Menimbang Redenominasi Rupiah, Tepatkah Dilakukan Sekarang?

16 hours ago 13

tirto.id - Seorang warga bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya untuk menyederhanakan nilai mata uang atau redenominasi rupiah. Dengan redenominasi tersebut, nilai mata uang yang kini Rp1000 bisa menjadi Rp1.

Mengutip dari laman resmi MK, permohonan Zico terdaftar pada Senin (10/3/2025) dengan nomor registrasi 23/PUU-XXIII/2025. Pasal yang dia gugat adalah Pasal 5 UU Mata Uang yang memuat poin-poin sebagai berikut:

(1) Ciri umum Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) paling sedikit memuat:

c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya;

(2) Ciri umum Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) paling sedikit memuat:

c. Sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya.

Melalui gugatannya itu, Zico meminta MK mengubah pasal itu menjadi:

1. Ciri umum Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (2) paling sedikit memuat: c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagaimana nilai nominalnya yang telah disesuaikan dengan mengonversi angka Rp1000 menjadi Rp1.

2. Ciri umum Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (2) paling sedikit memuat: c. Sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagaimana nilai nominalnya yang telah disesuaikan dengan mengonversi angka Rp1000 menjadi Rp1.

“Redenominasi mata uang sebagai upaya peningkatan cara pandang publik terhadap mata uang rupiah secara nasional dan internasional,” tulis Zico mengungkapkan alasan gugatannya dalam surat gugatan yang dia kirimkan kepada MK, dikutip Jumat (14/3/2025).

Menurutnya, redenominasi rupiah penting untuk dilakukan saat terjadi inefisiensi perekonomian, adanya kendala teknis pada operasional kegiatan usaha, dan untuk mendukung ekonomi nasional dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

"Redenominasi diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi negara, pelaku usaha, dan masyarakat. Manfaat redenominasi bagi negara adalah dapat meningkatkan kredibilitas rupiah, menghemat biaya pencetakan uang, dan mempermudah transaksi pemerintah,” imbuhnya.

Dalam skala internasional, redenominasi rupiah penting untuk dilakukan sebagai bentuk penyelarasan mata uang rupiah dengan praktik internasional demi meningkatkan daya saing dan kredibilitas Indonesia di pasar global.

Selain itu, dalam konteks perdagangan internasional, investasi, dan diplomasi ekonomi, denominasi besar pada mata uang rupiah seringkali menjadi hambatan teknis dan psikologis. Karena itulah, redenominasi bertujuan untuk memperbaiki persepsi tersebut sehingga dapat mempermudah Indonesia dalam mengintegrasikan sistem keuangan nasional dengan global.

“Terdapat pula beberapa alasan urgensi redenominasi dari perspektif internasional, seperti mengurangi kompleksitas transaksi internasional, meningkatkan kredibilitas rupiah di mata dunia, menyederhanakan pelaporan keuangan internasional, mendukung stabilitas pasar valuta asing (valas), penyelarasan dengan (mata uang) negara-negara ASEAN,” jelas Zico yang berprofesi sebagai advokat itu.

Menanggapi gugatan tersebut, MK lantas mengirimkan surat bernomor 23.23/PUU/PAN.MK/SP/03/2025 pada Selasa (11/3/2025) kepada pimpinan DPR RI dan Presiden Prabowo Subianto. Penyampaian surat itu sekaligus sebagai amanat dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa permohonan atau gugatan yang telah teregistrasi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui paling lambat tujuh hari kerja.

“Sehubungan dengan itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud, kami sampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI salinan permohonan nomor 23/PUU-XXIII/2025 perihal pengujian materi UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang telah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi elektronik pada hari Senin tanggal 10 Maret 2025 pukul 11.00 WIB," tulis surat yang ditandatangani Plt Panitera, Wiryanto, dikutip Jumat (14/3/2025).

Berkenaan dengan telah dikirimkannya surat itu, MK juga mempersilakan DPR RI dan Presiden Prabowo untuk memberikan keterangan terkait gugatan tersebut sembari menunggu panggilan sidang.

Sayangnya, baik DPR RI maupun Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) masih enggan memberikan tanggapan terkait gugatan untuk melakukan redenominasi rupiah itu.

Pun, Tirto juga telah berusaha menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, dan Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso. Namun, hingga artikel ini ditulis, keduanya belum memberikan tanggapan kepada Tirto.

Belum Ada Urgensi?

Analis pasar uang, Ariston Tjendra, menilai bahwa saat ini belum ada urgensi untuk melakukan redenominasi. Sebaliknya, penyederhanaan mata uang rupiah yang dilakukan terburu-buru justru akan menimbulkan dampak negatif, salah satunya inflasi.

Sebab, ketika redenominasi diterapkan, bisa jadi akan ada pembulatan-pembulatan harga ke atas. Dus, kenaikan harga pun tak terelakkan.

“Masih banyak persoalan ekonomi lain, selain mengubah denominasi rupiah,” ujar Ariston kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).

Menurut Ariston, mata uang rupiah pun kini masih cenderung mengalami perlemahan karena terdampak sentimen ketidakpastian ekonomi global akibat tarif perdagangan tinggi yang dikenakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kepada Cina, Kanada, dan Meksiko. Faktor lain adalah ketidakpastian situasi geopolitik karena berlarutnya perang antara Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.

Sampai akhir Februari saja, kurs rupiah tercatat berada di level Rp16.340 per dolar AS. Secara tahun berjalan (year to date/ytd) pun, ia berada di posisi Rp16.309 per dolar AS. Artinya, rupiah mengalami penurunan dibanding posisi akhir pada Desember 2024 dan ytd yang masing-masing senilai Rp16.162 per dolar AS dan Rp15.847 per dolar AS.

"Mungkin kalau nilai rupiah anjlok sekali terhadap dolar AS, misal jadi Rp50 ribu per dolar AS, nah itu [redenominasi] bisa langsung dieksekusi agar kepercayaan investor bisa kembali,” imbuh Ariston.

Berdasar gambaran tersebut, menurut Ariston, redenominasi baru bisa dilakukan apabila kurs rupiah terhadap dolar AS terjun bebas. Selain itu, nilai rupiah kian mengecil karena inflasi atau bahkan hyper inflasi.

“Nah, Indonesia malah inflasinya kecil dan sempat deflasi,” katanya.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa gugatan Zico ke MK terkait redenominasi rupiah mencerminkan adanya keinginan sebagian masyarakat untuk menyederhanakan sistem mata uang nasional guna meningkatkan efisiensi ekonomi dan memperbaiki citra rupiah di mata internasional.

Apalagi, redenominasi bertujuan mengurangi jumlah digit pada pecahan mata uang rupiah tanpa mengurangi daya beli masyarakat.

“Urgensi redenominasi terletak pada beberapa aspek utama, termasuk peningkatan persepsi ekonomi Indonesia, efisiensi dalam transaksi keuangan, serta penghematan biaya pencetakan dan distribusi uang. Selain itu, redenominasi dapat meningkatkan kebanggaan terhadap rupiah dan menyederhanakan sistem pencatatan akuntansi,” kata Josua saat dihubungi Tirto, Jumat (14/3/2025).

Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada stabilitas makroekonomi dan sosial-politik, serta sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan atau kesalahpahaman.

Pembahasan Rancangan UU Redenominasi sebenarnya sudah pernah masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2013 dan dapat diimplementasikan setahun setelahnya. Namun, ia hingga kini belum juga terealisasi.

Bahkan, saat isu redenominasi kembali menguar pada 2023 lalu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, dengan tegas menampik. Meski demikian, dia juga menyatakakan siap melaksanakan redenominasi kapan saja.

"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain, tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya," ucap Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI Juni 2023 di Gedung BI, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2023).

Saat itu, stabilitas sistem keuangan nasional masih terjaga, meski ketidakpastian global juga terjadi. Oleh karena itulah, redenominasi belum begitu mendesak untuk dilakukan.

"Di satu sisi, stabilitas sistem keuangan saat ini juga stabil, tetapi masih ada ketidakpastian global. Sehingga, implementasi redenominasi masih akan melihat momentum yang tepat," ujar Perry, dikutip Instagram resmi Bank Indonesia.

Jika melihat sejarah, Indonesia pernah sekali menerapkan kebijakan redenominasi, yakni pada 13 Desember 1965, di era kepemimpinan Presiden Sukarno. Pada saat itu, pemerintah memutuskan untuk mengurangi tiga angka nol pada nominal rupiah.

Kebijakan redenominasi itu dilaksanakan berdasar Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965. Saat itu, BI menerbitkan mata uang pecahan Rp1 dengan nilai setara Rp1.000, pecahan Rp100 dengan nilai setara Rp100.000 dan seterusnya.

Kebijakan redenominasi saat itu dipilih sebagai upaya penguatan moneter di wilayah Indonesia.

Saat kondisi perekonomian sudah lebih kondusif dan persiapan teknis telah matang, redenominasi bisa saja dilakukan. Namun, sebaliknya, jika redenominasi dilakukan terburu-buru, kekacauan ekonomi dan sosial bakal terjadi.

"Adanya gugatan ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk kembali mempertimbangkan penerapan redenominasi secara terencana dan bertahap. Sehingga, manfaatnya dapat dirasakan secara optimal oleh seluruh lapisan masyarakat," kata Josua.


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |