tirto.id - Selama berdekade-dekade, ide bahwa bekerja lebih lama dalam sehari dapat meningkatkan produktivitas telah membentuk berbagai kebijakan serta budaya korporasi di seluruh dunia.
Dari lantai-lantai pabrik hingga kantor di pencakar langit, karyawan seakan-akan telah dikondisikan bahwa pulang lebih larut dan bekerja lebih lama banyak dari yang seharusnya merupakan wujud dedikasi. Benarkah demikian? Benarkah bahwa bekerja lebih lama dalam sehari betul-betul bisa menggenjot produktivitas?
Sejumlah riset kiwari menyatakan, itu semua hanyalah mitos. Justru sebaliknya, bekerja lebih lama dalam sehari dapat berujung pada menurunnya efisiensi, masalah kesehatan, bahkan stagnasi ekonomi sebuah negara.
Komparasi Jam Kerja dan Produktivitas
Tidak semua pekerja bekerja dalam jumlah jam yang sama. Setiap negara memiliki aturan serta budayanya sendiri-sendiri. Namun, di negara dengan porsi ekonomi informal lebih besar seperti Indonesia, bekerja lebih lama dalam sehari seolah telah menjadi norma. Namun, dengan begitu pun, produktivitas yang dihasilkan tidaklah sebanding.
Berdasarkan Survei Ekonomi 2024 oleh OECD, masalah terbesar Indonesia adalah perihal peningkatan output (hasil) ekonomi per pekerja, meskipun mereka tersebut bekerja sangat lama dalam sehari. Laporan tersebut menggarisbawahi, rendahnya produktivitas Indonesia berhulu dari rendahnya integrasi terhadap rantai nilai global, terbatasnya adopsi digital, hingga inefisiensi dalam pengembangan kemampuan pekerja.
Adapun laporan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2022 menunjukkan, meskipun kebanyakan negara-negara berkembang memiliki jam kerja terpanjang, produktivitas yang dihasilkan gagal mengalahkan negara-negara yang jam kerjanya lebih pendek. Dari sana, ILO menyimpulkan, apabila jam kerja dikurangi, tetapi dibarengi dengan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kualitas serta efisiensi pekerjaan, niscaya produktivitas secara keseluruhan pun bakal meningkat.
Salah satu negara yang telah berhasil mengaplikasikan hal tersebut adalah Korea Selatan (Korsel). Selama bertahun-tahun, jam kerja di sana jauh melebihi jam kerja di sebagian besar negara OECD lainnya. Sepintas, ini memang menunjukkan betapa tingginya etos kerja warga Korsel. Akan tetapi di balik itu, muncul masalah-masalah yang tak terelakkan, mulai dari menurunnya tingkat produktivitas hingga buruknya kualitas work-life balance para pekerja.
Pemerintah Korsel pun melakukan pembenahan besar-besaran. Mereka memutuskan untuk menurunkan jumlah jam kerja maksimum dari 68 jam per pekan menjadi 52 jam per pekan. Hasilnya? Pertumbuhan ekonomi mereka tetap stabil, begitu pula dengan level produktivitas.
Apa yang terjadi di Korsel menjadi bukti bahwa bekerja lebih lama tidak ekuivalen dengan meningkatnya produktivitas.
Studi Kasus di Britania Raya
Sebenarnya, usulan untuk mengurangi jam kerja bukanlah ide baru. Lebih dari dua dasawarsa silam, sebuah tinjauan komprehensif yang dilakukan Departemen Perdagangan dan Perindustrian Britania Raya sudah menyimpulkan bahwa bekerja lebih lama dalam sehari tidak serta-merta meningkatkan produktivitas.
Kala itu, Britania Raya menjadi salah satu negara dengan jam kerja terpanjang di Eropa. Akan tetapi, produktivitas mereka setiap jamnya masih kalah dibandingkan negara-negara lain, macam Jerman dan Prancis, yang jam kerjanya lebih pendek dalam sepekan. Pertanyaannya, mengapa demikian?
Dalam riset yang sama ditunjukkan, bekerja lebih lama dalam sehari sering berakibat pada munculnya kelelahan kognitif yang berujung pada makin banyaknya kesalahan, menurunnya efisiensi, dan meningkatnya jumlah kecelakaan di tempat kerja.
Selain itu, karyawan yang secara reguler bekerja 48 jam dalam sehari dilaporkan memiliki level stres lebih tinggi dan lebih sering izin absen karena sakit. Di sisi lain, negara yang jam kerjanya berada di angka 35-40 jam per pekan justru lebih produktif.
Rendahnya produktivitas ini bisa dikaitkan dengan fenomena bernama presenteeism, situasi ketika seorang karyawan "pura-pura sibuk bekerja" di kantor atau tempat kerja hanya supaya tidak dimarahi bos atau supaya dilihat sebagai karyawan teladan. Jadi, meskipun pekerjaan seorang karyawan sudah selesai sekalipun, karyawan tersebut mesti tetap duduk di depan komputer demi mendapatkan pujian, kenaikan gaji, atau promosi jabatan.
Studi tersebut juga menunjukkan perbedaan antara lembur berbayar dan tidak berbayar. Para pekerja manual yang bekerja lembur biasanya mendapat kompensasi berupa uang lembur. Namun, produktivitasnya lama-kelamaan bakal menurun lantaran kelelahan fisik. Sementara itu, para pekerja profesional—wabil khusus yang bekerja di level manajerial yang bekerja lembur tanpa kompensasi— tidak merasakan manfaat apa pun; mereka hanya merasakan stres dan burnout.
Work Life Balance. foto/istockphoto
Sains di Balik Bekerja Berlebihan
Efek negatif dari bekerja terlalu lama bisa dijelaskan secara psikologis dan fisiologis. Sejumlah riset menyatakan, otak manusia hanya bisa bekerja optimal selama beberapa jam dalam sehari.
Angkanya memang berbeda-beda. Misalnya, psikolog kenamaan, Anders Ericsson, menyatakan bahwa manusia hanya bisa melakukan deep work (bekerja dengan konsentrasi penuh tanpa interupsi) selama maksimal 4 jam. Sementara itu, riset yang dilakukan Simon Folkard pada 1975 menunjukkan, otak manusia bekerja optimal hanya dari pukul 08:00 sampai 14:00 atau selama 6 jam.
Kendati berbeda-beda secara angka, kedua temuan di atas sebenarnya menyatakan hal serupa. Ada batasan bagi otak manusia yang, apabila dipaksa, bakal menghasilkan efek negatif. Ketika para pekerja dipaksa bekerja (jauh) melebihi kapasitas otaknya, kemampuan berkonsentrasi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan, sudah pasti bakal menurun.
Secara fisiologis, jam kerja yang panjang telah dikaitkan pula dengan masalah kesehatan, seperti penyakit kardiovaskular, tekanan darah tinggi, serta meningkatnya level stres. Data WHO pada 2016 menyebutkan, jam kerja panjang telah menewaskan 745 ribu orang sepanjang tahun tersebut. Mereka meninggal dunia setelah terkena stroke dan serangan jantung.
Apa Solusi Idealnya?
Lantas, apabila bekerja lebih lama sudah terbukti tidak efektif meningkatkan produktivitas, apa solusi terbaiknya? Jawabannya: menciptakan situasi kerja yang lebih baik, struktur kerja yang efisien, dan investasi dalam kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
Kesepakatan kerja secara fleksibel telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi tanpa membutuhkan jam kerja lebih panjang. Menurut ILO, negara-negara yang sudah menerapkan jam kerja lebih pendek, misalnya Islandia, sudah mengalami pertumbuhan dalam level produktivitas.
Belum lama ini Islandia melakukan uji coba berskala besar. Para karyawan, baik dari sektor publik maupun swasta, mengurangi jam kerjanya dari 40 menjadi 35-36 jam per minggu tanpa pengurangan upah. Hasilnya, produktivitas para karyawan sama sekali tidak berkurang, level stres menurun, dan mereka semua memiliki work-life balance lebih baik.
Survei Ekonomi OECD di Indonesia juga menekankan pentingnya digitalisasi serta upskilling para pekerja. Berinvestasi pada bidang teknologi dan automasi dapat mengurangi kebutuhan akan kerja manual sehingga perusahaan bisa produktif dalam waktu lebih singkat. Jadi, alih-alih bergantung pada jam kerja yang lebih panjang, perusahaan disarankan untuk memprioritaskan pengembangan skill serta optimalisasi proses, misalnya dengan mendesain ruang kerja sedemikian rupa sehingga semua proses berjalan lebih lancar.
Sementara itu, tingkat kepuasan bekerja dan efisiensi juga didapatkan dari perusahaan-perusahaan yang mengizinkan karyawannya mengganti jam lembur dengan waktu cuti. Artinya, ketika seorang karyawan bekerja 10 jam dari Senin hingga Kamis, dia diperbolehkan mengambil libur pada Jumat.
Terakhir, yang tak boleh dilupakan adalah remote working. Tanpa harus melakukan commuting, seseorang sudah bisa langsung bekerja dan memfokuskan segala energi serta pikirannya untuk mengejar level produktivitas yang dibutuhkan. Meskipun bagi sebagian besar perusahaan remote working hanyalah solusi sementara ketika pandemi melanda, sesungguhnya metode bekerja semacam ini jauh lebih efektif dibanding cara kerja konvensional.
Work Life Balance. foto/istockphoto
Waktunya Mengubah Masa Depan
Sudah ada banyak bukti yang menunjukkan bahwasanya produktivitas tidak akan bisa digenjot hanya dengan menambah jam kerja. Sebaliknya, bekerja berlebihan justru memicu banyak masalah, mulai dari menurunnya kemampuan kognitif pekerja sampai timbulnya penyakit-penyakit mematikan.
Memang benar ada pekerjaan-pekerjaan yang mau tidak mau harus menuntut jam kerja panjang, seperti dokter, polisi, atau pemadam kebakaran. Akan tetapi, secara keseluruhan, untuk meningkatkan produktivitas butuh pendekatan lebih cerdas.
Para pemangku kebijakan serta pemilik perusahaan perlu belajar dari kisah sukses dari negara-negara maju yang menerapkan kebijakan pengurangan jam kerja. Namun, itu semua tentu mesti dibarengi upaya-upaya lain, misalnya berinvestasi di transformasi digital serta memberi prioritas pada kesejahteraan pekerja. Semuanya mesti dilakukan secara simultan.
Di tengah makin maraknya kejadian burnout yang dialami para pekerja, sudah waktunya memikirkan masa depan yang lebih baik. Kerja cerdas harus diprioritaskan alih-alih kerja keras. Sudah bukan waktunya lagi memeras tenaga karyawan sedemikian rupa ketika solusi yang lebih efektif sudah tersedia di depan mata. Persoalannya kini bukan soal bisa atau tidak bisa, melainkan mau atau tidak mau.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin