Saat Bank Daerah Jadi Ladang Penyelewengan

3 hours ago 2

tirto.id - Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu nomor 20/LHP/XVII.BDG/03/2024, yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 26 Maret 2024 menjadi pintu masuk penting dalam pengungkapan dugaan kasus korupsi. Kasus tersebut terkait penyalahgunaan dana promosi produk dan belanja iklan di media massa oleh para pejabat Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB).

Kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp222 miliar ini, melibatkan setidaknya lima tersangka: mantan Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi dan Pimpinan Divisi Corporate Secretary BJB, Widi Hartono; serta tiga pihak swasta yakni Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri, Ikin Asikin Dulmanan; Pengendali Agensi BSC Advertising dan PT Wahana Semesta Bandung Ekspres, Suhendrik; Pengendali PT Cipta Karya Sukses Bersama dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama, Raden Sophan Jaya Kusuma. Nama-nama tersebut baru diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Maret 2024.

Selain kelima tersangka tersebut, kasus dugaan korupsi terkait biaya penayangan iklan di media TV, cetak, dan daring yang telah terjadi selama periode 2021-2023 ini, juga menyeret nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK). Direktur Penyidik KPK, Asep Guntur, menjelaskan status RK saat ini masih saksi dan proses penyidikan masih berjalan. Namun, politikus partai Golongan Karya (Golkar) ini diduga memiliki peran penting dalam kasus korupsi belanja iklan BJB.

“Karena ini ada bukan perannya di depan, perannya ada di belakang. Sehingga kita perlu informasi yang banyak dulu dari para saksi, setelah kita memperoleh informasi, kita akan melakukan pemanggilan," kata Asep di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).

Sementara itu, setelah terungkapnya kasus korupsi ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, merombak hampir seluruh jajaran direksi dan komisaris BJB. Bahkan, sebagai pengawas jalannya operasional bank, penunjukan komisaris didasarkan pada profesionalitas masing-masing individu dan tidak ada satupun yang bersifat politis.

Karena itu, di antara enam komisaris BJB, Dedi menunjuk Wowiek Prasantyo alias Bos Man Mardigu dan Helmi Yahya sebagai Komisaris Independen.

“Saya ingin memilih orang-orang yang dipercaya oleh publik dan memiliki pengetahuan yang cukup serta pengalaman yang kuat di bidang ekonomi dan keuangan itu alasannya. Jadi kita harus memilih orang yang dipercaya oleh publik dan memiliki pengalaman,” jelas dia, dalam Konferensi Pers Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BJB, Rabu (16//4/2025).

“Saya lebih banyak melihat pemahaman dan pengayaan, pengetahuan tentang ekonomi, tentang politik, dagang dan sejenis,” imbuh Dedi.

Belum selesai dengan segala polemik yang menimpa BJB, Bank Pembangunan Daerah (BPD) lain, Bank DKI mendapat sorotan masyarakat. Nasabah ramai-ramai mengeluhkan macetnya pelayanan Bank DKI sejak malam takbiran, 30 Maret 2025.

Beragam layanan transaksi yang mandek mencakup penggunaan aplikasi JakOne, QRIS, hingga ATM. Gubernur Jakarta, Pramono Anung bereaksi cepat. Dia langsung mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono dalam rapat terbatas dengan Direksi Bank DKI, Selasa (8/4/2025).

Pramono menilai, ada campur tangan ‘orang dalam’ dalam macetnya layanan transaksi Bank DKI ini. Karena itu, dia meminta Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk menyelidiki masalah ini.

“Laporkan ke Kabareskrim, proses hukum! Karena ini sudah keterlaluan. Nggak mungkin nggak melibatkan orang dalam,” tegas dia di dalam rapat.

Berdasarkan hasil investigasi forensik yang dilakukan bersama lembaga internasional IBM terkait kasus kebocoran data di Bank DKI, ditemukan adanya masalah pada perjanjian kerja sama dengan mitra eksternal (External Partner Agreement, EPA) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini yang menyebabkan terjadinya gangguan layanan.

Oleh karenanya, menurut Direktur Utama Bank DKI, Agus Haryoto Widodo, perlu beberapa titik yang mendapat perbaikan. Agus menjelaskan terdapat kelemahan-kelemahan baik di Bank DKI maupun di pihak ketiga.

“Jadi bukan hanya di Bank DKI saja, tapi juga ada kelemahan di pihak ketiga yang harus diperbaiki. Hasil forensik ini sudah kita serahkan dan Bareskrim juga sudah masuk seperti yang disampaikan oleh Pak Gubernur juga,” ujarnya, dikutip dari Antara, Kamis (17/4/2025).

Kendati hasil investigasi forensik sudah keluar, namun proses audit Bank DKI masih terus dilakukan. Gubernur Jakarta, Pramono Anung, mengatakan bahwa proses ini penting untuk dilakukan hingga tuntas karena ia tak ingin kejadian kebocoran ini terulang.

“Yang pertama memang masih ada hal yang harus diselesaikan. Karena memang audit di Bank DKI kami nggak mau ada kebocoran kembali,” ujarnya, di Balai Kota Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Jangan Sampai Bank Pembangunan Daerah Menjadi ‘Bank Penyelewengan Daerah’

Masalah mulai dari transaksi macet hingga dugaan kasus korupsi di bank-bank daerah sudah sering kali terjadi. Masalah, khususnya fraud, adalah akibat dari kurang atau bahkan absennya integritas dalam diri pelaku-pelaku yang terlibat.

Karena itu, untuk menghindari modus penipuan dan mencegah Bank Pembangunan Daerah menjadi ‘Bank Penyelewengan Daerah’, penting untuk memastikan kredibilitas aktor di baliknya. Para pemegang saham pengendali –dalam hal ini adalah gubernur dan bupati atau wali kota– harus memastikan latar belakang pimpinan BPD yang mereka pilih.

Jajaran direksi yang bertugas menjalankan operasional bank serta komisaris yang bertugas mengawasi jalannya operasional bank seharusnya dipilih secara profesional dan tanpa ada campur tangan politik.

Ilustrasi Advertorial Bank BJBIlustrasi Advertorial Bank BJB. FOTO/Dok. Bank BJB

“Jadi, kalau misalnya ada kepentingan-kepentingan lain yang di luar kompetensi sebagai seorang bankir untuk pengajuannya, ya, akhirnya jadi begini. Jadi, artinya untuk menjadi bankir itu tuh ya sebetulnya nggak boleh aneh-aneh, karena itu menyangkut reputasi,” ujar Ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB University), Mangasa Augustinus Sipahutar, saat dihubungi Tirto, Rabu (17/4/2025).

Perbankan memiliki perananan penting dalam pembangunan negara, termasuk daerah-daerah yang ada di dalamnya. Sehingga, tak heran ada istilah, “untuk menghancurkan negara, hancurkan saja banknya”. Karena itu, baik para pengelola bank maupun pemerintah daerah tidak boleh main-main dalam pengelolaan BPD.

“Sebetulnya untuk menjadi bankir, apalagi dia lolos juga seleksi dari OJK gitu –sebetulnya dari visi perbankan– mereka itu kan sudah fit and proper. Cuma, pertanyaannya adalah mengapa dia menggunakan pengetahuannya itu untuk berbuat yang nggak benar sebagai bankir. Nah, jadi ini kembali kepada psikologis dari si personal yang bertanggung jawab.” imbuh Mangasa.

Di sisi lain, komisaris juga seharusnya bisa melakukan tugasnya dengan baik, mengevaluasi kinerja para direksi dan sistem BPD secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat laporan kinerja dan juga laporan-laporan lain dari komite audit.

“Perusahaan apapun itu, kan harus berkembang. Ya, serahkan saja kepada ahlinya, sebetulnya. Rekam jejaknya kan ada. Kalau memang kita peduli dengan pembangunan, ya kita berikan pembangunan itu kepada orang-orang yang memahami pembangunan, yang berintegritas. Nah, integritas ini yang perlu dievaluasi secara berkala. Karena orang baik bisa menjadi penjahat juga,” tambahnya.

BANK DKI PERINGATI HARI BATIKTeller Bank DKI Cabang Walikota Jakarta Pusat melayani nasabah pada Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Oktober 2017 di Jakarta, Senin (02/10/2017). ANTARA FOTO/HO/Hamid

Selain itu, Mangasa juga menyoroti seringnya visi dan misi bank-bank daerah yang tidak selaras dengan program daerah. Padahal, bank daerah didirikan untuk mendukung perkembangan dan pembangunan daerah.

Sering terjadi, ketika misalnya gubernur ingin meningkatkan produksi pertanian, bank daerah justru memilih untuk menyalurkan kredit konsumsi, alih-alih kredit modal kerja pada para petani. Hal ini yang kemudian membuat bank daerah tidak sinkron dengan pemerintah daerah (pemda).

Nah, cuma masalahnya pemdanya kenapa diam aja? Berarti pemerintahnya juga tidak paham atau tidak ada. Sering kali kita lihat itu bank pembangunan daerah itu nggak selaras visi dan misinya dengan gubernur dan kepala daerah. Padahal, dia itu kan pemegang saham pengendali,” kata Mangasa.

Adaptasi BPD Kala Kepala Daerah Berganti

Meski begitu, posisi BPD sebenarnya dilematis. Mereka harus terus beradaptasi dengan siklus perubahan pemimpin daerah. Artinya, bisa saja aturan-aturan terkait BPD akan diubah lima tahunan, seiring dengan masa jabatan kepala daerah. Belum lagi, pemilihan kepala daerah juga sangat kental dengan aroma politik.

“Karena ya, suka-gak suka, kan itu (pemda) owner-nya. Ya, yang sistem tetap politik. Ya, itu challenging-nya. Tapi ya bukan nggak mungkin profesional, karena kan bank-bank BPD ini kan termasuk bank umum,” jelas Pakar Ekonomi-Perbankan dan Dosen Binus University, Doddy Ariefianto, kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).

Jika menilik ke aturannya, baik bank perkreditan rakyat (BPR) maupun bank umum berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Jadi mereka harus patuh pada aturan OJK, dan salah satunya adanya (aturan) direktur governance, yang itu istilahnya penunjukannya direksi yang harus memenuhi standar kualifikasi dan integrity-nya, sesuai dengan standarnya OJK, yang itu standarnya Indonesia ya, nasional,” tambah Doddy.

Dus, aturan ini seharusnya bisa membentengi agar pengelola dan pengawas BPD punya kualitas dan integritas. Pun, dengan regulasi ini juga diharapkan dapat memitigasi terjadinya masalah-masalah lain yang bisa membuat kinerja bank daerah anjlok.

“Tapi ya paling enggak sudah ada bentengnya lah. Karena ada OJK yang memberikan benteng itu tidak bisa semena-mena. Kalau mereka punya profesional dan punya integritas, ya sudah (bisa) berhenti kan, (atau) bisa mengundurkan diri. ‘Kalau saya dipaksa disuruh begini, saya nggak mau, ya sudah saya mengundurkan diri,’ begitu aja,” tegas Doddy.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menekankan pentingnya peran Kantor OJK Daerah. Dia menyebut mereka sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan OJK di tingkat regional.

SOSIALISASI LAYANAN OJK UNTUK FINTECHDirektur Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta (kiri) menyampaikan paparan dalam sosialisasi layanan sistem elektronik pencatatan inovasi keuangan digital di ruangan OJK 'Innovation Center for Digital Financial Technology' (Infinity), Jakarta, Selasa (29/10/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

Mahendra juga menyebut kalau ada peningkatan kompleksitas tugas OJK setelah disahkannya UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Melalui regulasi ini, pemerintah menuntut penguatan sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan di daerah.

Selain itu, Mahendra juga berkomitmen untuk mendukung agenda pembangunan daerah, khususnya di sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah daerah. Sebab, penguatan ekonomi regional menjadi kunci penting dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional.

“Kebijakan dan program strategis OJK hanya akan berhasil apabila dijalankan melalui kolaborasi yang erat dengan pemerintah daerah, lembaga jasa keuangan, dan seluruh elemen masyarakat,” ujar Mahendra, dikutip Jumat (18/4/2025).


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Alfons Yoshio Hartanto

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |