Perlunya Kontrol agar Kedermawanan Rakyat Tak Disalahgunakan

1 day ago 18

tirto.id - Suka bederma, membantu sesama, dan menjadi relawan, adalah gambaran masyarakat Indonesia yang bukan omong kosong belaka. Data menunjukkan, bahkan, di masa-masa sulit seperti pandemi COVID-19, Indonesia tetap jadi negara paling dermawan secara global.

Setidaknya temuan itu yang diungkap World Giving Index (WGI), keluaran badan amal internasional, Charities Aid Foundation/CAF. Tak tanggung-tanggung, selama 7 tahun berturut-turut, CAF menobatkan Indonesia sebagai peringkat satu negara paling pemurah di dunia.

Laporan terbaru CAF untuk tahun 2024 merekam, Indonesia mengantongi skor 74 sebagai negara paling dermawan, mengalahkan Kenya (63 poin), Singapura (61 poin), Gambia (61 poin), Nigeria (60 poin), Amerika Serikat/AS (59 poin), Ukraina (57 poin), Australia (54 poin), dan Uni Emirat Arab (54 poin).

Artinya, semakin tinggi skor yang diraih oleh suatu negara, semakin besar pula jumlah penduduk yang terlibat dalam aktivitas memberi. Skor dalam indeks ini berkisar antara nol sebagai yang terendah, hingga 100 sebagai yang tertinggi.

Pengukuran indeks WGI itu didapat dari tiga jenis aktivitas memberi, yakni membantu orang asing atau yang tidak dikenal, berdonasi dalam bentuk uang, serta menyisihkan waktu untuk menjadi sukarelawan di suatu organisasi.

Dalam hal berdonasi uang misalnya, CAF mencatat, setiap 9 dari 10 orang Indonesia atau sebanyak 90 persen penduduk telah bederma pada 2024. Skor ini tampak paling unggul dibanding 2 kategori sisanya.

Capaian itu tak mengherankan mengingat setiap agama memang menganjurkan para pemeluknya untuk berbagi. Di Islam, misalnya, ada kewajiban berzakat, alias mengeluarkan sebagian harta yang diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Hal ini kemungkinan besar dilakukan semua muslim, lantaran sebagai bagian dari rukun Islam.

Dalam survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat selama 5 - 7 Maret 2025, zakat, infaq, dan sedekah juga termasuk dalam tiga pengeluaran teratas selama Ramadhan. Jajak pendapat tersebut melibatkan 1.336 responden yang tersebar di 31 provinsi.

Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar, bahkan mengatakan, dana zakat dan wakaf apabila dikelola dengan efektif berpotensi dapat mengatasi kemiskinan mutlak di Indonesia.

"Membutuhkan Rp20 triliun untuk membebaskan kemiskinan mutlak itu," kata dia dalam pidatonya di acara silaturahmi ke Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Nasaruddin menyebut, umat Islam seharusnya berpotensi mendapat penerimaan zakat mencapai Rp320 triliun per tahun. Namun, masalahnya, pada 2024, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) hanya sebesar Rp41 triliun.

Adanya Ajaran Agama dan Dorongan Manusia untuk Berkelompok

Sikap memberi manusia didorong oleh beragam faktor. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, berpendapat, salah satu alasannya yakni dorongan manusia untuk berkelompok. Dari situ kemudian muncul kecenderungan untuk tolong menolong.

Terlebih lagi, jika merunut sejarah, orang-orang Indonesia merupakan perantau, alias bukan penduduk asli.

“Jadi secara alamiah, dorongan instinctive-nya itu adalah saling tolong-menolong. Ini semua ras manusia nih, jadi kelihatan banget waktu mau misalnya cari makanan untuk membunuh macan misalnya. Seringkali kita mendapatkan visualisasi bahwa orang-orang zaman dulu itu kalau mau cari makanan protein dari daging gitu, mau jatuhkan gajah misalnya mamut gitu ya, itu bareng-bareng, selalu kerjasama gitu,” ujar Rissalwan ketika berbincang dengan Tirto, Selasa (18/3/2025).

Kemudian masuk ke arah yang lebih modern, yakni agama. Rissalwan bilang, pada prinsipnya semua agama mengajarkan kebajikan. Tidak ada satu agama pun yang menyatakan bahwa mengambil hak orang lain adalah hal baik.

“Dan hampir semua agama percaya bahwa membagi sesuatu dari diri kita, sesuatu dari kekayaan kita, itu justru akan menambah. Gitu ya, saya yakin itu semua gitu,” kata Rissalwan.

Ajaran tersebut kemudian terinternalisasi dalam setiap individu, sehingga masyarakat kerap melakukan praktik berbagi. Oleh karenanya, menurut Rissalwan, “kesalehan sosial” itu terpelihara.

Menariknya, praktik berbagi bisa dibilang meningkat ketika situasi krisis, seperti pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia pada 2020. Rissalwan bilang, momen itu pada akhirnya meningkatkan dorongan untuk tolong-menolong.

Pernyataan Rissalwan tersebut didukung studi GoPay bersama Kopernik dalam “Digital Donation Outlook 2020”. Laporan itu menemukan, masyarakat Indonesia jadi makin rajin berdonasi saat pandemi, dengan jumlah rata-rata peningkatan sebanyak 72 persen. Hal itu sejalan dengan data internal GoPay yang mencatat transaksi donasi digital pakai GoPay naik dua kali lipat selama pandemi.

Selaras, Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Imam Prasodjo, pun menyampaikan kedermawanan rakyat Indonesia memang seringkali muncul saat bencana-bencana ekstrim.

“Masyarakat itu secara spontan itu mudah ya, untuk bersifat reaktif sebetulnya, untuk membantu. Namun yang mengembirakan sekarang itu juga muncul pelembagaan-pelembagaan modern yang berbasis pada crowdfunding, misalnya kan menggunakan teknologi internet, donor darah dan sebagainya ya, terus ada pelembagaan-pelembagaan crowdfunding yang lebih terstruktur,” kata Imam.

Kendati demikian, filantropi di kalangan kelas menengah atas di Indonesia disebut Imam masih belum terlalu kuat dibanding filantropi orang-orang kaya di negara lain. Menurut dia, kecenderungan kedermawanan masyarakat Indonesia yakni one shot giving, atau bersifat sementara.

"Itu sebetulnya masyarakat Indonesia mudah ya, terutama masyarakat urban, itu mudah untuk tergugah sebetulnya. Ada potensi yang besar banget, cuman tadi yang saya bilang bahwa [persoalan] pengorganisasian itu ya, sehingga yang menjadikan wadah-wadah kedermawanan itu belum terbangun,” ujar Imam.

Itu berarti kedermawanan yang bersifat social and environmental entrepreneurship relatif belum terbangun. Jadi, belum terlalu banyak lembaga kedermawanan yang menggunakan inovasi yang memikirkan intervensi lebih kreatif.

“Misalnya kalau di Filipina itu IIlac Diaz yang melakukan upaya membantu masyarakat miskin dengan lampu-lampu dengan bekas botol Coca-Cola yang lama-lama, terus botol itu dikasih solar panel. Itu kan ada inovasi,” kata Imam.

Menurutnya, perlu dibangun lebih kuat kedermawanan yang melembaga dan mendampingi sebuah komunitas hingga menjadi mandiri. Dengan begitu, prinsip keberlanjutan dan pemberdayaan jadi terimplementasi.

Perlu Upaya Agar Kedermawanan Tidak Disalahgunakan

Kedermawanan masyarakat Indonesia yang tak pernah luntur memang menyisakan celah untuk disalahgunakan. Kita tidak bisa tutup mata terhadap kasus yang dilakukan oleh yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat menghimpun rupiah untuk korban kecelakaan Lion Air JT 610, pada 2022.

Untuk menghindari peristiwa serupa, Imam menegaskan perlunya kontrol dari masyarakat, akan tetapi bukan dalam bentuk lembaga preman, yang ujung-ujungnya menodong uang.

“Tapi secara profesional para relawan memahami prinsip-prinsip tentang transparansi, memahami prinsip-prinsip tentang akuntansi yang modern lah, sehingga semua tercatat,” kata Imam, berfleksi dari beberapa lembaga amal yang belum melakukan pencatatan yang memadai.

Di situlah pentingnya uluran tangan dari ahli pembukuan atau akuntan, agar tidak terjadi penipuan. Namun, jangan sampai administrasi terlalu ketat, sehingga menyulitkan dan menyebabkan relawan atau lembaga menjadi malas.

“Integritas itu dibangun tidak bisa sendiri tapi dalam sebuah sistem yang sifatnya kolektif. Tapi kalau orang mengumpulkan uang sendiri dari donatur atau teman-teman terus gak ada lembaganya, ya itu jadi kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam arti pembukuan, makanya perlunya ada yayasan, ada perkumpulan supaya tercatat,” ujar Imam.

Persoalan kontrol dari masyarakat itu juga disorot Rissalwan. Menurutnya, relawan semestinya mengindahkan uang yang didonasikan. Mereka berhak bertanya, “apakah uangnya sampai ke penerima?”.

Menurut Rissalwan, gerakan sosial, kampanye, atau ajakan yang lebih masif menjadi urgen agar lembaga-lembaga zakat atau lembaga pengelola kedermawanan tidak melakukan penyimpangan, baik di level operasional maupun pengelolaan.

“Tapi faktanya, orang-orang yang membantu itu, yang bahkan cuma nyumbang, nyumbang untuk Palestina 50 ribu, udah, mau uang 50 ribu itu akhirnya gak nyampe ke Palestina, dia udah gak peduli gitu,” kata Rissalwan.

Skenario lain yang signifikan untuk dilakukan yakni negara hadir. Akan tetapi, menurut Rissalwan, peran negara ini bukan berarti mengambil alih, melainkan hanya mewajibkan audit publik terhadap semua lembaga.

Jika tak ada upaya-upaya semacam itu, bukan tidak mungkin kasus ACT terjadi lagi dan sangat mungkin dilakukan lembaga-lembaga lainnya.


tirto.id - News

Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |