Riwayat Plengkung Gading, Masuk dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta

1 day ago 12

tirto.id - Inti peradaban Yogyakarta membentang dari sisi utara ke selatan. Di utara, berdiri kokoh Gunung Merapi. Sementara di selatan, terdapat legenda yang menyatakan wilayah Segoro Kidul merupakan kompleks istana Ratu Kidul, sosok magis yang begitu dihormati masyarakat Yogyakarta.

Sebelum penguasa pertama Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi alias Sultan Hamengkubuwono I memerintah, kedua tempat itu memang telah dianggap sakral dan keramat.

Dalam film dokumenter Living Philosophy karya Paniradya Kaistimewan, dijelaskan bahwa falsafah Jawa Kuno sangat mengagungkan bentang alam seperti gunung dan laut. Gunung dianggap sebagai manifestasi kekuatan, yang disimbolkan mewakili laki-laki atau ayah. Sementara laut adalah perlambang kasih, mewakili perempuan atau ibu.

Masyarakat Jawa menganggap gunung dan laut adalah medium yang dapat menghubungkan mereka dengan Sang Pencipta. Di sana, para dewa bersemayam, dimuliakan dan diagungkan.

Dengan ide dan konsep dasar demikian, Hamengkubuwono I menata dan membangun Yogyakarta, sebagaimana petuah hidup yang menjadi inspirasinya: "Hamemayu Hayuning Bawono" (menyelamatkan dan melestarikan keindahan alam). Dengan begitu, ia menempatkan Segoro Kidul dan Gunung Merapi sebagai poros pengejawantahan filosofi hidup.

Hamengkubuwono I terkenal dengan kepiawaiannya sebagai ahli tata kota. Di usia muda, ia telah menakhodai tata ruang Kota Yogyakarta. Hampir seluruh ide dan konsep dasar Kota Yogyakarta berhulu dari buah pemikirannya.

Sumbu Filosofi Yogyakarta

Menurut Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo dalam Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan (2010), Keraton Yogyakarta dibangun sejak disepakatinya Perjanjian Giyanti 1755. Perjanjian ini menghasilkan keputusan bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua: Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Keraton Kesultanan Yogyakarta mulai dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755 dan baru selesai setahun kemudian. Kompleks bangunan ini baru ditempatin Sultan Hamengkubuwono I pada 7 Oktober 1756.

Seturut Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009), konsentrasi Keraton Yogyakarta berpangkal di kuthagara (pusat pemerintahan) yang dikellilingi nagara (pejabat pemerintah atau abdi dalem). Kemudian di sekeliling pusat pemerintahan bermukim nagaragung (peradaban kota) yang dihuni para penduduk. Serta wilayah di luar pusat pemerintahan yang dikenal mancanagara (vasal yang diperintah bupati atau wedana).

Proses membangun peradaban Yogyakarta di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan bukan sebuah kebetulan. Ia tidak dibangun dengan landasan fungsional belaka. Peradaban ini merupakan hasil pengejawantahan filosofi dasar hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan antarmanusia.

Konsep peradaban Yogyakarta kemudian dikenal sebagai sumbu filosofi, yang mencerminkan perjalanan daur hidup manusia, sedari lahir hingga menghadap Sang Khalik.

Pusat alam semesta (makrokosmos) yang disimbolkan dalam Gunung Meru disejajarkan dengan raja dan kerajaannya (mikrokosmos). Dalam hal ini, penyejajaran yang dimaksud ialah Sri Sultan dengan Keraton Yogyakarta. Konsep demikian dikenal sebagai kosmologi, yang lantas disebut sumbu filosofi.

Rencana penutupan Plengkung Gading YogyakartaPengendara melintas di Plengkung Gading atau Plengkung Nirboyo Yogyakarta, Jumat (24/1/2025). Keraton Yogyakarta berencana menutup Plengkung Gading mengikuti rekomendasi dari UNESCO terkait pelestarian sumbu filosofi Yogyakarta. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/rwa.

Tata ruang sumbu filosofi tervisualisasi dalam wujud Gunung Merapi, keraton, dan Segoro Kidul sebagai garis imajiner yang ditarik lurus. Konsep ini selaras dengan asas Tri Hita Karana dan Tri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau hulu-tengah-hilir).

Sejatinya, garis imajiner yang melintang dari Segoro Kidul, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi tak pernah benar-benar lurus persis. Garis lurus yang nyata secara topografi menghubungkan Panggung Krapyak, keraton, dan Tugu Golong Gilig. Topografi ini merupakan bagian dari siklus hidup manusia berdasar konsepsi sangkan paraning dumadi (asal-usul dan tujuan akhir kehidupan).

Sejak 18 September 2023, UNESCO telah menerima pengajuan penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai salah satu warisan budaya dunia. Penetapan tersebut dilakukan saat Sidang Luar Biasa Komite Warisan Dunia ke-45 di Saudi Arabia.

Semenjak penetapan tersebut, pemerintahan Yogyakarta segera melakukan upaya cepat tanggap merespons anugerah yang dimandatkan. Tata ruang kota yang amburadul dikonsep ulang. Bangunan-bangunan bernilai sejarah dan budaya direvitalisasi. Bahkan jalan beserta ruas di kanan kirinya berkesempatan mendapat perbaikan.

Situasi proyek kebudayaan yang mendukung penguatan Sumbu Filosofi Yogyakarta berlangsung serba cepat. Membikin Yogyakarta menjadi lebih sensitif terhadap aset sejarah dan budayanya.

Plengkung: Bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta

Senin (10/3/2025), rekayasa lalu lintas satu arah mulai diterapkan di area Plengkung Gading, dekat Alun-alun Kidul Yogyakarta. Di ruas jalan, terpampang rambu-rambu yang mengarahkan lajur pengendara, juga sejumlah barier.

Akses kendaraan dari arah selatan ke utara ditutup. Situasi ini memaksa para pengendara dari Jalan M. T. Haryono, D. I. Panjaitan, dan Mayjend Sutoyo tak bisa masuk kawasan Alun-alun Kidul. Sementara sebaliknya, akses satu arah hanya tersedia untuk pengendara yang melaju ke luar kompleks benteng Keraton Yogyakarta.

Namun, belum juga seminggu sedari rekayasa diterapkan, Sabtu (15/3/2025) area tersebut telah ditutup total. Tak hanya Jalan Gading yang membujur persis di bawahnya, tetapi juga area panggung plengkung.

Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya merupakan salah satu ciri khas Yogyakarta yang ikonik berbentuk melengkung. Itulah alasan bangunan ini disebut plengkung. Fungsi utamanya sebagai gerbang penghubung antarmuka jalan. Sementara gading, merujuk pada warna putih tulang yang menjadi ciri khasnya.

Plengkung Gading adalah salah satu bangunan cagar budaya, bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta. Karenanya, pihak keraton menilai bangunan ini mesti dijaga kelestariannya. Penutupan area dianggap sebagai bagian dari upaya konservasi. Tujuannya, menjaga pondasi dan struktur bangunan agar senantiasa kokoh.

Selain itu, menurut keterangan Dinas Kebudayaan DIY, area Plengkung Gading hendak direvitalisasi lantaran mengalami beberapa kerusakan akibat beban kendaraan harian.

Ilustrasi denah benteng Keraton YogyakartaIlustrasi denah benteng Keraton Yogyakarta. (FOTO/kratonjogja.id)

Tak Hanya Satu, tetapi Lima

Di bidang pertahanan, Sultan Hamengkubuwono I tak luput membangun tembok-tembok tinggi yang mengelilingi kompleks kuthagara dan nagara Keraton Yogyakarta. Menurut Susatyo dan Bambang Damarsi dalam Struktur Bangunan Kraton Yogyakarta (1980: 12), tembok-tembok itu memiliki tinggi 4 meter dengan lebar 3,5 meter, membentang dari timur ke barat sejauh 1.200 meter, dan utara ke selatan sepanjang 940 meter.

Namun tembok-tembok ini hancur ketika invasi Inggris saat Geger Sepoy atau Geger Sepehi yang terjadi lebih dari dua abad lalu. Dua benteng yang menjadi saksi penyerangan ialah Baluwarti dan Cepuri. Bagian benteng terluar disebut Benteng Baluwarti, yang mengelilingi keseluruhan nagara. Sementara Benteng Cepuri hanya mengelilingi kawasan inti keraton atau kuthagara.

Kini, sebagian besar tembok dan benteng itu telah hancur. Salah satu bagian yang tersisa hanya beberapa sudutnya, yang akrab disebut Pojok Benteng. Sementara itu, jalur masuk kompleks benteng dihubungkan oleh lima gerbang dari berbagai penjuru. Gerbang-gerbang inilah yang disebut sebagai plengkung.

Plengkung Gading merupakan salah satu dari lima plengkung dalam kompleks benteng yang mengelilingi Keraton Yogyakarta. Berikut lengkapnya:

Pertama, Plengkung Jagasura/Plengkung Ngasem. Terletak di sebelah utara Alun-alun Utara. Berasal dari nama “jaga” berarti penjaga, dan “sura” yakni berani.

Kedua, Plengkung Madyasura/Plengkung Buntet. Terletak di sisi timur Keraton Yogyakarta. Plengkung ini ditutup pada 23 Juni 1812. Karena itulah masyarakat akrab menyebutnya “buntet”, yang berarti tertutup. Plengkung ini kemudian dibongkar dan diganti dengan gapura biasa.

Ketiga, Plengkung Tarunasura/Plengkung Wijilan. Terletak di sebelah timur Alun-alun Utara. Dinamakan “taruna” lantaran gerbang ini kerap dijaga oleh prajurit-prajurit muda. Kini disebut Wijilan karena difungsikan sebagai gerbang masuk kawasan sentra Gudeg Wijilan.

Keempat, Plengkung Jagabaya/Plengkung Tamansari. Terletak di sisi barat Keraton Yogyakarta dan Pasar Ngasem di Tamansari. Sebagaimana namanya, plengkung ini berfungsi untuk menjaga mara bahaya. Kini, Plengkung Jagabaya berwujud gapura biasa.

Kelima, Plengkung Nirbaya/Plengkung Gading. Terletak di sisi selatan Alun-alun Kidul. Berasal dari etimologi “nir” yang berarti tidak ada, dan “baya” yakni bahaya.

Dari kelima plengkung tersebut, hanya dua yang masih berbentuk asli, yakni Plengkung Tarunasura dan Plengkung Nirbaya.

Plengkung Gading: Makna Simbol dan Kepercayaan

Dikutip dari buku Pisowanan Alit 1 (2012) karya Ki Herman Sinung Janutama, Plengkung Gading memiliki simbol beraneka ragam. Di sisi kanan dan kiri, dua ornamen sayap atau lar diukir, melukiskan makna keluhuran.

Kemudian di sisi pucuk tengahnya terdapat ukiran bunga melati. Kata melati, yang juga kerap dilafalkan “malati”, berarti sebuah pantangan. Terdapat mitos malati, yakni apabila seseorang tak berniat baik hendak melewati plengkung, maka hidupnya tak akan selamat.

Plengkung Gading juga menjadi simbol “jalan keluar” jenazah sultan dan keluarganya saat hendak dimakamkan ke Astana Pajimatan Himagiri (Kompleks Makam Imogiri). Terdapat kepercayaan bahwa sultan yang masih hidup haram hukumnya melewati Plengkung Gading. Hal ini telah diatur secara resmi dalam Keputusan Gubernur Nomor 108/KEP/2017.

Di kawasan Plengkung Gading juga terdapat menara sirine. Uniknya, menara itu hanya berbunyi setiap 17 Agustus guna memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua, sirine ini akan berbunyi setiap menjelang berbuka puasa saat bulan Ramadhan.

Plengkung Gading sempat direvitalisasi pada 1986 untuk mengembalikannya ke bentuk asli. Dulu, wisatawan bisa dengan bebas naik ke panggung plengkung dan dapat melihat panorama kota dari atas. Namun, kini area tersebut telah tertutup pagar rapat.


tirto.id - News

Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |