tirto.id - Nurmalita Sari (28) kaget saat dirinya harus merogoh kocek Rp15 ribu untuk membeli 1 ons cabai keriting di Pasar Rumput, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Padahal, sekitar sepekan lalu, harga harga cabai keriting masih Rp12 ribu per ons. Sedangkan, 1 kilogram (kg) cabai keriting dihargai sekitar Rp70 ribu dan cabai rawit kurang lebih Rp120 ribu.
“Belinya harus minimal se-ons. Enggak boleh cuma jatuhin [beli] Rp5.000. Padahal, biasanya itu boleh beli ngecer, Rp5.000-an. Cabe rawit juga gitu. Cuma boleh beli se-ons minimal,” kata dia, kepada Tirto, Senin (3/3/2025).
Ibu dua anak tersebut juga menyoroti harga Minyakita yang hari itu tembus Rp18 ribu per liter. Jauh lebih mahal ketimbang harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter.
“Semua-muanya mahal sekarang. Ini baru hari ketiga puasa, enggak kebayang nanti kalau udah deket-deket Lebaran. Tambah kayak apalah ini mahalnya,” sambung perempuan yang tinggal di Rumah Susun (Rusun) Pasar Rumput tersebut.
Selain beragam jenis cabai, kenaikan harga juga terjadi pada telur ayam ras, bawang merah, dan bawang putih. Sebelumnya, 1 kg telur ayam ras dipatok di kisaran Rp25-26 ribu. Namun, di awal bulan puasa ini, harganya menjadi Rp28-30 ribu. Sementara untuk bawang merah dan bawang putih, kini masing-masing menjadi sekitar Rp49-50 ribu per kg dan Rp47-48 ribu per kg.
“Sebelumnya, bawang merah, bawang putih itu masih cuma Rp40 ribuan. Enggak sampai Rp45 ribu sekilo,” beber salah satu pedagang di Pasar Rumput, Hafis (43), kepada Tirto (3/3/2025).
Kenaikan harga berbagai komoditas pangan dirangkum pula oleh Bank Indonesia (BI) dalam Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional. Jika dirinci, pada Senin (3/3/2025), harga bawang merah ukuran sedang tercatat naik 9,22 persen (Rp3.500) menjadi Rp41.450 per kg, sementara harga bawang putih ukuran sedang naik 1,11 persen (Rp500) menjadi Rp45.700 per kg.
Untuk komoditas beras, kenaikan terjadi pada beras kualitas bawah I yang naik 0,36 persen (Rp50) menjadi Rp14.050 per kg. Beras kualitas medium I naik 0,33 persen (Rp50) menjadi Rp15.350 per kg, sementara beras kualitas super II naik 0,31 persen (Rp50) menjadi Rp16.250 per kg.
Selanjutnya, kenaikan harga juga terjadi pada cabai merah besar yang kini dipatok Rp65.550 per kg—melonjak 15,81 persen (Rp8.950). Cabai merah keriting meroket 20,23 persen (Rp11.500) menjadi Rp68.350; cabai rawit hijau naik 14,68 persen (Rp8.850) menjadi Rp69.150 per kg; dan cabai rawit merah naik 0,25 persen (Rp22.950) menjadi Rp103.600 per kg.
Kemudian, daging ayam ras segar naik 2,46 persen (Rp900) menjadi Rp37.450 per kg; daging sapi kualitas I naik Rp1.400 menjadi Rp140.300; dan daging sapi kualitas II naik 1,03 persen (Rp1.350) menjadi Rp131.950 per kg.
Gula pasir kualitas premium pun mengalami kenaikan harga sebesar 0,25 persen menjadi Rp19.700; minyak goreng curah naik 0,54 persen menjadi Rp18.750 per kg; dan telur ayam ras naik 0,99 persen menjadi Rp30.700 per kg.
Sementara untuk harga Minyakita yang dicatat Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), terjadi pada 27 provinsi di Indonesia, dengan kenaikan tertinggi di wilayah Papua Barat, dengan harga mencapai Rp20 ribu per liter.
Produksi Komoditas Menurun
“Biasanya, kenaikan terjadi pada komoditas seperti minyak goreng, cabai, bawang-bawangan, dan daging,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, saat dihubungi Tirto, Senin (3/3/2025).
Lonjakan harga bahan-bahan pangan itu, menurut Tauhid, disebabkan oleh naiknya permintaan selama Ramadhan dan akan berlanjut hingga Lebaran nanti. Selain itu, pada beberapa komoditas seperti cabai, kenaikan harga diperparah oleh curah hujan tinggi yang terjadi belakangan.
“Curah hujan tinggi membuat bunga cabai enggak berkembang dengan baik sehingga hasil panen terbatas. Padahal, permintaan melonjak. Nah, makanya [harga cabai] bisa naik 5-10 persen,” imbuh dia.
Tauhid mengamati bahwa saat permintaan melonjak, pasokan cabai cenderung tetap atau bahkan mengalami penurunan. Pada tiga jenis cabai yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, hanya komoditas cabai keriting yang mengalami kenaikan menjadi 1,16 juta ton pada 2023 dibandingkan 2021 yang hanya sebesar 860 ribu ton.
Sebaliknya, penurunan produksi terjadi pada komoditas cabai besar. Pada 2021, produksi cabai besar masih mencapai 500 ribu ton. Namun, pada 2023, produksinya turun menjadi 395 ribu ton. Sedangkan, produksi cabai rawit anjlok menjadi 1,51 juta ton pada 2023 dari sebelumnya masih sebesar 1,54 juta ton pada 2022.
Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, pun mengakui bahwa kenaikan harga cabai rawit di awal Ramadhan cukup signifikan. Bahkan, dari catatannya, harga cabai melonjak 23 persen dari bulan sebelumnya, menjadi Rp81.700 per kilogram.
Kendati demikian, Mendag mengklaim harga komoditas pangan lainnya relatif lebih stabil.
“Kami juga sudah berkomunikasi dengan center produksi cabai, seperti di Magelang, Jawa Timur, dan Sulawesi. Karena pada prinsipnya adalah karena adanya pasokan yang berkurang karena banyak hujan pada bulan ini,” kata Budi dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Senin (3/3/2025).
Musim hujan memang menjadi salah satu sebab turunnya pasokan cabai. Namun, bukan berarti pemerintah bisa menjadikan cuaca sebagai kambing hitam. Sebab, selama ini, harga cabai justru terbanting saat panen raya datang. Hal yang sama terjadi pula pada produk hortikultura lainnya, seperti tomat.
Kondisi itu cukup memberi bukti bahwa hilirisasi produk tanaman sayuran semusim tak dibangun dengan baik. Pada saat yang sama, Indonesia juga kekurangan infrastruktur rantai dingin (cold storage) yang membuat umur simpan produk sayuran semusim tidak bisa bertahan lama.
“Sehingga [harga] fluktuatif. Mestinya, isu klasik ini diselesaikan pemerintah agar supply-nya tersedia secara konsisten dan harga stabil. Jangan melulu menyalahkan faktor cuaca karena itu memang seharusnya bisa dimitigasi dengan penerapan teknologi dan inovasi,” tegas ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, kepada Tirto, belum lama ini.
Intervensi Pemerintah
Di sisi lain, swasta memegang kendali lebih besar terhadap berbagai komoditas pangan dibandingkan pemerintah. Hal itu turut memperparah kenaikan harga ketika Ramadhan sampai Lebaran. Pun, kurangnya akses data bahan pangan pokok juga membuat pemerintah tak bisa mengambil keputusan dengan tepat dan cepat untuk mengatasi masalah lonjakan harga pangan.
"Intervensi pemerintah hanya lewat operasi pasar yang sayangnya juga tidak bisa menyasar semua daerah di Indonesia," kata Eliza.
Menurut Tauhid dari Indef, operasi pasar hanya akan efektif bila dilakukan di titik-titik yang berpotensi atau telah mengalami kenaikan harga, dengan jumlah pasokan bahan-bahan pangan dominan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah tersebut.
Sebagai contoh, rata-rata kebutuhan beras untuk periode Ramadhan hingga Lebaran ialah sekitar 2,5 juta ton. Untuk mencegah adanya lonjakan harga, pemerintah seharusnya melakukan operasi pasar setidaknya pada pekan pertama dan kedua Ramadhan.
“Tapi, kalau [pasokan] sedikit, ya enggak pengaruh,” kata Tauhid saat dihubungi Tirto, Senin (3/3/2025).
Agar tak kelabakan, pemerintah sebenarnya bisa juga mempertebal pasokan jauh sebelum Ramadhan. Dengan catatan, upaya ini dapat dilakukan khusus untuk komoditas yang memiliki masa simpan lama, seperti beras dan Minyakita.
Sementara untuk komoditas tak tahan lama, seperti bawang merah, bawang putih, dan cabai, masa simpan bisa diperpanjang asalkan ada cold storage yang memadai.
“Jadi, kalau harga bergerak lebih dari Rp1.000, Rp2.000, ya harus coba operasi pasar. Itu langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah itu. Kedua, tindak tegas para pedagang yang menaikkan harga di luar kewajaran, di luar HPP [harga pokok penjualan], HET [harga eceran tertinggi], dan sebagainya. Kasih peringatan dan sebagainya,” jelas Tauhid.
Begitu ada indikasi kenaikan harga, pemerintah semestinya segera bergerak menelusuri apa yang terjadi. Apakah memang pasokan kurang atau karena permainan harga yang dilakukan oleh pihak ketiga (middle man).
“Ketiga, saya kira memperlancar jalur distribusi di mana ada hambatan yang membuat harga naik. Kan, kalau kita lihat di beberapa tempat, kan, semua dikuasai pemerintah daerah, tapi tidak semua sampai level retail. Nah, itu artinya yang kemudian pemerintah cukup percaya,” imbuh dia.
Dalam jangka panjang, swasembada pangan memang menjadi sebuah keniscayaan. Namun, lebih penting dari itu, ketika kemandirian pangan dapat tercapai, harus dipastikan bahwa pemerintahlah yang semestinya menguasai stok pangan, bukan swasta.
Tauhid mencontohkan bahwa akan cukup sulit untuk mencapai swasembada beras karena ekosistem perberasan cukup panjang. Pun, cadangan beras juga tidak hanya dikuasai pemerintah saja, melainkan juga oleh petani, pengepul, bahkan pengecer.
“Kalau pola simpanannya masih di rantai-rantai seperti tadi, agak sulit. Karena, pasti ada jeda waktu, ada biaya yang harus dikeluarkan. Kalau itu semua [pasokan komoditas pangan] pemerintah sudah tampung dan keadaan [cadangan] pemerintah banyak, maka agak relatif lebih besar dan lebih lumayan. Harganya bisa ditekan,” jelas Tauhid.
Kendati mengklaim harga pangan selain cabai masih relatif stabil, Mendag mengaku akan tetap mewaspadai kenaikan harga komoditas pangan lainnya. Pasalnya, kenaikan harga komoditas pangan kala Ramadhan dan Lebaran cenderung membuat inflasi nasional tinggi.
Karenanya, untuk mengendalikan harga cabai supaya tidak semakin liar, Kemendag telah berkomunikasi dengan pusat-pusat produksi yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sulawesi. Sementara untuk menindaklanjuti kenaikan harga Minyakita, dia menegaskan kepada para pedagang untuk tidak mematok harga minyak goreng subsidi itu di atas HET.
“Dalam menghadapi puasa dan Lebaran 2025, Mendag terus berkolaborasi dengan stakeholder terkait dengan melakukan berbagai langkah-langkah sebagai berikut. Yang pertama, menjamin pasokan dan pengawasan distribusi Minyakita," ujar Budi.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi