Pemerintah Mesti Serius Tangani Masalah Laten Premanisme Ormas

13 hours ago 6

tirto.id - “Permintaan” Tunjangan Hari Raya (THR) yang dilakukan oleh ormas kepada masyarakat dan pelaku usaha telah menjadi permasalahan laten di Indonesia. Ia selalu berulang tiap tahun menjelang momen Idulfitri.

Di tengah kelesuan ekonomi seperti sekarang, “permintaan” itu kian meresahkan masyarakat dan pelaku usaha. Terlebih, ia tak jarang disertai ancaman. Pemerintah pun seakan tutup mata pada praktik itu dan tak pernah memberikan solusi konkret.

Baru-baru ini, misalnya, beredar sebuah unggahan di platform media sosial X yang menampilkan surat permintaan THR berkop Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

Surat bernomor 005/LPM/2025 itu mereka tujukan kepada pengusaha dan perusahaan yang berkegiatan di lingkungan sekitar desa. Surat itu tak menyebut nominal yang harus dibayarkan. Yang jelas mereka menyatakan bahwa berapa pun nominal THR yang diberikan akan diterima dengan senang hati.

Surat bertanggal 5 Maret 2025 itu ditandatangani oleh Ketua LPM Desa Bitung Jaya, Jayadi, dan Sekretaris LPM, Agus Rika. Tirto mencoba menghubungi nomor Jayadi yang disertakan dalam surat tersebut, tapi dia belum merespons hingga artikel ini ditulis.

Unggahan itu pun ramai mendapatkan balasan dari warganet. Mayoritas dari warganet pun menumpahkan keluh kesah dan keresahannya atas kelakuan ormas semacam itu.

Sejumlah warganet juga membalas unggahan itu dengan foto surat permintaan THR serupa dari ormas-ormas lain atau pengurus lingkungan di suatu wilayah.

Salah satunya warganet, misalnya, melampirkan surat permintaan THR kepada perusahaan dari pengurus RW 02 Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Dalam surat tersebut, pengurus RW 02 Jembatan Lima meminta uang kepada perusahaan yang menggunakan jasa parkir Laksa Street.

Pengurus RW 02 mengaku bahwa uang pungutan itu nantinya akan dibagikan ke anggota penjaga keamanan serta pengurus RW. Mereka mematok THR sebesar Rp1.000.000 per perusahaan dan diserahkan paling lambat satu minggu sebelum Idulfitri.

Masyarakat dan Pelaku Usaha Resah

Nisa (29) merupakan salah satu pelaku UMKM yang turut mengeluhkan maraknya permintaan THR atau “iuran” dari ormas atau pengurus lingkungan di sekitar tempat usahanya.

Melalui cuitan di akun X-nya, Nisa menceritakan bahwa dirinya baru saja menerima surat permintaan THR dari ormas yang mengatasnamakan pengurus lingkungan di wilayahnya. Padahal, dia telah rutin membayar sejumlah iuran yang dibebankan pengurus RT/RW setempat kepadanya setiap bulan.

Sebagai warga sekaligus pelaku UMKM, hal itu menjadi dilema. Di satu sisi, Nisa merasa keberatan memberikan THR yang dipatok sebesar Rp900 ribu. Namun, dia juga mengkhawatirkan potensi gangguan terhadap rumah dan usahanya jika tak mengindahkan permintaan tersebut.

“Buat saya, berat kalau harus ngasih THR lagi ke orang lain karena sekarang jualan lagi sepi dan ekonomi saya juga lagi gak bagus,” ujar Nisa kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).

Perilaku ormas yang kerap meminta THR jelang hari raya juga diungkapkan oleh pengusaha besar.

Seturut pemberitaan CNBC, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengatakan bahwa fenomena ormas meminta THR menjadi beban tambahan bagi para pengusaha di tengah iklim usaha yang sudah penuh tantangan.

Menurutnya, banyak pengusaha yang memilih untuk tetap memberikan THR kepada ormas demi menutup potensi gangguan yang dihadapi bisnisnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, Diana Dewi, juga tak menampik hal yang diutarakan Hariyadi. Menurutnya, hal itu bahkan terjadi secara merata di berbagai daerah dan jelas memberatkan bagi kalangan pengusaha.

“Sebagai pengusaha, kami merasa tidak nyaman,” kata Diana, seperti yang dikutip dari RRI, Rabu (12/3/2025).

Pengamat kebijakan publik, Achmad Hanif, menilai bahwa praktik pemalakan seperti itu berpotensi menimbulkan dampak ekonomi sistemik jika dibiarkan berulang tanpa penanganan serius. Bagi UMKM, pemerasan akan semakin menggerus pemasukan atau pendapatan yang sering kali jumlahnya sudah sedikit.

“Untuk bisnis dengan skala lebih besar, seperti sektor ritel dan manufaktur, ini dapat menimbulkan keraguan untuk berusaha dan perasaan tidak terlindungi,” ujar Achmad saat dihubungi Tirto, Senin (17/3/2025).

Dampaknya, pelaku usaha akan cenderung menahan ekspansi, bahkan menutup operasinya. Hal itu pada akhirnya berdampak pula pada investasi. Ketidakpastian ini juga menghambat masuknya investasi baru, baik dari dalam maupun luar negeri, karena meningkatnya risiko operasional dan tingginya biaya keamanan yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis.

Dampak ekonomi juga akan dirasakan oleh sektor tenaga kerja dan konsumsi. Perusahaan yang terbebani dengan pungutan ilegal dapat mengurangi tenaga kerja atau menekan upah untuk meminimalisasi biaya operasional. Hal itu pun berujung pada pelemahan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan konsumsi domestik.

Ormas Tak Memiliki Hak Dapat THR

Dosen Departemen Sosiologi UI, Ida Ruwaida Noor, menjelaskan bahwa pembentukan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat biasanya didasarkan pada kesamaan latar belakang dan identitas, seperti agama, kelompok usia, etnis, hobi, kesamaan wilayah, dan sebagainya.

Meski begitu, kelahiran ormas tidak hanya didasarkan pada kesamaan latar belakang atau identitas tertentu. Pendirian ormas juga berdasarkan agenda yang bersifat implisit atau eksplisit.

Secara sosiologis, kelompok-kelompok masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan anggotanya, di antaranya melalui iuran anggota. Hal ini mengingat keanggotaan ormas yang bersifat sukarela.

Oleh karena itu, Ida mempertanyakan kredibilitas ormas yang kerap memaksa meminta THR kepada masyarakat dan pelaku usaha seperti di momen jelang lebaran seperti saat ini.

“Pertanyaan yang mendasar di masyarakat adalah apa hak mereka [ormas] meminta THR? Selama ini, apa kerja-kerja mereka dalam melayani kepentingan publik sehingga mereka merasa layak mendapat THR?,” ujar Ida saat dihubungi Tirto, Senin (17/3/2025).

Dari kacamata sosial, Ida menilai alasan masyarakat menolak memberikan THR kepada ormas adalah karena ormas dianggap tidak memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar.

Menurut Ida, masyarakat dan pelaku usaha dengan sendirinya akan berinisiatif memberikan THR ataupun insentif jika keberadaan ormas memang bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

“Kalaupun ormas merasa layak untuk mendapatkan THR, tentunya perlu dikoordinasi oleh pihak berwenang sehingga tidak terjadi 'gesekan' antarormas, bahkan meresahkan masyarakat dan pelaku usaha mengingat banyaknya ormas yang ada,” ujarnya.

Pemerintah Jangan Hanya Reaktif

Aksi pemalakan THR yang dilakukan oleh ormas kepada masyarakat dan pelaku usaha seakan menjadi masalah laten dan terjadi secara merata hampir di semua wilayah di Indonesia.

Di luar konteks THR, belum lama ini, pengusaha kawasan industri juga mengeluhkan kaburnya investasi ratusan triliun rupiah akibat aksi premanisme yang dilakukan oleh ormas.

Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, mengatakan bahwa aksi premanisme oleh ormas yang kerap terjadi di Karawang, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Batam membuat investasi tak jadi masuk.

“Kalau dihitung semuanya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang enggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan T [triliunan rupiah],” kata Sanny dalam dialog optimalisasi kawasan industri, dikutip dari Antara, Selasa (11/2/2025).

Sanny membeberkan bahwa ormas-ormas tersebut kerap berdemonstrasi menuntut agar diikutsertakan dalam proses pembangunan atau aktivitas pabrik. Itulah yang bikin calon investor kabur.

Selain itu, ormas-ormas juga tak segan melancarkan ancaman kepada investor atau pengelola pabrik di kawasan industri untuk menuntut uang transportasi, jatah katering, dan lainnya.

Bahkan, ada ormas yang berani memblokir pintu masuk pabrik jika tuntutannya tak dituruti. Hal semacam itu tentu menghambat aktivitas produksi dan distribusi di kawasan industri tersebut.

Praktik-praktik seperti itu seakan tak tertangani dan terus berulang karena pemerintah masih cenderung mengandalkan respons kebijakan reaktif. Menurut pengamat kebijakan publik, Achmad Hanif, itu tidak efektif karena yang sebenarnya dibutuhkan adalah kombinasi pendekatan preventif dan asertif.

“Semua dapat dimulai dengan menunjukkan keseriusan pemerintah melalui instruksi langsung dari pusat, seperti Kapolri atau Kejaksaan Agung, untuk menangani fenomena ini secara cepat dan tanpa diskriminasi,” ujarnya.

Instruksi pusat itu perlu diperkuat dengan penerapan sanksi hukum yang berat terhadap ormas yang melakukan pemerasan, termasuk pencabutan izin jika ia berbadan hukum. Pemerintah juga perlu menjamin perlindungan bagi korban dan pelapor untuk menghindari intimidasi sekaligus mengampanyekan agar masyarakat dan pelaku usaha berani melaporkan pemalakan oleh ormas.

Achmad menilai bahwa pemalakan THR oleh ormas merupakan bentuk pemerasan dan mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan tata kelola keamanan di Indonesia. Aksi pemerasan pun sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana seturut Pasal 368 KUHP.

Sayangnya, kenyataan hari ini menunjukkan bahwa pemerintah maupun aparat keamanan masih kurang serius dalam merespons banyaknya kejadian pemalakan oleh ormas.

“Terlebih, ini semakin dipersulit dengan beberapa ormas yang memiliki kedekatan dengan figur politik atau aparat sehingga semakin sulit ditindak,” kata Achmad.

Dengan demikian, pemerintah perlu mengambil langkah lebih konkret dan tidak hanya bersikap reaktif dalam menangani ormas yang memalak THR. Langkah tegas dalam penegakan hukum, regulasi yang jelas, serta perlindungan terhadap keamanan publik menjadi kunci utama untuk mengakhiri fenomena ini.

“Jika dibiarkan, ini dapat menciptakan preseden buruk yang merusak kepastian hukum dan memperparah ketidakpastian ekonomi nasional,” katanya.

Respons Pemerintah

Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, merespons terkait adanya pengurus RW 02 Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, yang membuat surat edaran untuk meminta THR kepada perusahaan. Dia menilai tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.

"Kalau itu tidak usah pakai surat peringatan. Itu sudah sebuah [tindakan] yang salah," kata Rano di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).

Meski begitu, Rano masih menoleransi pungutan oleh pengurus lingkungan yang dananya ditujukan untuk satpam dan petugas kebersihan.

"Kita mesti paham, mohon maaf nih, RT/RW saya juga mengeluarkan surat edaran, untuk apa? Misalnya, untuk lebaran satpam. Itu juga normal, tapi juga ada ketentuan. Jangan gila-gilaan, enggak boleh itu. Kayak petugas sampah, di komplek-komplek pasti begitu, pasti di-collect begitu," lanjut Rano.

Sementara itu, Polri menegaskan akan menindak tegas ormas-ormas yang terlibat aksi premanisme dan menghambat iklim investasi di Tanah Air. Polri akan berupaya memastikan dunia usaha terbebas dari ancaman kelompok tertentu yang menyalahgunakan nama ormas demi kepentingan pribadi atau kelompok.

“Sesuai komitmen Kapolri, Polri akan menindak tegas aksi premanisme berkedok ormas. Tidak boleh ada oknum yang menggunakan nama ormas untuk melakukan pemerasan, pungutan liar, atau aksi yang merugikan dunia usaha serta menghambat investasi,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, dikutip dari situs resmi Polri, Jumat (14/3/2025).

Polri pun mengimbau seluruh pengusaha dan masyarakat agar tidak ragu melaporkan segala bentuk pemerasan, intimidasi, atau gangguan terhadap investasi yang dilakukan oleh anggota ormas tertentu.

“Kami menjamin perlindungan bagi pelapor dan akan menindaklanjuti setiap laporan secara profesional. Jangan takut untuk melapor jika merasa dirugikan oleh praktik premanisme oknum anggota ormas. Masyarakat dan pengusaha dapat melaporkan melalui hotline layanan Kepolisian 110 untuk melaporkan segala bentuk gangguan keamanan dan tindak premanisme,” tegasnya.

Terpisah, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Perkasa Roeslani, berharap kementeriannya maupun pihak-pihak terkait lebih aktif dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

Hal itu menanggapi kabar adanya aksi premanisme yang dilakukan organisasi masyarakat (ormas) sehingga menggagalkan investasi hingga ratusan triliun.

“Kalau saya melihatnya perlu ada ini aja, ada community diskusi yang lebih baiklah. Dan yang penting dengan investasi masuk ini kan kalau semua lancar, semua damai, dan itu kan juga menciptakan lapangan kerja di situ,” ungkap Rosan ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (11/2/2025).


tirto.id - News

Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |