Menilik Cara Kejagung Hitung Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi

1 day ago 13

tirto.id - Dalam kasus korupsi, Kejaksaan Agung (Kejagung) kerap kali merilis angka kerugian negara yang fantastis, puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Namun, angka itu dalam beberapa kejadian melorot di tingkat pengadilan.

Pada kasus Pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, katakanlah. Surya dijerat pasal tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp78 triliun.

Pada Senin 1 Agustus 2022, Jaksa Agung, ST Burhanuddin, menetapkan Surya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyerobotan lahan seluas 37.095 hektare di wilayah Riau. Surya disebut melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008, Raja Thamsir Rachman.

Sementara pada 2019, Surya juga telah dijerat sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diduga menjadi salah satu pemberi suap terhadap Annas Maamun, selaku Gubernur Riau.

Hitungan kerugian negara dan perekonomian akibat kasus Surya Darmadi sempat meningkat ke level Rp104,1 triliun. Peningkatan jumlah kerugian negara tersebut ditemukan usai dilakukan pengembangan perkara dan perhitungan sejumlah indikator oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bersama para ahli.

Beberapa indikator dalam menghitung kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian dalam kasus tersebut di antaranya alih kawasan hutan yang menjadi kebun tanpa pelepasan kawasan hutan. Kemudian adanya upaya suap kepada pihak tertentu dalam rangka memperoleh izin alih kawasan hutan.

“Awal penyidik menyampaikan [kerugian] Rp78 triliun, sekarang sudah perhitungan hasil yang diserahkan kepada penyidik dari BPKP itu kerugian negara Rp4,9 triliun untuk keuangan, untuk kerugian perekonomian negara senilai Rp99,2 triliun sehingga nilai ini ada perubahan dari awal penyidik temukan,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung, Febrie Adriansyah, Selasa (30/8/2022) lalu.

Akan tetapi, Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman bos Grup Duta Palma itu. Dalam putusan kasasi nomor 4950 K/Pid.Sus/2023, majelis mengubah pidana, dari 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, menjadi 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Selain itu, majelis hakim yang terdiri atas Dwiarso Budi Santiarto, Sinintha Yuliansih Sibarani dan Yohanes Priyana juga mengubah hukuman pengganti dengan Rp2,2 triliun subsider 5 tahun penjara. MA juga menghapus hukuman pembayaran kerugian ekonomi kepada negara sebesar Rp39,7 triliun.

Kasus Darmadi bukan satu-satunya. Crazy rich Surabaya, Budi Said, dalam kasus jual beli emas Antam juga mengalami nilai kerugian negara yang berbeda antara pertimbangan hakim dan dalam dakwaan jaksa.

Dalam dakwaan yang dibacakan pada Selasa (27/8/2024), jaksa mengatakan kerugian keuangan negara dalam kasus itu sebesar 1.136 kilogram (kg) emas, atau setara dengan Rp1.073.786.839.584 (Rp 1,1 triliun). Nilai kerugian itu dihitung berdasarkan kekurangan fisik emas Antam di BELM Surabaya 01 dan kewajiban penyerahan emas oleh PT Antam Tbk ke Budi Said.

Namun begitu, dalam sidang putusan yang digelar di Persidangan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024), hakim menilai Budi Said telah merugikan keuangan negara seharga 58,841 kg emas Antam, yakni setara Rp35.526.593.372 (Rp 35,5 miliar).

Kerugian negara atau daerah sendiri, mengacu pada pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, konsep kerugian keuangan negara mengandung delik formil. Unsur “dapat merugikan keuangan negara” artinya tindakan akan dianggap merugikan keuangan negara ketika suatu tindakan tersebut berpotensi menyebabkan kerugian negara secara langsung maupun tidak langsung.

Subjektivitas Jaksa dan Persoalan Standar Hitung Auditor

Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana, mengungkap kerugian negara berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kasus korupsi itu terjadi karena ada penghitungan kerugian keuangan negara.

Terdapat dua jalur dalam menghitung kerugian keuangan negara, pertama bersumber dari audit publik yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kedua yakni dari keterangan ahli.

“Apakah bisa bersama-sama antara audit BPK dan ahli ya, sekali lagi ini bisa bersama-sama, sebagai penguatan alat bukti yang dimiliki oleh jaksa. Sehingga jaksa secara subjektif nanti akan melaksanakan kewenangannya dalam tahapan penuntutan seperti itu,” kata Satria saat dihubungi Tirto, Senin (17/3/2025).

Mengapa kemudian ada nominal yang cukup fantastis yang disampaikan oleh Kejagung?

Menurut Satria, hal itu lantaran bukan hanya material loss atau kerugian keuangan, tetapi juga environmental loss (kerugian sumber daya alam) dan social loss (kerugian sosial) yang diakumulasi oleh pakar-pakar yang ahli di bidangnya.

Satria menjelaskan, lembaga seperti jaksa atau KPK mesti bisa membuktikan klaimnya, sehingga kerugian keuangan negara itu baik dalam artian kerugian uang (materiil), atau kerugian environmental loss itu bisa dijadikan sebagai dasar.

“Tetapi sekali lagi, tentu ini akan sangat challenging jika berbicara pakar ya, apalagi jika kemudian penghitungannya tidak dilakukan oleh pakar secara teliti dan cermat gitu ya. Sehingga ada beberapa kasus yang luput,” lanjut Satria.

Meski begitu, keterangan pakar sebagai bagian dari trek yang diambil oleh jaksa agung dalam menghitung kerugian keuangan negara sebagai dampak dari korupsi bukan berarti bisa dinegasikan atau dikesampingkan.

“Dan tentu berdasarkan keyakinan subjektif dari jaksa ya sebagai penuntut umum, maka itu satu hal yang wajar. Maka kenapa di dalam criminal justice system nanti semua bekerja, misalkan tersangka dia ya kalau dia tidak mau hukumannya berat dia harus membuktikan bahwa apa yang disaksikan oleh penuntut umum tidak tepat,” kata Satria.

Begitu pula dengan hakim. Satria bilang, berdasarkan undang-undang kekuasaan kehakiman, hakim memiliki kewenangan untuk mencari kebenaran yang ada di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, kepada hakim sense itu dibebankan.

Sense yang saya maksud ini adalah rasa keadilan yang berangkat dari dari apa dasar pertimbangannya. Dasar pertimbangan dari pakar kah, atau dasar pertimbangan hal-hal lain, misal dengan tanda kutip misalkan kalau hakim ini permisif terhadap praktek korupsi, dia masuk kategori permisif terhadap pertimbangan transaksional seperti itu,” lanjutnya.

Lebih jauh Satria menegaskan, keputusan akhir tetap berada di hakim. Hakim lah yang nantinya memutuskan soal klaim kerugiaan keuangan negara yang disampaikan oleh jaksa, yang kemudian pada akhirnya diterima atau tidak.

“Itu tergantung hakim ya. Majelis hakim yang nanti di dalam criminal justice system ini yang kemudian akan memutuskan seperti itu. Ini satu hal yang menjadi ciri dari sistem hukum civil law, daripada sistem hukum common law. Kalau common law yang menentukan kebenaran adalah juri,” jelas Satria.

Di sisi lain, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, berpendapat, angka kerugian yang fantastis kemudian merosot jadi lebih rendah, diakibatkan lantaran jaksa tidak menggunakan, atau tidak meminta, audit investigatif dari BPK. Akibatnya, standar auditnya itu tidak sama dengan standar audit yang dilakukan BPK.

Padahal, menurut Mudzakkir, ada dua macam audit BPK, yakni audit laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara dan audit terkait dengan pembuktian tindak pidana korupsi, yang dikenal dengan audit investigatif.

Segala hal yang terkait dengan kerugian keuangan negara dalam kasus tipikor, kata Mudzakkir, yang memiliki wewenang untuk melakukan audit adalah BPK RI.

“Lembaga lain itu tidak mempunyai kompetensi karena urusan keuangan negara itu, Undang-Undang Dasar sudah menegaskan bahwa BPK itu Badan Pemeriksaan Keuangan Negara, yang punya kompetensi untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara itu adalah BPK RI. Karena BPK lah yang oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang dan juga peraturan yang lain itu diberi kewenangan untuk melakukan audit,” ungkap Mudzakkir.

Auditor lain bisa asalkan bergerak untuk dan atas nama BPK RI. Dengan begitu, standar audit dan metode audit akan sama. Sementara jumlah kerugian bisa berbeda, bergantung pada masing-masing kasus korupsi.

“Sejauh dia nanti jaksa itu masih seperti ini, mencari auditor lain yang tidak standar BPK, saya kira nanti akan terjadi jumlah hitungannya itu terlalu besar. Jadi kalau dia nanti ditandingkan dengan audit yang lain, nah hitungannya bisa menjadi lebih kecil,” kata Mudzakkir.

Perkara Pengembalian Keuangan Negara

Menyoal pengembalian keuangan negara oleh tersangka korupsi, Mudzakkir menjelaskan, UP atau uang pengganti yang diberikan harus karena tindakan pidana korupsi, bukan karena tindakan lain, seperti misalnya lingkungan hidup. Lingkungan hidup seharusnya selesai berdasarkan mekanisme hukum lingkungan.

Mudzakkir bilang, hitungan lingkungan hidup itu hitungan yang pembengkakannya terlalu besar. Padahal hukum pidana khusus untuk hukum pidana itu hanya mengacu kepada actual loss, atau perhitungan yang aktual.

“Saya kira itu mengenai masalah, yang berhubungan dengan perhitungan kerugian negara yang disebabkan karena tindak pidana korupsi, yang menurut saya masalahnya adalah standar perhitungan yang berbeda-beda antara auditornya. Dan auditor yang dijadikan dasar berdasarkan perkembangan hukum adalah harus dari BPK RI,” kata Mudzakkir.

Sementara itu, Satria menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, seperti timah, Pertamina, atau korupsi yang berkaitan dengan sumber daya alam, pengembalian keuangan negara tidak dilakukan secara langsung.

Mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Satria menjelaskan, pengembalian bisa dilakukan dalam bentuk strict liability atau tanggung jawab mutlak untuk pemulihan lingkungan.

“Misalkan itu berkaitan dengan tambang katakanlah, maka kerusakan ya, environmental damage and loss, impact of corruption atau kerugian negara sebagai dampak dari korupsi dalam konteks ini kerugian lingkungan hidup, itu harus dikembalikan,” jelas Satria.

Artinya, strict liability itu membebankan kepada tersangka dalam pidana tambahan berupa pemulihan aset dan lain sebagainya. Jika politisi misalnya, ada pidana tambahan untuk akses politik.

“Itu suatu hal yang wajar dalam kasus korupsi. Mengapa wajar karena secara original crimes ya atau wujud asli dari kejahatan korupsi itu sendiri dia adalah kejahatan luar biasa, maka cara-cara atau upaya yang dilakukan oleh penegak hukum itu juga seharusnya luar biasa,” kata Satria kepada Tirto.


tirto.id - News

Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |