dengan sumber daya dan pendanaan yang ada. Jangan sampai pengeluaran dari TPS3R atau TPST tersebut lebih besar dibandingkan manfaatnya.

“Kita bicara Bali, kita bicara Indonesia, kita tetap terkendala dengan masalah pendanaan. Menurut saya, perlu dilakukan kajian dengan baik sehingga diketahui levelnya di mana. Apakah TPST atau TPS3R diletakkan di level desa atau level kecamatan? Misalnya, satu infrastruktur TPST atau TPS3R mencakup 4 sampai 5 desa,” jelas Hendrawan.

Menurut Hendrawan, satu-satunya cara untuk mengentaskan permasalahan sampah adalah dengan menerapkan waste management dan mengajak masyarakat melakukan proses pemilahan sampah di sumber.

“Banyak negara maju yang memiliki teknologi-teknologi pengolahan sampah, tapi mereka juga memiliki sistem yang baik. Jadi, jangan hanya ujungnya, jangan hanya teknologinya yang diadopsi, tetapi sistem pemilahan, sistem pengangkutan, infrastruktur, dan lain sebagainya juga harus dibangun,” bebernya.

TPA Suwung akan Ditutup?

Salah satu hal yang disorot terkait permasalahan sampah di Bali adalah wacana penutupan TPA Suwung yang merupakan tempat pemprosesan akhir sampah-sampah dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).

Semula, wacana tersebut disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq. TPA Suwung adalah salah satu dari 306 TPA open dumping yang akan ditutup pemerintah per 2026.

“Pemerintah berkomitmen untuk mengakhiri open dumping sampah dalam tujuan untuk membangun peradaban yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya, sebagaimana yang dimaksudkan di Nawacita kita dan menjadi salah satu tujuan dari RPJMN,” kata Hanif dalam konferensi pers di kantornya, Senin (10/03/2025).

Guru Besar Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Udayana, I Made Sudarma, menggarisbawahi bahwa yang bakal ditutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup adalah open dumping dari TPA tersebut. TPA-nya sendiri tidak ditutup karena ia harus tetap ada.

Konsekuensi penutupan open dumping itu, lanjut Sudarma, adalah harus ada perlakuan atau pemprosesan lebih lanjut terhadap sampah tersebut di TPA.

“Semenjak UU Nomor 18 Tahun 2008, diamanatkan TPA dalam jangka waktu 5 tahun dari sejak diundangkannya tidak boleh lagi open dumping, harus mengarah ke sanitary landfill. Itu seharusnya terwujud pada tahun 2013. Namun, sampai sekarang, hampir semua TPA itu belum menjadikan TPA-nya sebagai sanitary landfill sehingga ada sekitar 343 ‘surat cinta’ Menteri LH kepada Dinas Lingkungan Hidup,” kata Sudarma kepada Tirto, Selasa (18/03/2025).

Sudarma juga menegaskan bahwa Bali mempunyai instrumen berupa Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengolahan Sampah Berbasis Sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi sampah di tingkat TPA.

Pergub tersebut menyatakan bahwa sampah harus mulai dipilah di tingkat penghasil sampah, seperti rumah tangga, industri, atau perkantoran.

“Setelah dipilah di rumah tangga, harapannya dilakukan pemilahan dengan konsep 3R di TPS3R dan dari TPS3R, yang terbawa nanti ke TPA itu hanyalah residu saja. Dengan membawa residu, berarti volume sampah bisa dikurangi dan ini akan ditindaklanjuti oleh pengolahan sampah residu di TPA nanti,” tambahnya.

Alternatif lainnya adalah dengan mengubah sampah menjadi bahan bakar, seperti RDF (refuse derived fuel) atau WTE (waste to energy). Namun, Sudarma menilai bahwa alternatif tersebut memerlukan kajian lebih lanjut karena tergantung dengan spesifikasi teknologi yang digunakan, minimal konsumsi sampah yang diperlukan oleh teknologi tersebut, dan besaran living fee yang diminta oleh investor.

“Kalau misalnya semua sampah dibawa ke TPA, volume sampah kita lebih dari cukup untuk diolah ke WTE. Namun, itu berarti kita tidak melakukan pengurangan dan penanganan sampah di sumber. Sebab, yang mau kita jadikan pengolahan di tingkat akhir dengan WTE atau RDF itu adalah sampah residu,” jelas Sudarma.

Menelaah Reward dan Punishment Pengelolaan Sampah

Penerapan sistem reward and punishment dalam mengentaskan permasalahan sampah di Bali merupakan hal baru dalam masa kepemimpinan Koster. Menurut Sudarma, periode pertama kepemimpinan Koster masih menekankan pada imbauan dan sosialisasi dengan harapan masyarakat sadar akan pentingnya pengelolaan sampah.

Namun, melihat situasi Bali pada saat ini, sistem reward and punishment itu dijalankan sebagai bentuk low investment pemerintah untuk menegaskan pentingnya pengelolaan sampah.

“Saya pikir apabila penyadaran akan pentingnya pemilahan sampah di sumber dengan 3R itu tidak berhasil, awareness masyarakat tidak berhasil ditingkatkan melalui sosialisasi, penyuluhan, dan sebagainya, dan ternyata masyarakat itu juga tidak berhasil memilah sampah, maka alternatif yang dilakukan adalah penegakan hukum. Reward untuk yang taat akan aturan, punishment apabila mereka tidak melakukan sesuai aturan,” bebernya.

Dalam pemberian reward, Koster secara khusus mengincar desa dan desa adat yang mampu mengelola sampah berbasis sumber. Menurut Sudarma, ide tersebut baik adanya sehingga kelak sampah yang dibawa ke TPA hanyalah residu berupa sampah multilayer—seperti kulit permen, sachet, dan popok.

“Diharapkan sampah-sampah yang bernilai ekonomi dipilah di sumber sampah. Katakanlah di rumah tangga atau hotel. Yang bersifat tidak bisa didaur ulang atau botol plastik dan sebagainya itu akan disimpan, diberikan kepada bank sampah,” ungkapnya.

Di tataran Kota Denpasar, konsep tebe modern sedang digerakkan dalam rangka menangani permasalahan sampah dari sumber. Konstep tebe merujuk pada pembuatan sebuah sumur untuk meletakkan sampah organik di dalamnya. Seiring berjalannya waktu, sampah tersebut akan berubah menjadi kompos.

“Jadi, sampah yang masuk ke tebe pun adalah sampah yang terpilah, tidak boleh dicampur antara sampah organik dengan sampah plastik, logam, atau apa pun. Konsep awal yang harus dipahami masyarakat adalah pemilahan sampah. Ini dilakukan khususnya di rumah tangga yang mempunyai space, halaman, atau bagian belakang rumah yang dapat dibuatkan menjadi sumur,” terang Sudarma.

Apabila kelak sampah menumpuk di TPS3R akibat perilaku masyarakat yang tidak berubah, Sudarma menyarankan diberlakukan punishment berupa tidak diterimanya sampah tersebut di TPA. Sampah tersebut akan dikirimkan kembali ke pengirimnya, baik rumah tangga atau industri.

“Mereka akan merasakan bahwa sampah akan menumpuk dan tidak ada yang mengangkut. Dari sana, mereka akan melakukan pemilahan,” kata Sudarma.

Di sisi lain, Hendrawan menganggap bahwa sistem reward dan punishment yang diterapkan oleh Koster merupakan motivasi bagi desa atau pelaku industri untuk berbuat yang terbaik untuk memulihkan Bali dari masalah sampah. Namun, tetap diperlukan evaluasi lebih lanjut setelah kebijakan tersebut dijalankan untuk mengetahui efektivitasnya.

“Dia akan memberikan rangsangan untuk mempercepat proses penanganan masalah persampahan. Apakah itu [reward dan punishment] menyelesaikan masalah? Saya pikir enggak menyelesaikan masalah juga. Kalau itu dilakukan, dilihat, dievaluasi dengan baik di setiap desa, itu menjadi sesuatu yang bagus,” tukas Hendrawan.


tirto.id - News

Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |