Ritual Nyekar, Dulu Dilarang Nabi Sekarang Jadi Tradisi

2 days ago 12

tirto.id - Nyekar merupakan sebuah tradisi yang amat bermakna bagi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan umat muslim. Tradisi ini secara umum dilakukan saat ada peringatan kematian seseorang, jelang upacara pernikahan, khitanan, atau yang lebih umum: sebelum datangnya Ramadhan dan saat Idulfitri, selepas melaksanakan salat Id.

Kebiasaan mengunjungi dan merawat makam leluhur bukan hanya sekadar ritual tahunan tanpa makna. Ia mengandung nilai-nilai keislaman yang terhubung dengan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.

Sebagai contoh, keidentikannya dengan Ramadhan, yang merupakan periode pembersihan diri dan refleksi spiritual, mengimplikasikan bahwa nyekar memiliki tempat khusus dalam mempersiapkan diri menyambut bulan suci. Demikian pula, pelaksanaannya saat Idulfitri kerap dimaknai sebagai upaya mengenang dan bersyukur setelah berpuasa.

Selain itu, kuatnya ikatan nyekar dengan umat muslim di Jawa mengisyaratkan adanya keterkaitan antara tradisi tersebut dan perkembangan budaya atau sejarah tertentu dalam konteks keislaman di Jawa.

Mendefinisikan Makna dan Praktik Nyekar

Secara etimologis, istilah nyekar berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata sekar yang berarti 'bunga'. Dengan demikian, nyekar secara harfiah merujuk pada tindakan menaburkan bunga di atas makam.

Ritual dan aktivitas yang umumnya terkait dengan nyekar meliputi kunjungan ke makam, membersihkan area pemakaman, memanjatkan doa untuk orang yang telah meninggal, dan menaburkan bunga. Jenis bunga yang dipakai biasanya tidak sembarangan, misalnya melati, kamboja, mawar, dan kenanga.

Beberapa kalangan yang mengamalkan tradisi nyekar bersandar pada sunah Nabi Muhammad saw., yang berasal dari hadis riwayat Ibnu Abbas, bahwa:

“Rasulullah lewat di dekat dua kuburan dan bersabda, ‘Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, bukan karena dosa besar, melainkan salah satunya disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, dan yang satunya karena suka mengadu domba.' Kemudian, beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, membelahnya menjadi dua bagian, dan menancapkannya pada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini?’ Beliau menjawab, ‘Semoga siksa keduanya diringankan selama batang ini masih basah.” (HR. al-Bukhari: 218).

Beberapa ulama yang mengamini tradisi nyekar menjelaskan lebih lanjut terkait analogi daun kurma basah. Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqnamembeberkan, daun kurma, sebagaimana disebut dalam hadis nabi, bisa digantikan dengan bunga atau tanaman yang bersifat segar.

Pada praktik lain, nyekar kerap melibatkan penggunaan dupa atau kemenyan. Menurut Samsul Ariyadi dalam Resepsi Al-Qur’an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern: Kajian Praktik Mujahadah dan Semaan al-Qur’an Mantab Purbojati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (2021: 168), aspek terakhir ini belakangan sudah jarang dilakukan, meski tidak berarti hilang sama sekali.

Nyekar juga dipandang sebagai sarana silaturahmi antara orang yang masih hidup dan almarhum atau almarhumah. Tradisi ini juga mencerminkan refleksi diri terhadap asal-usul manusia serta kasih sayang yang diterima dari para leluhur semasa hidup.

Ada banyak variasi pelaksanaan tradisi nyekar di berbagai belahan Nusantara. Di Sengeti, Jambi, terdapat tradisi “Antar Kembang”, yakni menaburkan bunga dan menyiram makam dengan air. Ritual tersebut biasanya juga diiringi dengan hidangan makanan.

Di pemakaman Gereja Tugu, Jakarta, tradisi nyekar juga dilakukan dengan membersihkan makam dan menempatkan lilin serta bunga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang memiliki garis keturunan tertentu.

Variasi regional dalam praktik nyekar mengindikasikan adanya pengaruh adat dan kepercayaan lokal terhadap tradisi inti.

Illustrasi Ziarah KuburIllustrasi Ziarah Kubur. foto/istockphoto

Pandangan Awal Islam tentang Ziarah Kubur

Pada masa-masa awal Islam, terdapat larangan dari Nabi Muhammad kepada umatnya untuk melakukan ziarah kubur. Larangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama kondisi keimanan para mualaf yang masih lemah serta kekhawatiran akan adanya praktik-praktik yang terkait dengan politeisme pra-Islam.

Kehidupan masyarakat Arab pada masa itu masih erat dengan praktik menyembah berhala serta kepercayaan terhadap dewa-dewa. Di antaranya termasuk mengultuskan kuburan dan meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal. Oleh sebab itu, Nabi khawatir praktik ziarah kubur disalahartikan dan justru menjurus pada perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Allah.

Larangan awal ziarah kubur merupakan langkah preventif yang bertujuan melindungi keyakinan monoteistik umat Islam yang baru terbentuk, agar terhindar dari pengaruh tradisi politeistik yang telah mengakar kuat.

Seiring dengan berjalannya waktu dan makin kuatnya keimanan umat Islam, Nabi Muhammad membolehkan ziarah kubur, bahkan menganjurkan, sebagaimana merujuk pada hadis yang diriwayatkan Imam Muslim:

“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi [sekarang] berziarahlah kalian”.

Alasan diperbolehkannya adalah ziarah kubur dapat menjadi tazdkiratul akhirah, pengingat akan kematian dan kehidupan akhirat. Ritual tersebut juga dapat melembutkan hati manusia.

Imam Al-Ghazali dalam kitabIhya’ Ulum ad-Dien Vol.4menyatakan, ziarah kubur disunahkan secara umum untuk tujuan mengingat kematian dan mengambil pelajaran. Adapun menziarahi kuburan orang-orang saleh disunahkan untuk mendapatkan berkah dan pelajaran.

Seluruh mazhab umat Islam sepakat mengenai kebolehan ziarah kubur. Terdapat hadis yang menyebutkan bahwa nabi menziarahi makam ibunya dan menganjurkan umatnya untuk berziarah karena hal itu dapat mengingatkan pada akhirat.

Merujuk Muchammad Toha dalam buletin Teosofi edisi Juni 2016, tradisi ziarah kubur terus berlanjut setelah nabi wafat, bahkan dipraktikkan hampir di semua negara-negara yang memiliki penduduk muslim. Di Baghdad, Irak, terdapat makam Shaykh ‘Abdul Qadir al-Jaelani yang hampir setiap hari ramai oleh peziarah. Begitu juga makam Imam Syafi’i di Mesir, kuburan Ayatullah Ruhullah Khomaeni di Iran, para Khalifah Daulah Umayyah di Suriah, serta para habaib di Tarim, Yaman.

Perubahan hukum, dari yang sebelumnya dilarang menjadi diperbolehkan, menunjukkan adanya evolusi dalam pemahaman dan praktik Islam. Penekanan pada penguatan iman sebagai prasyarat untuk mengizinkan ziarah kubur menunjukkan pendekatan pedagogis Rasulullah saw. Setelah keyakinan monoteistik inti terbentuk dengan kuat, praktik tersebut dapat direkontekstualisasikan sebagai tindakan mengingat dan refleksi yang bermanfaat, bukan lagi potensi jalan menuju syirik.

TRADISI NYEKAR JELANG LEBARANSejumlah peziarah berdoa di makam yang terendam air rob di Taman Pemakaman Umum Badong di pesisir Desa Sidogemah, Sayung, Demak, Jawa Tengah, Sabtu (24/6). ANTARA FOTO/Aji Styawan.

Integrasi Nyekar ke dalam Budaya Islam Indonesia

Wali sanga berperan penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi lokal yang sudah ada, termasuk ziarah kubur. Para wali menjadikannya sarana dakwah yang efektif sekaligus melestarikan warisan budaya leluhur.

Konsep Jawa tentang mencari pangestu 'berkah' dari leluhur juga terintegrasi dengan praktik Islam dalam wujud doa untuk orang yang telah meninggal. Bagi sebagian masyarakat "Jawa Abangan”, ziarah kubur ke makam raja-raja di Imogiri bahkan dianggap sebagai pengganti ibadah haji, demikian sebagaimana dicatat oleh Michael F Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma Below the Winds (2003).

Nyekar sering kali dilakukan sebelum Ramadhan dan Idulfitri, biasanya saat Ruwah atau Syakban dalam kalender Hijriah. Ketetapan terkait waktu-waktu tertentu dalam melaksanakan ziarah kubur berhubungan erat dengan tradisi Jawa.

Dalam keyakinan Jawa Kuno dan Hindu, nyekar dipercaya berasal dari tradisi persembahan dengan tujuan mengenang orang yang telah meninggal, atau disebut juga upacara Sraddha. Menurut artikel yang terbit di Religio: Jurnal Studi Agama-agama, Sraddha telah mengalami metamorfosis dan terus dipraktikkan dalam berbagai bentuk hingga saat ini.

Sebagai bentuk modifikasi dari Sraddha, nyekar dan nyadran dilakukan sesuai kepercayaan para pelakunya. Sebagai misal, di Jawa, ritual tersebut berakulturasi dengan tradisi ziarah kubur dalam ajaran Islam.

Melompat ke belakang, seperti tertulis dalam Pupuh 31 Kitab Negara Kertagama, Raja Hayam Wuruk menghadiri penyekaran keluarga di Desa Kalayu pada 1359 Masehi.

“Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan, tempat candi makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat. 'Memegat Sigi' nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak,” demikian tertulis dalam Pupuh 31.

Sifat sinkretis Islam di Jawa, yang berbaur dengan praktik kejawen, sangat berperan dalam penerimaan nyekar.

Jejak Tradisi Nyekar Kontemporer

Catatan sejarah langsung mengenai praktik nyekar secara spesifik sangat minim selama era kolonial Belanda. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa praktik mengunjungi dan menghormati makam, sering kali dengan tujuan mencari berkah atau menunjukkan rasa hormat, tetap ada dan diamati dalam berbagai bentuk di berbagai komunitas dan lapisan sosial pada masa itu.

Situs Makam Keramat Batok di Bekasi, yang ditemukan sekitar tahun 1636 selama periode kolonial Belanda, dikaitkan dengan tokoh agama lokal yang berjuang melawan Belanda. Orang-orang pun mengunjunginya untuk mencari berkah.

Beberapa rekam sejarah menyebut, tradisi ziarah untuk menghormati pahlawan lokal dan pendiri wilayah terus dilakukan setelah periode kolonialisme Belanda. Salah satunya dilakukan setiap tahun sebelum hari jadi Kabupaten Batang, yakni dengan berkunjung ke makam Kyai Mandurorejo, seorang pejuang melawan penjajah Belanda dan Jepang.

Ada pula tradisi membersihkan makam serta menempatkan lilin dan bunga di pemakaman Portugis, Jakarta, pada waktu sebelum Natal. Ini menunjukkan bahwa tradisi serupa nyekar langgeng di berbagai kalangan selama era kolonial, meskipun dengan konteks agama yang berbeda.

Beberapa orang percaya bahwa nyekar dapat menjadi sarana untuk meminta berkah atau syafaat dari leluhur dan tokoh-tokoh yang dihormati. Namun, ada perdebatan di antara para elite agama mengenai apakah aspek ini sejalan dengan monoteisme Islam atau tidak.

Perpaduan antara kepercayaan pra-Islam tentang roh leluhur dan praktik Islam telah menghasilkan tradisi yang unik dan bermakna mendalam.

Saat ini, nyekar merupakan tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat muslim Indonesia, dengan berbagai makna dan tujuan. Menurut Isfiana Oktaria Nasihatul Umami dalam jurnal terbitan International Journal of Religion and Social Community, nyekar membantu menjaga hubungan sosial, memperkuat identitas budaya, dan melestarikan warisan leluhur dengan menghormati sejarah keluarga dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan elite agama mengenai beberapa aspek dalam praktiknya, tradisi nyekar secara keseluruhan diterima luas sebagai bagian dari identitas keagamaan dan budaya Indonesia.

Nyekar menunjukkan keberhasilan proses adaptasi budaya, bahwa prinsip-prinsip inti Islam tetap bisa dipertahankan sambil memasukkan adat lokal, membuat agama lebih mudah diakses dan relevan bagi penduduk asli.


tirto.id - News

Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |