tirto.id - Batas pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2024 telah ditutup pada Jumat (11/4/2025). Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menerima sejumlah 402.638 LHKPN, dari total 416.348 Wajib Lapor.
Dus, masih ada sekitar 13.710 pejabat publik yang belum menunaikan kewajibannya untuk melaporkan total harta kekayaannya. Para pejabat negara tersebut berasal dari berbagai lembaga, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Sampai dengan batas akhir pelaporan LHKPN untuk tahun pelaporan 2024, yakni pada 11 April 2025, KPK telah menerima sejumlah 402.638 LHKPN, dari total 416.348 wajib lapor, atau persentase pelaporan tepat waktunya mencapai 96,71 persen," kata Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (15/4/2025).
Jika dirinci, persentase ketidakpatuhan paling tinggi berasal dari pejabat publik di bidang legislatif, yakni sebanyak 14,15 persen atau sekitar 2.941. Kemudian, disusul oleh bidang eksekutif yang sebanyak 10.015 pejabat atau sekitar 3,01 persen, dari BUMN/BUMD masih sebanyak 751 penyelenggara negara, dan paling sedikit berasal dari lembaga yudikatif, yakni sebanyak tiga orang.
“KPK mengimbau kepada pimpinan ataupun satuan pengawas internal untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kepatuhan LHKPN para Penyelenggara Negara pada masing-masing institusinya," tutur Budi, sembari mengingatkan para pejabat negara untuk tetap melaporkan LHKPN meski batas waktu sudah terlewat.
Petugas Satgas Pendaftaran LHKPN KPK (kiri) melayani penerimaan pelaporan LHKPN dari seorang perwakilan caleg terpilih di Gedung ACLC, Jakarta, Selasa (10/9/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.
Selanjutnya, KPK akan melakukan verifikasi administratif untuk memeriksa kelengkapan laporan LHKPN yang telah disampaikan ke KPK. Setelah syarat administratif lengkap, LHKPN para penyelenggara negara akan dipublikasikan malalui elhkpn.kpk.go.id.
“Kepatuhan LHKPN ini dapat digunakan sebagai salah satu basis data dukung dalam manajemen ASN, seperti promosi bagi para pegawai yang patuh maupun penjatuhan sanksi administratif bagi yang lalai,” sambung Budi.
Sementara itu, Budi mengaku sudah mulai menghitung dan mendata pejabat negara yang terlambat melaporkan LHKPN. Budi berharap, agar para pemimpin Kementerian/Lembaga (K/L) dapat menjadikan hitungan keterlambatan pengisian LHKPN sebagai pertimbangan promosi atau mutasi jabatan penyelenggara negara yang tidak patuh.
“Pemerintahan daerah bisa memperhatikan track record dari kepatuhan LHKPN dari setiap pejabat atau penyelenggara negara dimaksud," jelasnya kepada awak media, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).
"Ya, KPK tentu punya dashboard monitoring pelaporan LHKPN yang itu akan menjadi dashboard untuk monitoring dan evaluasi kepada masing-masing instansi,” imbuh Budi.
Bagi penyelenggara negara, pelaporan LHKPN menjadi wajib karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Sehingga, jelas sanksi dapat dijatuhkan kepada penyelenggara negara yang lalai menunaikan kewajibannya.
Minim Sanksi
Sayangnya, aturan soal bentuk sanksi kepada pelanggar dikembalikan kepada aturan perundangan yang mengatur masing-masing K/L. Sebagai contoh, seorang penyelenggara negara tidak melaporkan total harta kekayaan yang dia miliki sampai batas waktu pelaporan LHKPN berakhir akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang mengikat di K/L di mana ia menjabat.
“Jadi, memang ini salah satu kelemahan utama dari pengaturan LHKPN di dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, yaitu begitu tidak jelasnya mekanisme sanksi yang dikenakan kepada mereka yang tidak taat untuk lapor LHKPN,” jelas peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, kepada Tirto, Selasa (15/4/2025).
Karenanya, yang akan menjadi masalah adalah kalau yang belum melapor LHKPN adalah petinggi instansi yang tidak berada dalam koordinasi siapapun, misalnya kepala daerah. Kata Zaenur, sebagai pejabat terpilih atau elected official, kepala daerah tidak berada di bawah kepemimpinan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau bahkan presiden. Sehingga, ketika ia melanggar kewajiban pelaporan LHKPN, tidak ada yang bisa memberikan sanksi kepadanya.
“Tetapi setidaknya KPK itu wajib mengumumkan kepada publik, agar publik ikut mengawasi siapa yang tidak patuh untuk melapor,” sambungnya.
Selain itu, KPK juga harus memastikan akurasi atau kebenaran dari LHKPN yang sudah dilaporkan para penyelenggara negara. Sebab, hanya dengan akurasi dari LHKPN yang ada, data tersebut dapat benar-benar dimanfaatkan untuk memberantas korupsi.
“Apakah isi laporannya benar menunjukkan semua? Melaporkan semua kekayaan yang dimiliki? Mayoritas saya ragu soal itu. Apalagi, selama ini kasus-kasus yang terjadi ternyata diketahui antara LHKPN dengan harta real yang dimiliki, disparitasnya sangat tinggi, ya. Kasus Rafael Alun misalnya, itu diduga kekayaan yang dimiliki bisa belasan puluhan kali lipat (dari yang dilaporkan ke KPK,” terang Zaenur.
Sementara itu, tujuan pelaporan LHKPN sebenarnya cukup sederhana. Pertama, untuk melacak sejauh mana aset atau harta yang dimiliki oleh seorang pejabat publik. Kedua, sejauh mana peningkatan kekayaan itu saat dirinya menjadi sebagai pejabat publik. Ketiga, untuk mengetahui uang atau aset yang dihasilkan itu didapat dari mana.
Meski memiliki tujuan sederhana, LHKPN menjadi krusial karena menjadi dasar bagi lembaga lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak apakah harta yang dimiliki pejabat publik dihasilkan dari dana yang salah atau bagian dari kejahatan korupsi atau tidak.
“Kalau PPATK menemukan adanya satu kecurigaan bahwa itu dihasilkan dari korupsi, maka KPK pindah. Di sinilah justice system bekerja. Jadi, sepenting itu LHKPN bekerja. Sehingga, menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pejabat publik dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik,” jelas Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana, saat dihubungi Tirto, Selasa (15/4/2025).
Karenanya, ketika seorang pejabat publik lalai melaporkan LHKPN, ada indikasi menyepelekan kewajiban, menyembunyikan harta kekayaannya, hingga ada upaya-upaya untuk melakukan fraud. Hal ini tergantung dari motif dari pejabat negara tersebut.
Barangkali, sanksi ringanlah yang membuat masih banyak pejabat negara abai dengan kewajibannya melaporkan harta kekayaannya secara jujur. Satria menilai, jika saja sanksi yang dijatuhkan berupa tidak turunnya tunjangan atau remunerasi – imbalan atau kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan atas kinerja dan kontribusi mereka, akan lebih efektif membuat jera para pejabat negara yang tak patuh.
Selain itu, pemimpin instansi juga dapat memberi sanksi berupa penolakan permohonan kenaikan pangkat pejabat negara yang tak menjalankan kewajiban pengisian LHKPN.
Pelapor mengambil nomor antrean saat melakukan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2024 di Gedung KPK lama, Kuningan, Jakarta, Jumat (11/4/2025). Berdasarkan data KPK terdapat sebanyak 16.867 dari total 416.723 pejabat belum menyampaikan LHKPN, pelaporan tersebut dibuka sejak 1 Januari 2025 hingga 11 April 2025. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.
“Atau yang menteri misalkan, di dalam pelaporan ini kinerjanya katakanlah ditolak oleh presiden dan lain sebagainya, ya. Itu harus ada betul-betul komitmen politik hukumnya untuk mengefektifkan LHKPN,” imbuh Satria.
Menurutnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menjadi lembaga negara yang dapat mengeluarkan aturan terkait sanksi bagi pejabat publik yang tidak mengindahkan kewajibannya melaporkan harta kekayaan mereka kepada lembaga antirasuah.
“LHKPN ini sekali lagi adalah satu temuan, satu bukti awal yang harus ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga terkait jika ada kecurigaan atau unsur tindak pidana korupsi di dalam K/L,” tegas Satria.
Melalui LHKPN yang dilaporkan oleh calon pejabat publik, juga yang dilaporkan secara berkala oleh pejabat publik, masyarakat bisa ikut mengawasi apakah ada indikasi kepemilikan harta tidak wajar yang tidak cocok bila dibandingkan dengan jabatan yang diembannya. Selain itu, dari pelaporan berkala, juga bisa menjadi deteksi apakah ada peningkatan drastis pada harta kekayaan pejabat negara, yang bisa jadi juga berupa penambahan harta tidak wajar hasil dugaan kasus korupsi maupun tindak pidana lainnya.
Karena itu pula, Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara Herlambang, menilai penting bagi KPK untuk membuka siapa saja yang belum melaporkan harta kekayaannya hingga batas akhir pelaporan LHKPN. Selain itu, sebagai ketegasan, KPK juga harus memberikan rekomendasi sanksi administrasi yang disertai dengan supervisi bahwa rekomendasi tersebut benar-benar harus ditindaklanjuti.
“Mengingat pentingnya LHKPN ini, maka langkah proaktif untuk memastikan pelaporannya harus diupayakan oleh setiap instansi dan juga KPK sebagai lembaga pengampu,” tuturnya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Selasa (15/4/2025).
“Sanksi tersebut juga bisa diberikan secara bertahap, berbarengan dengan teguran dan pemotongan gaji. Karena ketidakpatuhan hal ini adalah pelanggaran Undang-Undang,” sambung Seira.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty