tirto.id - Jam kerja belum dimulai, tapi notifikasi kalender sudah penuh warna: Ada meeting jam 9, lanjut jam 11, check-in progress jam 1 siang, dilanjut alignment jam 4 sore. Di antara rapat-rapat itu, waktu untuk bekerja "beneran" justru minim.
Fenomena ini bukan cuma keluhan satu dua orang, tetapi telah menjadi gejala umum yang beberapa waktu lalu sempat ramai dibahas di media sosial. Banyak pekerja Indonesia merasa hari-harinya habis untuk meeting, bukan menyelesaikan pekerjaan. Akibatnya, jam kerja jadi molor, beban bertambah, tapi hasilnya—baik secara keluaran (output) maupun gaji—tetap stagnan.
Fenomena itu juga disorot oleh Leigh McKiernon, mantan Country Director British Council Indonesia, dalam sebuah tulisan reflektif di LinkedIn. Ia menyebut Indonesia terjebak dalam fenomena yang ia sebut sebagai “industri konferensi”. Itu merupakan sebuah kultur profesional ketika rapat, panel, dan diskusi publik, digelar terus-menerus, tetapi jarang berujung pada aksi nyata.
Menurut McKiernon, berbicara di depan publik lebih dihargai ketimbang menyelesaikan pekerjaan konkret. Panelis yang sama, topik yang sama, jargon yang sama, tetapi perubahan tetap nihil. “Kalau [modal] bicara bisa menciptakan PDB, Indonesia sudah jadi kekuatan ekonomi dunia,” tulisnya sinis.
McKiernon, dalam artikelnya itu, memang tidak secara langsung menyinggung pengaruh langsung dari kultur doyan ngobrol terhadap pekerja Indonesia. Namun, ada resonansi antara kritik McKiernon dan kenyataan di lapangan tentang jam kerja yang tidak berbanding lurus dengan produktivitas dan besaran upah.
Jam Kerja Tak Berujung Sebab Rapat Tiada Habisnya
Data Badan Pusat Statistik, misalnya, menunjukkan bahwa jam kerja orang Indonesia (42 jam per minggu) tidak jauh berbeda dengan orang-orang Singapura (42,6 jam per minggu) dan Malaysia (43,2 jam per minggu). Namun, menurut temuan Organisasi Buruh Dunia (ILO), produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya sekitar 14 dolar AS per jam. Jumlah itu sangat jauh dibandingkan dengan Malaysia yang mencatat 26 dolar AS per jam dan Singapura yang menembus 74 dolar AS per jam.
Artinya, ada ketidakseimbangan antara usaha dan keluaran. Lebih banyak waktu kerja tidak otomatis menghasilkan kinerja lebih baik. Di Indonesia, waktu kerja yang panjang sering kali tersedot habis oleh aktivitas rapat yang repetitif, birokratis, dan minim tindak lanjut konkret. Akibatnya, pekerjaan inti justru dikerjakan di luar jam kantor, tanpa kompensasi tambahan.
Ilustrasi rapat Zoom. (FOTO/iStockphoto)
Dida (bukan nama sebenarnya), seorang pekerja asuransi di bilangan Jakarta Selatan, kerap menghadapi kenyataan bahwa dengan beban kerja yang ada, durasi 8 jam kerja sehari pun sering kali tidak cukup.
Sebagai seorang team leader, dia turut bertanggung jawab menilai hasil kerja anggota timnya dan jobdesc ini saja sudah sangat menyita waktunya di tempat kerja. Namun, selain pekerjaan utama, Dida sering diminta untuk menghadiri rapat-rapat mendadak dengan atasannya. Belum lagi, terdapat rapat rutin dua mingguan dan rapat kepemimpinan yang dilaksanakan di luar jam kerja.
"Aku sering banget baru bisa menyelesaikan tugas-tugas utama setelah jam kantor selesai. Yang harusnya jam 5 sore udah pulang, sering molor sampai jam 7, bahkan bisa jam 8," ujarnya, kepada Tirto (15/4).
Sudah begitu, imbalan yang didapatkan Dida pun, menurutnya, kurang apresiatif. Belum lama ini, tuturnya, ada perubahan sistem pemberian insentif yang membuat bonus tidak sebesar sebelumnya.
"Dulu, bonus bisa jadi motivasi tambahan. Lumayanlah angkanya, bisa separuh dari gaji pokok sendiri, bahkan lebih. Tapi, dua bulan lalu, sistem pemberian insentifnya berubah. Jadinya sekarang bonusnya gak seberapa," keluh perempuan 32 tahun tersebut.
Selain produktivitas yang anjlok, kompensasi terhadap pekerja pun ternyata tidak seberapa. Penambahan jam kerja, yang timbul sebagai konsekuensi dari terlalu banyaknya rapat, tidak pernah dihitung sebagai jam lembur. Alhasil, take home pay yang didapatkan pun jadi betul-betul terasa tidak sebanding.
Dari sini mungkin ada yang bertanya. "Udah tau gitu, kenapa gak resign?" Jawabannya, tak lain, adalah soal ketahanan finansial.
Belum pernah ada riset atau survei resmi yang mencari persentase orang Indonesia yang hidup dari gaji ke gaji. Akan tetapi, menurut laporan Kompas, mayoritas orang Indonesia kesulitan untuk hidup nyaman. Dengan kata lain, gaji mereka pas-pasan dan ini tidak jauh beda dengan kondisi hidup dari gaji ke gaji. Situasi hidup demikian tentu menyulitkan seseorang untuk resign dari pekerjaan karena, apabila tidak bekerja sebulan saja, mereka takkan mampu bertahan hidup.
Sudah Saatnya Mereduksi Rapat-Rapat Nirguna
Banyak manajer, terutama yang baru saja dipromosikan, masih menganggap kehadiran di rapat sebagai bentuk kontrol terhadap bawahan. Hadir di rapat diasosiasikan dengan loyalitas, keterlibatan, bahkan kekompakan tim
Akan tetapi, pandangan ini mulai ditinggalkan di banyak tempat. Beberapa perusahaan global sudah mulai menggeser pola kolaborasi ke arah komunikasi asinkron. Artinya, kerja tim tidak lagi bergantung pada kehadiran serentak dalam rapat.
GitLab, misalnya, menjalankan operasional sepenuhnya secara remote dan mendokumentasikan hampir seluruh aktivitas kerja lewat sistem tertulis. Mulai dari pembaruan proyek, umpan balik, hingga keputusan strategis, semuanya dilakukan melalui issue tracker dan dokumen terbuka.
Pendekatan serupa juga diterapkan oleh Basecamp, yang mendorong komunikasi berbasis tulisan dan membatasi interupsi waktu nyata, agar karyawan bisa bekerja lebih fokus dan tidak merasa terikat untuk selalu hadir secara sinkron. Model seperti ini menunjukkan bahwa produktivitas tidak harus bertumpu pada banyaknya rapat, melainkan pada kejelasan komunikasi dan kepercayaan terhadap individu untuk mengelola waktunya sendiri.
tidur Saat presentasi di kantor. FOTO/iStockphoto
Apabila memang belum mampu menerapkan komunikasi asinkron, perusahaan perlu mulai mengevaluasi efektivitas rapat, membiasakan komunikasi yang lebih efisien, dan memberi ruang kerja yang benar-benar fokus. Beberapa perusahaan progresif di luar negeri telah mengadopsi pendekatan baru, seperti no meeting day atau time-blocking. Mereka membatasi waktu rapat agar tugas-tugas utama dapat diselesaikan dengan lebih fokus.
Shopify, misalnya, mengambil langkah tegas dengan menghapus semua rapat berulang yang melibatkan lebih dari dua orang dan menetapkan hari Rabu sebagai hari bebas rapat. Atlassian sudah mengganti rapat dengan mengutilisasi platform Loom, sementara Asana mendorong praktik time-blocking untuk memberi ruang untuk bekerja dengan fokus (deep work) tanpa gangguan.
Praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa mengurangi rapat justru bisa menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi dan kepuasan kerja.
***
Jika dibiarkan, budaya rapat tanpa arah bisa menjadi beban struktural yang menurunkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Perusahaan perlu mulai mengevaluasi efektivitas rapat, membiasakan komunikasi yang lebih efisien, dan memberi ruang kerja yang benar-benar fokus. Sebab, pada akhirnya, kerja keras bukan soal berapa banyak rapat yang kita hadiri, melainkan berapa banyak pekerjaan yang selesai dengan baik.
Waktu adalah uang dan perusahaan perlu menyadari bahwa jam kerja yang panjang tanpa hasil setimpal hanya akan membuat pekerja makin kelelahan, terlebih tanpa adanya penghargaan yang memadai.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin