Candi Cangkuang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang terletak di tengah danau kecil Kabupaten Garut, Jawa Barat. Uniknya, situs ini bukan sekedar menyimpan keindahan arsitektur masa lampau. Lebih dari itu, mitos Candi Cangkuang yang diwariskan secara turun-temurun turut memiliki daya tarik tersendiri.
Baca Juga: Larangan di Candi Gedong Songo, Dilarang Membawa Minuman Keras
Legenda yang sebagian besar berkaitan dengan larangan dan pantangan tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Khususnya di kawasan Kampung Pulo. Keyakinan pada mitosnya begitu kuat, sehingga pelanggaran terhadapnya konon dapat mendatangkan malapetaka. Mari kita ulas lebih detail.
Mitos Candi Cangkuang dan Kampung Pulo
Masyarakat di Garut mungkin sudah tidak asing lagi dengan objek wisata bersejarah yakni Cangkuang. Sebuah candi yang pertama kali teridentifikasi di Tatar Sunda pada tahun 1966 silam. Ini sekaligus menjadi candi Hindu satu-satunya yang bertahan di Tatar Sunda.
Menurut cerita yang berkembang, dahulu kala tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita mendatangi Kampung Pulo, Cangkuang, Kecamatan Leles. Tim mendeteksi adanya arca Siwa yang sudah rusak serta reruntuhan sebuah bangunan candi.
Ada pula serpihan pisau dan batu-batu besar yang mereka perkirakan sebagai benda-benda peninggalan zaman megalitikum. Tak jauh dari lokasi candi, tim juga menemukan sebuah makam kuno. Usut punya usut, ini adalah makam Embah Dalem Arief Muhammad.
Pada mulanya, hal tersebut menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar di benak masyarakat setempat. Pasalnya, Candi Cangkuang merupakan peninggalan berunsur. Bagaimana mungkin, keberadaan candi Hindu berdampingan dengan makam Embah Dalem Arief Muhammad, seorang tokoh penyebar agama Islam.
Mitos Candi Cangkuang pun mulai berkembang, menonjolkan bukti nyata adanya akulturasi yang telah berlangsung sejak berabad-abad silam. Masyarakat Kampung Pulo yang tinggal di sekitar cagar juga memiliki tradisi yang mencerminkan perpaduan budaya ini.
Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi sekaligus menghormati perbedaan keyakinan. Adapun sejumlah mitos dan larangan yang berkembang di masyarakat guna mencerminkan harmoni antara Hindu dengan Islam antara lain.
1. Larangan Berkunjung pada Hari Rabu
Seperti tempat bersejarah lainnya, Cangkuang tentu menjadi destinasi menarik bagi peminat wisata khusus. Terlebih, berdoa di makam Embah Dalem Arief Muhammad kabarnya bisa memberikan banyak kelimpahan rejeki. Selain itu. setiap hal yang kita inginkan bisa lebih mudah terpenuhi.
Namun, masyarakat setempat sudah sepakat untuk melarang pengunjung datang di hari Rabu. Menurut informasi resminya, hari Rabu menjadi momen terbaik bagi masyarakat sekitar untuk memperdalam ilmu agama. Sehingga berusaha meminimalisir kehadiran orang luar supaya lebih fokus ibadah.
2. Larangan Memukul Gong
Selanjutnya ada mitos Candi Cangkuang di Kampung Pulo yakni larangan menabuh gong. Ini bermula ketika zaman dahulu, anak laki-laki dari Arif Muhammad akan melangsungkan proses khitan. Sebelum khitan, ia diarak keliling kampung menggunakan jampana oleh pengikut sang ayah dengan iringan musik gamelan.
Baca Juga: Mitos Telaga Ngebel Ponorogo, Ada Naga dan Belut Raksasa
Hanya saja, mendadak angin topan besar menyerbu rombongan arak-arakan. Akibatnya anak Arif Muhammad jatuh dan meninggal di tempat. Sejak kejadian pilu tersebut, tidak ada lagi yang berani menabuh gong.
3. Larangan Memelihara Hewan Berkaki Empat
Meski mayoritas penduduknya adalah petani dan peternak, namun di Kampung Pulo terdapat larangan memelihara hewan berkaki empat. Seperti halnya kambing, kerbau dan sapi. Ini sudah menjadi aturan sejak lama. Tujuannya untuk meminimalisir terjadinya eksploitasi kebun serta tanaman secara berlebihan.
4. Larangan Berpacaran di Lokasi Cagar
Sebagai tempat yang masyarakat sakralkan, para pengunjung wajib menaati aturan agar tidak berpacaran di lokasi cagar. Mitos Candi Cangkuang ini bisa memicu berbagai bencana apabila ada yang melanggar. Salah satunya tiba-tiba putus cinta atau berbagai karma besar lainnya.
5. Aturan Khusus Pembangunan Rumah Adat
Terakhir ada aturan khusus pembangunan rumah adat di Kampung Pulo sebelah barat Candi Cangkuang. Di mana kampung ini terdiri dari 6 rumah panggung sederhana, berdenah segi empat panjang serta satu masjid adat.
Rumah-rumah tersebut berorientasi mengelompok serta saling berhadapan dengan lapangan terbuka di bagian tengah. Pembangunan rumah tidak boleh lebih dari 6. Setiap rumah hanya berisi satu kepala keluarga dengan penerus haruslah keturunan dan anak perempuan tertua masing-masing.
Baca Juga: Mitos Curug Pangeran, Keindahan Alam yang Penuh Misteri
Pada dasarnya, masih ada banyak sekali mitos Candi Cangkuang yang berkembang. Beberapa poin di atas adalah yang paling populer. Sementara kebenaran dari legendanya belum diketahui. Namun, ini bisa menjadi pemahaman sekaligus cara supaya bisa lebih saling menghargai adat-istiadat. (R10/HR-Online)