tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana membuat formulasi baru pembahasan undang-undang. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan wacana tersebut memang tengah digodok dan akan dibahas lebih detail setelah masa reses.
“Tunggu saja setelah masuk reses,” kata Dasco kepada wartawan Tirto, Senin (7/4/2025).
Dasco belum bisa membeberkan lebih jauh rencana formulasi baru DPR dalam melakukan pembasahan undang-undang itu. Namun yang pasti, kata dia, formulasi baru ini akan lebih menekankan partisipasi publik dalam proses pembasahan undang-undang.
“Antara lain penguatan partisipasi publik, selebihnya nanti setelah reses akan diformulasikan secara lengkap,” terang Ketua Harian Partai Gerindra itu.
DPR beberapa kali memang dihujani kritik sebab pembahasan undang-undang dilakukan secara kilat dan kurang transparan. Masih hangat di ingatan bagaimana pembahasan revisi UU TNI digelar diam-diam di salah satu hotel mewah secara tertutup. Tak mengherankan UU TNI yang sudah disahkan didesak oleh elemen masyarakat sipil dari berbagai daerah agar dicabut.
Tabiat DPR tersebut menafikan peran partisipasi publik bermakna yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Pada UU 13/2022 partisipasi masyarakat diperluas menjadi pada semua tahapan yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Hak demikian diberikan kepada masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1).
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai DPR tidak bisa asal membuat aturan baru soal partisipasi publik tanpa juga melibatkan partisipasi dari masyarakat. Ruang publik tetap harus dibuka meskipun formulasi yang direncanakan akan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU.
“Kan aneh pembuatan regulasi soal partisipasi masyarakat tetapi tidak melibatkan partisipasi publik, itu kan lucu banget,” ucap Castro, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto.
Castro mempertanyakan formulasi baru tersebut akan diakomodir dalam bentuk seperti apa. Ia menyoroti perubahan UU P3 tahun 2022 yang diniatkan memperkuat partisipasi, namun justru berubah menjadi alat hukum untuk mengakomodir undang-undang Omnibus.
Ia memandang, pasal partisipasi publik di dalam UU P3 masih sekadar ‘pasal mati’. Artinya, belum ada keterikatan yang menghasilkan konsekuensi hukum saat unsur partisipasi publik diabaikan oleh pembentuk undang-undang.
Castro mengusulkan bahwa aturan soal partisipasi harus dijadikan sebagai aturan mengikat. Sebab, kata dia, selama ini partisipasi publik pembahasan undang-undang masih bersifat manipulatif atau sekadar menggugurkan kewajiban.
“Jadi kalau partisipasi publik tidak dilakukan harusnya undang-undang itu batal demi hukum dan ini tidak terjadi. Selama ini seolah-olah partisipasi publik bersifat manipulatif dan hanya formalitas semata,” terang dia.
Partisipasi tidak boleh dianggap sekadar mengundang elemen masyarakat dalam tahapan sosialisasi dan rapat dengar pendapat. Partisipasi bermakna, menurut Castro, seharusnya lahir dari rahim publik ketika warga benar-benar dilibatkan dalam proses pembentukan UU.
Partisipasi publik dinilai masih didominasi elite politik sehingga partisipasi terkesan sekadar akal-akalan.
“Yang paling penting kenapa enggak buat saja produk hukum alternatif soal partisipasi publik, jadi semua produk hukum dari UU ke Peraturan Daerah yang tidak melalui proses partisipasi publik itu dianggap cacat secara prosedural jadi bisa dibatalkan secara hukum,” usul dia.
Sementara itu, peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, merasa usulan formulasi baru pembahasan undang-undang yang diwacanakan DPR amat membingungkan sekaligus mengkhawatirkan. Kalau gagasan itu muncul sebagai respons DPR atas kritikan publik terkait proses pembahasan UU TNI, maka ide Dasco itu seolah mengatakan bahwa persoalan minimnya partisipasi yang dikritik publik adalah kesalahan aturan yang sudah ada.
Dengan kata lain, proses pembahasan revisi UU TNI yang dinilai minim partisipasi publik, bukan salah DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, tetapi kekeliruan dari aturan terkait mekanisme pembentukan UU di DPR atau UU P3.
“Dasco nampak mengkambinghitamkan aturan kesalahan yang sesungguhnya disebabkan DPR dan pemerintah yang cenderung mengabaikan aturan terkait mekanisme pembentukan legislasi ketika membahas RUU-RUU,” ucap Lucius kepada wartawan Tirto.
Faktanya, kata Lucius, aturan mekanisme pembentukan legislasi sesungguhnya sudah dua kali diubah. Dari UU nomor 12 tahun 2011 diubah dua kali, hingga menjadi UU 13/2022.
Dalam regulasi tata cara pembentukan peraturan perundangan-undangan, mekanisme bagi pelibatan publik sudah cukup banyak diatur. Mulai dari ketersediaan informasi, ketersediaan draf, sosialisasi draf, naskah akademik, RDP, hingga RDPU.
Dengan demikian, kata dia, DPR salah paham atau tak paham masalah saat mengusulkan perubahan mekanisme pembentukan legislasi untuk menjawab kritikan publik soal minimnya partisipasi bermakna dalam pembahasan UU.
Alih-alih membenahi persoalan partisipasi publik dalam proses pembentukan legislasi, ide formulasi baru pembahasan undang-undang dikhawatirkan akan menghasilkan mekanisme yang justru semakin membatasi ruang partisipasi publik.
“Kalau pembentukan legislasi dikritik karena minim partisipasi, jelas bukan karena aturannya tak tersedia. Masalahnya ada pada DPR yang memilih untuk mengangkangi aturan-aturan itu demi memuluskan niat atau kepentingan politik,” tegas Lucius.
tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz