Polemik Legalitas Pagar Laut, Dulu Tak Bertuan Kini Punya HGB

13 hours ago 8

tirto.id - Polemik soal pagar laut terus berlanjut. Sebelumnya stakeholder-stakeholder terkait saling lempar mengaku tak tahu siapa pemilik pasak-pasak yang dibangun di lepas pantai Laut Tangerang, Banten itu. Kini, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap pagar laut sepanjang 30,16 kilometer tersebut telah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Berdasar aplikasi Bhumi milik Kementerian ATR/BPN, ada sebanyak 263 bidang tanah dalam bentuk HGB yang dimiliki oleh Perseroan Terbatas (PT), dengan sebanyak 234 bidang di antaranya milik PT Intan Agung Makmur; 20 bidang tanah milik PT Cahaya Inti Santosa; dan 9 bidang lainnya milik perorangan. Selain itu, ada 17 bidang tanah yang memiliki SHM di kawasan tersebut.

“Kementerian ATR/BPN telah mengutus Dirjen Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR), Pak Virgo, untuk berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) terkait garis pantai kawasan Desa Kohod. Langkah ini bertujuan untuk memastikan apakah bidang-bidang tanah tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai,” kata Nusron, dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (21/1/2025).

Jika dari hasil koordinasi pengecekan tersebut sertifikat yang telah terbit terbukti berada di luar garis pantai, akan dilakukan evaluasi dan peninjauan ulang. Bahkan, jika terbukti terdapat cacat material, prosedural, atau hukum, sertifikat-sertifikat tersebut dapat dibatalkan tanpa harus melalui proses pengadilan.

"Jika ditemukan cacat material, cacat prosedural, atau cacat hukum, sesuai dengan PP (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021), maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan tanpa harus melalui proses pengadilan, selama usianya belum mencapai lima tahun," tegasnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Sakti Wahyu Trenggono, berbeda pandangan dengan Nusron yang masih akan mengevaluasi letak sertifikat dan juga proses penerbitan sertifikat. Trenggono menegaskan sertifikat pagar laut Tangerang bersifat ilegal dan ia heran mengapa sertifikat dapat diterbitkan.

Padahal, menurut undang-undang, seluruh wilayah laut adalah milik umum. “Kalau di dasar laut, itu tidak boleh ada sertifikat. Itu sudah jelas ilegal juga,” kata dia, kepada awak media, di Istana Negara, Senin (20/1/2025).

Trenggono menduga, pembangunan pagar laut di Tangerang memiliki tujuan tersembunyi, yakni membuat lahan baru di kawasan utara Banten. Sebab, pada penerapannya, pagar laut berfungsi menahan sedimentasi yang dibawa air laut. Kemudian, sedimentasi yang tertahan bakal meninggi hingga levelnya mencapai sebuah daratan.

"Kalau ada ombak datang, begitu ombak surut dia ketahan, sedimentasinya ketahan. Boleh dibilang seperti reklamasi yang alami. Jadi, nanti kalau terjadi seperti itu, akan terjadi daratan," jelas dia.

Terbukti, sudah sekitar 30 ribu hektare sedimentasi yang kini terbuat dari pagar laut tersebut. Bahkan, menurut hasil pemeriksaan, sudah ada sertifikat tanah diterbitkan dari sedimentasi akibat pagar laut itu.

TNI AL dan nelayan bongkar pagar laut di TangerangSejumlah Personel TNI membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

Ke depan, saat sedimentasi makin melebar, Trenggono menilai, sertifikat juga akan kembali terbit. Meski kembali ditegaskannya, sertifikat dari hasil sedimentasi pagar laut tersebut tak akan berlaku alias ilegal.

"Nanti tiba-tiba nongol itu sertifikatnya, kalau sudah dia berubah menjadi daratan itu, dia akan nongol sertifikatnya. Tapi bagi kami sekarang ini, itu tidak berlaku. Kenapa, karena pasti yang namanya kegiatan di ruang laut ya tidak boleh, harus ada izin. Di pesisir sampai ke laut tidak boleh, harus ada izin," urainya.

Dengan status ilegal tersebut, KKP akan segera bergabung dengan pasukan TNI Angkatan Laut (AL) untuk membongkar pagar laut tersebut. Selain itu, akan dilibatkan pula Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri, dan elemen masyarakat seperti Persatuan nelayan wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura).

“Karena gini, nggak ada yang ngaku (sebagai pemilik pagar laut). Di sisi lain, karena kita sudah janji untuk mencabut, maka nanti secara bersama-sama dengan seluruh pihak, supaya tidak salah juga. Kalau KKP sendiri yang cabut, nanti bisa digugat. Tiba-tiba ada yang gugat, kan repot,” terang dia.

Dalam penelusuran Tirto, taipan Sugianto Kusuma alias Aguan, Chairman Agung Sedayu Group disebut-sebut sebagai dalang pemasangan pagar laut yang membentang di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang-Kecamatan Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Kecamatan Teluknaga. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa PT Cahaya Inti Santosa adalah anak usaha PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) yang diakuisisi pada akhir 2023. Sementara PT Intan Agung Makmur dipimpin oleh dua orang dekat Aguan, Belly Djaliel sebagai Direktur dan Freddy Numberi sebagai komisaris perusahaan.

Namun, hal ini dibantah Kuasa Hukum Pengembang Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, Muannas Alaidid. Kata dia, segala tuduhan kepada Aguan terkait pagar laut adalah fitnah belaka yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang hanya ingin mencari sensasi. Selain itu, alih-alih bagian dari PSN PIK 2 yang ditangani oleh Agung Sedayu, pagar laut dinilainya dibangun oleh masyarakat pesisir sebagai pemecah ombak, penghalang sampah, hingga pembatas lahan dari wilayah yang terkena abrasi.

"Itu hanyalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dari inisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami dengar. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2," ucap Muannas, dalam keterangannya, belum lama ini.

Legalitas HGB Dipertanyakan

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, menilai, HGB dan SHM pagar laut Tangerang bak muncul semalam. Pasalnya, saat melakukan investigasi bersama timnya saat awal viral kabar pagar laut, sama sekali tak ada HGB maupun SHM terkait pagar laut Tangerang yang tercantum di aplikasi BHUMI.

Namun yang pasti, pemasangan pagar laut tersebut dilakukan menggunakan alat berat yang artinya akan lebih mungkin dilakukan oleh pihak-pihak bermodal besar. Apalagi, pagar laut itu dibuat menggunakan palang besi dan beton yang jika ditotal membutuhkan anggaran sekitar ratusan miliar.

“Saya pastikan, waktu itu tidak ada administrasi apapun, yang kami investigasi sampai diancam segala macam (dikatakan) pencemaran nama baik. Dan kita cek ke lapangan, itu lebih jelas lagi. Tidak mungkin (dipasang oleh masyarakat biasa),” kata dia, saat dihubungi Tirto, Selasa (21/1/2025).

Selain itu, ada kerugian yang harus ditanggung negara akibat pemasangan pagar laut. Kerugian tersebut, tak lain berasal dari aktivitas ekonomi yang sehari-hari dilakoni warga Banten bagian utara, termasuk nelayan yang memanfaatkan ruang perairan untuk membudidayakan ikan, rajungan dan rebon, juga pengojek perahu.

Dus, menurut Julius, pemasangan pagar laut Tangerang tak hanya melanggar administrasi saja, melainkan juga berpotensi mengarah pada pelanggaran pidana dan tindak pidana perekonomian.

“Yaitu (berasal dari) entah korupsi, suap, entah apa, sehingga sertifikat itu bisa terbit. Kemudian kan, dari aktivitas ekonomi itu ada pajaknya, sertifikasi juga ada pajaknya, ambil ikan ada pajaknya, dan yang lebih parah lagi ada soal pencemaran lingkungan,” jelas dia.

Selain itu, Julius juga menilai bahwa pemagaran laut mencerminkan bahwa oknum yang memasang pagar tersebut seperti orang-orang pada jaman 1980-an yang mengakui tanah tak bertuan menjadi miliknya. Bedanya, untuk mengklaim tanah tak berpemilik tersebut, orang-orang jaman dahulu menanaminya dengan berbagai macam tanaman, seperti singkong, kelapa, dan sebagainya.

“Jadi sama, biar kalau ada proyek pemerintah, tanah yang mereka akuin itu bisa dijual mahal. Padahal, itu bukan punya mereka,” imbuh dia.

Sementara itu, berdasarkan penelusuran Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), pada situs BHUMI, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG), terdapat persil-persil tanah seluas ±515,77 hektare atau lebih dari 5 juta meter persegi di laut. Seluruh persil tanah yang berada di atas laut tersebut berada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat ±1 juta meter persegi bidang tanah tersertifikat di atas laut.

Proses pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu. Dalam hal ini, Kiara juga menduga bahwa Aguan lah aktor utama tersebut.

“Dari penelusuran yang telah dilakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada di gedung yang sama dengan PIK 2. Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” jelas Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, kepada Tirto, Selasa (21/1/2025).

Hal ini semakin diperkuat oleh hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan Mauk, yang mana nelayan kecil menyebutkan pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya. Adapun, proses perluasan tersebut telah dilakukan sejak pertengahan tahun lalu, namun berhenti dan pihak-pihak terkait cuci tangan saat pemagaran area laut ini mulai viral.

Dus, Susan memastikan penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).

“KIARA bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Susan.

TNI AL dan nelayan bongkar pagar laut di TangerangSejumlah nelayan membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

Namun, dengan diberikannya HGB dan SHM di wilayah perairan kepada korporasi maupun perorangan, seolah menghidupkan kembali HP3 atau neo-HP3. Dalam hal ini, pemerintah yang menerbitkan berbagai sertifikat tersebut sama dengan melegalkan privatisasi laut atau yang saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing). Selain itu, pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta juga bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi.

Susan khawatir, pemberian hak kepemilikan maupun HP3 ini akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Parahnya, privatisasi laut akan berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.

“Pelaku maupun pihak yang terkait lainnya baik atasannya maupun menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM ini harus ditindak, diusut tegas dan transparan sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang di masa depan. Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut!” tegas Susan.

Terpisah, Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, menilai, adanya pagar laut baik yang ditemukan di utara pantai Tangerang, Bekasi, atau yang paling baru di laut timur Surabaya, merupakan ironi dalam tata kelola wilayah pesisir Indonesia. Apalagi, meski telah terbangun 30,16 kilometer pagar laut, tak ada satupun pejabat pemerintah baik yang ada di pusat maupun daerah yang tahu siapa pembangunnya. Padahal, seiring berjalannya waktu terungkap adanya HGB dan SHM yang menjadi izin pembangunan pagar laut di utara Banten tersebut.

“Artinya, setidak-setidaknya (Kementerian ATR) BPN tahu lah ini siapa yang punya pagar laut, orang itu sertifikat mereka yang terbitkan,” kata dia, kepada Tirto, Senin (21/1/2025).

Terbitnya HGB di perairan laut juga berpotensi membuka tabir baru perihal praktik mafia tanah dan kelautan. Sebab, setiap pemanfaatan atas ruang laut pada dasarnya harus memperoleh perizinan yang dikenal dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP.

“Jadi, lucu, ketika KKP klaim tidak tahu menahu soal pagar tersebut. Tapi, pertanyaan lanjutannya begini, boleh atau tidak HGB terbit di atas air laut? Jawabannya nggak boleh dong. HGB hanya terbit di atas tanah negara atau tanah hak, namanya hak atas tanah, bukan hak atas air,” tegas Fikri.

Selain itu, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga tegas melarang kepemilikan individu ataupun badan hukum atas objek sumber daya air, termasuk pantai dan laut teritorial, karena menyangkut hidup orang banyak. Dengan begitu, harusnya laut teritorial merupakan wilayah yang dikuasai oleh negara dan tidak boleh dimiliki siapapun.

Pun, pemanfaatannya harus memerhatikan kepentingan umum dan daya dukung ekosistem lingkungan sekitarnya. “Pemerintah Indonesia, terutama Presiden, harus tegas mencabut semua bentuk bangunan dan sertifikat tanah yang diperoleh secara melanggar hukum. Jangan sampai umur pemerintahan yang masih sangat muda di periode Presiden sekarang tercoreng oleh praktek-praktek demikian,” lanjut Fikri.

Sementara itu, Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan, pihaknya telah mendapat arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto untuk menyelidiki pemagaran laut secara tuntas. Kemudian, jika secara hukum proses pemagaran dilakukan dengan tidak benar, pemilik harus mengembalikannya kepada negara.

“Tadi, arahan Bapak Presiden selidiki sampai tuntas secara hukum. Supaya kita harus benar koridor hukumnya. Apabila tidak ada, itu harus menjadi milik negara,” kata dia, di Istana Negara, Senin (21/1/2025).


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |