RUU TNI dan Bayangan Neo Orde Baru

16 hours ago 9

tirto.id - Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah dikebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Pembahasan ini bahkan dilakukan secara diam-diam alias tertutup di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta sejak Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025).

RUU TNI merupakan usulan pemerintah melalui Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025 yang masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Di masa Pemerintahan Prabowo-Gibran, draft RUU TNI berkali-kali berhenti pembahasannya karena penolakan keras dari masyarakat sipil.

Namun, ragam penolakan atas revisi UU TNI tersebut tak diindahkan oleh DPR. Revisi justru dilakukan secara tidak terbuka dengan mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan prinsip partisipasi bermakna. Ini lagi-lagi menunjukkan peranan buruk DPR sebagai tukang stempel kebijakan pemerintahan saja.

Berdasarkan arahan dari Presiden Prabowo Subianto, setidaknya terdapat beberapa poin atau substansi pasal yang bermasalah dalam rancangan Undang-Undang baru tersebut. Salah satunya adalah mengenai usulan perpanjangan masa pensiun TNI.

Pasal 53 UU 34/2004 sebelumnya mengatur bahwa prajurit dapat melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama. Di revisi UU ini, diusulkan usia pensiun bintara dan tamtama akan diperpanjang hingga 58 tahun serta 60 tahun bagi perwira. Penyesuaian ini, disebut akan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) TNI.

Dalam draft revisi Pasal 71, usia pensiun perwira TNI juga diusulkan diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun. Revisi ini, jika disahkan, justru akan menambah persoalan yang tidak terselesaikan, yakni penumpukan perwira non-job yang nanti dalam praktiknya justru dimobilisasi ke lembaga-lembaga negara hingga perusahaan-perusahaan milik negara.

Poin kedua mengenai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. TNI aktif diusulkan untuk bisa menempati 16 kementerian/lembaga melalui RUU TNI.

Dalam Pasal 47 UU 34/2004, diketahui bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sebagai pengecualian, seperti di Ayat 2 Pasal 47, TNI aktif bisa menduduki posisi pada beberapa kementerian/lembaga saja.

Adapun 10 jabatan sipil yang bisa ditempati TNI aktif berdasarkan Pasal 47 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mencakup Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional (DPN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR Nasional), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.

Sementara lima pos tambahan yang diusulkan Kementerian Pertahanan untuk bisa diisi oleh prajurit TNI yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Sekarang ada ditambah satu [jadi 16], yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Jadi tambah satu," ujar Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, sela-sela rapat panitia kerja (Panja) membahas tentang Revisi Undang-undang (RUU) TNI, Sabtu (15/3/2025).

Poin perubahan lainnya yakni adanya penambahan tugas pokok dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tiga poin penambahan OMSP itu mencakup urusan siber, urusan narkoba, dan tugas lainnya.

"Pembahasan yang lebih fokus itu tadi menarik, itu adalah operasi militer selain perang. Jadi dari 14 berubah menjadi 17," terang TB.

Tugas pokok OMSP TNI ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Di mana terdapat 14 tugas pokok TNI yang sebelumnya mencakup:

1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata

2. Mengatasi pemberontakan bersenjata

3. Mengatasi aksi terorisme

4. Mengamankan wilayah perbatasan

5. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis

6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri

7. Mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya

8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta

9. Membantu tugas pemerintahan di daerah

10. Membantu kepolisian NKRI dalam rnagak tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU

11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia

12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.

13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue);

14. Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Di luar itu, terdapat pula upaya dorongan agar TNI aktif diperbolehkan untuk berbisnis. TNI menyarankan agar Pasal 39 huruf c dihapus dalam revisi UU TNI. Pasal ini memuat larangan-larangan bagi prajurit TNI aktif, salah satunya kegiatan bisnis. Larangan lainnya di antaranya ikut melakukan kegiatan politik praktis, menjadi anggota parpol, dan ikut mencalonkan diri menjadi peserta pemilu.

Ini menjadi langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi dan supremasi sipil. Reformasi militer yang diamanatkan pasca-Orde Baru, termasuk pelarangan bisnis militer lewat UU TNI Nomor 34 tahun 2004, bukan sekadar langkah teknis, melainkan upaya besar menempatkan militer di jalur profesionalisme yang benar.

Alasan RUU TNI Perlu Ditolak

Jika melihat butir-butir perubahan atau usulan di atas, pembahasan RUU TNI yang digulirkan DPR dan pemerintah ini wajar mendapat reaksi penolakan. Sejumlah koalisi masyarakat sipil bahkan mendesak agar pembahasan rancangan undang-undang itu dihentikan.

Secara substansi, RUU TNI ini dianggap masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Revisi UU TNI ini juga dikhawatirkan melemahkan profesionalisme militer serta ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil.

“34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, dalam pernyataannya kepada Tirto, Senin (17/3/2025).

Revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga dianggap mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kewajiban hukum HAM internasional.

Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).

Indonesia sendiri telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil.

“Hentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR,” tegasnya.

Seturut dengan HRWG, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) juga dengan tegas menolak revisi UU TNI yang disebut akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, memandang bahwa usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.

Menurut Isnur, DPR RI dan presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru yang terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum, dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.

Selain itu, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.

Jika hal ini dibiarkan, Isnur menilai, ini akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan.

Oleh karenanya, YLBHI mendesak DPR dan presiden untuk secepatnya menghentikan pembahasan revisi UU TNI.

Kedua, ia juga meminta DPR dan presiden untuk terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI, dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM.

Terakhir, ia juga mengajak masyarakat lndonesia untuk menuntut DPR dan presiden untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan benar, menjaga amanat konstitusi, serta menghapuskan dwifungsi ABRI, dan melanjutkan agenda reformasi TNI yang mangkrak.


tirto.id - News

Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |